Apa hubungannya Batagor Riasari dan selera Tionghoa?
Saya: "Yah, nanti di Bandung, kita wiskul,ya?"
K'Aie: "Mau kemana?"
Saya: "Belum tau, pokoknya wiskul. Mumpung lagi di Bandung. Udah lama juga kita gak ke Bandung."
Obrolan saya dan suami, beberapa hari menjelang tahun baru. Rencananya kami akan berada di Bandung selama 3 hari 2 malam. Mau tahun baruan di sana. Sebuah rencana mendadak karena awalnya sama sekali gak ada rencana untuk ke Bandung walaupun sedang musim libur sekolah.
2 minggu sebelum tahun baru, secara mendadak kami kedatangan beberapa keluarga dari Bandung. Kemudian kedua sepupu saya yang sepantaran sama Keke ingin berlibur di rumah. Pulangnya, kami yang antar. Makanya, kami ke Bandung untuk mengantar sepupu saya.
Tahun 2013 dan 2014 dimana setiap 1-2 minggu sekali kami bisa bolak-balik ke Bandung karena memang ada urusan juga. Tahun 2015 ini kebalikannya. Kami sangat jarang ke Bandung karena tahun 2015 lagi lebih fokus dengan urusan kesehatan papa mertua saya.
Mendadak Gak Enak Badan
Kamis, 31 Desember 2015, sekitar pukul 3 sore ...
Rencananya kami ingin berangkat hari Rabu. Berita tentang macet parah saat libur natal seminggu sebelumnya bikin saya ngeri. Males banget, deh, kalau sampe ngalamin separah itu. Temen suami malah ada yang sampai menginap di jalan tol cuma buat ke Bandung!
Tapi, suami lagi ada kerjaan yang gak bisa ditunda. Hari Kamis masih harus beraktivitas. Serba salah jadinya. Mau meminta suami untuk menunda, buntutnya bisa panjang. Karena ini urusan kerjasama yang harus dijaga kepercayaannya. Tapi kalau berangkatnya Kamis, saya khawatir banget kena macet. Mamah saya udah menyuruh untuk berangkat setelah tahun baru. Saya gak mau karena memang pengen banget ke Bandung. Udah pengen wiskul di sana.
Saya: "Bunda lagi gak enak badan, Yah. Makanya tadi punggung sama perut dikasih minyak tawon."
Di hari H badan saya malah greges alias gak enak badan. Setelah badan dibalur dengan minyak tawon, mulai agak enakan. Syukurlah. Berharap banget jangan sampai sakit *Iya, siapa juga yang mau sakit :D*. Sangat berharap pula gak kena macet. Bener-bener deg-degan sebelum berangkat.
Alhamdulillah, sepanjang jalan lancar jaya! Bekasi-Bandung cuma 2 jam lebih saja. Sepanjang jalan tol berasa sepi. Di Bandung aja yang agak padat. Tapi, masih termasuk lancar, lah. Sampai Bandung, kami disambut dengan hujan yang cukup deras.
Tadinya, suami mau ajak cari makan dulu. Tapi karena gak tau mau makan dimana, lagipula menurut Keke, "Sambal Nin Ati itu termasuk yang paling ditunggu." Jadi kami memutuskan untuk makan di rumah saja.
Bi Ati: "Kok, sedikit banget makannya, Chi?"
Saya: "Iya, nanti nambah lagi, Bi."
Entah kenapa, hari itu nafsu makan saya menghilang. Padahal biasanya saya bisa lupa kalau sudah nambah berkali-kali bila makan dengan sambal buatan bi Ati. Malah begitu selesai makan, saya langsung meringkuk di kamar karena badan rasanya sakit. Agak enakan setelah dipijat oleh Nai menggunakan minyak kayu putih. Saya pun menyempatkan tidur sejenak.
Tumben Tahun Baruan Begadang?
Menjelang pukul 7, kami sudah bersiap-siap untuk bakar jagung, sosis, dan ikan. Tahun ini gak ada daging hehehe. Diganti sama ikan. Sudah beberapa tahun terakhir ini, kami selalu kumpul keluarga saat tahun baru. Sebetulnya gak ada tradisi tahun baruan. Tapi karena bersamaan dengan libur sekolah. Jadi sekalian ajah. Cuma tahun lalu, kami gak ikut ngumpul karena papa mertua sakit. Sehingga kami menginap di rumah mertua saat tahun baru.
Judulnya aja kumpul keluarga di tahun baru. Tapi, tahun baru di keluarga kami biasanya berlangsung sampai pukul 10 malam saja. Jarang ada yang kuat begadang hehehe ... Gak cuma saat tahun baru, sih. Ketika hari raya atau kumpul keluarga di hari lain juga begitu. Selesai makan malam, biasanya ngobrol-ngobrol sejenak setelah itu satu per satu mulai tidur.
