start Jalan Jalan Ah: Adventure

Tips Jalan Jalan Kamu ada Disini

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Tampilkan postingan dengan label Adventure. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Adventure. Tampilkan semua postingan

Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng

 Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng
Pendakian gunung Prau via Patak Banteng ini bagi kami memiliki kesan tersendiri :D

Saya: "Nanti mendaki via jalur apa, Yah?"
Suami: "Lewat Patak Banteng aja. Tapi, tanya dulu sama porternya dia sanggupnya bawa anak-anak lewat mana. Kata temen lewat Patak Banteng itu pendakian kaki ketemu dada dada."
Saya: "Maksudnya kaki ketemu dada?"
Suami: "Beberapa titik kemiringannya lumayan jadi langkahnya kaki ketemu dada. Trus juga kalau musim hujan disarankan jangan lewat sana karena licin."
Saya: "Gitu, ya?"

Suami belum pernah mendaki gunung Prau. Sehingga, keputusan memilih jalur pendakian kami serahkan kepada porter. Pendakian gunung Prau ada beberapa jalur. Setidaknya ada 2 jalur yang saya ingat, yaitu Patak Banteng dan Dieng Kulon.
Jalur Patak Banteng menjadi jalur favorit para pendaki gunung Prau karena jarak tempuhnya yang pendek, yaitu sekitar 2-3 jam. Tapi, jalur ini juga paling terjal dan curam. Kalau musim hujan, sangat licin.
Perjalanan menuju Patak Banteng

Seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, kami baru berangkat menjelang pukul 00.00 wib gara-gara urusan tongsis. Tidak sulit untuk membangunkan Keke dan Nai. Mereka langsung berganti pakaian, masuk ke mobil, lalu melanjutkan tidur.

(Silakan baca: Persiapan Pendakian Gunung Prau Bersama Anak)

Saya masih cemas ...

Khawatir akan mengalami macet total. Google maps masih sesekali saya lihat sampai akhirnya saya pun gak kuat menahan ngantuk. Saya mulai terbangun ketika mulai masuk tol Cipali. Kendaraan dalam keadaan berhenti. Kata suami, sepanjang perjalanan tadi lancar jaya dan baru macet menjelang masuk tol Cipali. Hufft! Semoga gak lama, begitu pikir saya dan kemudian melanjutkan tidur kembali :D

Saya kembali terbangun ketika mobil berhenti di rest area Palikanci. Subuhan dulu di sana. Dan, toiletnya sangat antre, sodara-sodaraaa ...! Cuma ada 4 toilet di sana. 2 untuk perempuan dan 2 untuk laki-laki. Menurut bisik-bisik tetangga banyak orang, sebetulnya di dekat pom bensin jumlah toiletnya lebih banyak tapi gak ada air sama sekali. Jadi aja pada antre di toilet yang dekat minimarket.

Antreannya mengular panjang, mana kalau pagi banyak juga yang jam biologis menuntut untuk lebih dari sekadar pipis. Kalau aja Nai gak kebelet pipis, kayaknya sama memilih untuk cari tempat lain aja, deh. Positifnya, sih, suami jadi ada waktu untuk tidur sejenak. Dia kan belum tidur sama sekali. Saya sempat khawatir juga mana kami mau naik gunung. Tentu butuh stamina yang cukup.

Sarapan di RM Ibu Jamila, Brebes 

Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng 
Sate kambing muda, IDR45K/10 tusuk
Menu yang lain lupa lagi harganya :D

Sekitar pukul 07.30 wib, kami sampai Brebes. Saatnya sarapan. Gak sulit mencari sarapan di sini asalkan Sahabat Jalan-Jalan KeNai suka dengan menu daging kambing. Sepanjang jalan berderet restoran yang menjual menu daging kambing muda. Silakan pilih aja mau makan di restoran mana, semuanya sama.

Kami pesan 20 tusuk sate kambing, 1 porsi tongseng kambing, dan 1 porsi gulai. Butuh waktu sekitar 30 menit menunggu hidangan disajikan, termasuk untuk minumannya. Semua yang kami pesan, kecuali gulai ternyata pedas. Padahal kami sudah bilang jangan pakai pedas. Tapi, untuk sate menggunakan kecap pedas. Sedangkan untuk tongseng walaupun gak ada taburan rawit, tapi kuahnya memang sudah pedas. Yang kasihan Nai, karena dia gak kuat makan pedas. Akhirnya hanya bisa makan gulai padahal dia gak terlalu suka gulai, sukanya sate atau tongseng.

Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan dan gak lama kemudian terkena macet hingga jembatan bulakamba. Setelah itu perjalanan lancar. bahkan lengang di daerah Buwaran dengan jalan yang berkelok-kelok. Pemandangan di kiri kanannya adalah hutan. *saya agak sedikit mual karena perut mulai lapar belum makan siang hehehe*

Berhenti dulu di masjid Kalibening untuk Dzuhur. Masjidnya besar dan sangat bersih. Rasanya sangat ingin tidur-tiduran sejenak di masjid yang bersih itu sambil meluruskan punggung yang pegal. Tapi ... tapi ... gak ada air di toilet dan tempat wudhu! Padahal sungai besar mengalir dengan deras di dekat masjid, mungkin itulah kenapa dinamakan Kalibening, ya.  Gak ada satupun penjaga masjid di sana. Warung pun gak ada. Tapi sekitar 300 meteran dari masjid ternyata ada Alfamart *Ya, mana kita tau kalau di kemudian di depan bakal ada minimarket hehehe*

Bertemu dengan Porter di Kecamatan Batur

Sekitar pukul 14.00 wib kami pun sampai di Kecamatan Batur. Kami memang janjian ketemuan di sana dengan porter. Namanya mas Ivan, temen Idah (www.ceriswisata.com). Suami saya dan mas Ivan langsung bergegas untuk cek perlengkapan dan packing. Saya dan anak-anak mencari makan siang.

Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng 
Mie ayam ceker, samping kecamatan Batur. Lupa berapa harga per porsinya tapi yang pasti murah banget :D

Tidak sulit mencari makan siang di dekat kecamatan Batur karena lokasinya yang sangat dekat dengan pasar. Pilihannya beragam. Saya dan anak-anak memilih yang terdekat aja. Mie ayam ceker yang berjualan di trotoar. Setelah segala urusan selesai kami pun melanjutkan perjalanan menuju Patak Banteng.

Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng

Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng 
Mulai mendaki! :)

Basecamp Patak Banteng terlihat ramai. Antrean cukup panjang di bagian perizinan. Tapi gak butuh waktu lama, urusan izin sudah selesai. Hampir pukul 16.30 wib kami baru mulai pendakian.
Suami saya pernah bilang kalau mendaki sebaiknya jangan malam hari. Memang sih lebih adem, tapi bisa rebutan oksigen sama pohon. Lagipula, malam hari sebaiknya digunakan untuk beristirahat.
Tapi, saat itu kami tidak punya pilihan. Mau menunda pendakian, sama aja dengan merubah total rencana perjalanan. Kami masih ada agenda lain setelah mendaki Prau. Dengan pertimbangan kalau Prau adalah gunung pendek, kami pun tetap mendaki di sore hari. Mendaki santai aja, sih, karena saya tipe pendaki kura-kura hahaha. Tapi, Insya Allah, gak akan sampai larut malam tiba di puncak.

Dari basecamp menuju pos 1, 'cobaan' sudah dimulai. Menaiki lebih dari 100 anak tangga bikin saya mulai ngos-ngosan. Mendaki atau turun dengan jalan tangga atau berbatu sebetulnya lebih nyebelin dibandingkan jalan tanah