Tahun baru lalu berbeda. Salah seorang mamang minta suami saya untuk bawain proyektor untuk nonton film. Di depan rumah bikin kegiatan "bakar-bakaran" dan nonton film. Gelar tikar, keluarkan bantal, dan selimut. Jadilah semalam suntuk pada begadang.
Yang gak begadang cuma Nai, Dudu (sepupu saya), dan saya yang masih gak enak badan. Padahal pengen banget kumpul bareng sama keluarga. Apalagi udah lama gak kumpul. Tapi, saya takut juga ambil resiko. Kalau abis begadang malah tambah sakit, gimana? Mana gak bawa jaket pula, padahal udara berasa dingin. *Saya menyalahkan diri sendiri yang lupa bawa jaket*
Batagor Riasari dan Selera Tionghoa
Di luar ada 6 meja dan di dalam ada 4 meja. Dengan 4 kursi untuk setiap meja.
Oke, baru bicarain kulinernya hehehe ... Rencana untuk wiskul kesana-sini terpaksa buyar. Tanggal 1 Januari, saya hanya di rumah aja. Mau wiskul bingung. Lagian nafsu makan masih juga menghilang.
Tanggal 2 Januari, saya minta suami untuk menemani beli kerudung di daerah Buah Batu. Sekalian kulineran, lah. Kami hanya jalan berdua saja. Keke dan Nai gak mau ikut. Tapi karena nafsu makan saya masih menghilang, lagi-lagi saya bingung mau makan di mana. Saya serahkan semuanya ke suami aja.
Suami kelihatannya lagi kangen sama batagor. Dari hari pertama di Bandung, yang dicari adalah batagor. Kami pun menuju batagor Kingsley. Batagor ini termasuk yang paling terkenal di Bandung. Wisatawan lokal yang ingin oleh-oleh batagor, biasanya akan ke Kingsley. Tapi, begitu sampai sana, tempatnya penuh banget! Antara pengunjung yang makan, beli oleh-oleh, serta pelayan yang lalu-layang bertumpah ruah. Kami lalu naik ke lantai 2. Ternyata sama aja.
Siomay Kukus per porsi isi 4 pcs, IDR33K
Kami pun memilih makan di seberangnya. Sebuah rumah makan kecil bernama Batagor Riasari. Tempatnya memang kecil, perkiraan saya hanya menampung sekitar 35-40 tamu saja. Saat kami ke sana, hanya terisi setengahnya. Sangat terbalik suasananya dengan batagor Kingsley.
Walaupun tidak terlalu ramai, feeling saya mengatakan kalau batagor Riasari kemungkinan rasanya enak. Saya lihat sebagian tamu yang makan di sana adalah keturunan Tionghoa. Dan, saya termasuk yang percaya dengan selera lidah orang Tionghoa. Biasanya kalau mereka bilang enak, itu beneran enak. Atau kalau datang ke salah satu resto yang tamunya banyak keturunan Tionghoanya, biasanya enak. Pengalaman kami, sih, begitu. Gak hanya untuk resto yang menyajikan menu Chinese Food, ya. Masakan Sunda, Betawi, dll juga saya suka percaya dengan selera lidah orang Tionghoa.
Suami memesan siomay kukus dan saya mie ayam yamin. *Yamin itu mienya dikecapin. Bisa kecap asin atau manis. Kuahnya dipisah.* Siomay kukus gak langsung disajikan karena siomay baru dikukus saat ada yang order. Rasanya enak, ikannya berasa. Kekenyalannya juga pas. Sayangnya, bagian dalam siomay masih berasa adem. Kurang lama dikukusnya.
Mie yamin yang saya order juga enak. Ayamnya disuwir halus. Kuah baksonya berasa. Selain gurih, ada sedikit rasa manis di kuahnya. *di beberapa tempat yang pernah saya datangi, kuah kaldu dari mie yamin suka gak berasa.* Porsinya pas.
Batagor Riasari menjual 4 menu makanan. batagor (isi 3 pcs), pempek siomay, mie bakso kuah / manis / asin, dan siomay kukus (isi 4pcs) semuanya dikasih harga yang sama yaitu IDR33K. Sahabat Jalan-Jalan KeNai juga bisa beli batagor untuk dijadikan oleh-oleh. Harganya IDR11K per pcs.
Alhamdulillah, saya bisa menghabiskannya walaupun sedang gak nafsu makan. Sayangnya, usai makan, badan saya kembali protes. Perut kembali berasa seperti habis main roller coaster. Berasa seperti diaduk-aduk. Pertanda harus segera pulang dan kembali beristirahat.
Rencana saya untuk kulineran selama di Bandung, cukup gagal. Untuknya masih dapat 1 tempat makan yang enak. Resto yang awalnya gak ada dibayangan saya. Karena keinginan saya adalah mendatangi beberapa resto yang sedang trend di Bandung. Rencana memang tinggal rencana. Mudah-mudahan ada kesempatan untuk ke Bandung lagi. Dan, saya juga gak keberatan kalau makan di Batagor Riasari lagi. Memang enak, sih :)
Batagor Riasari
0 komentar:
Posting Komentar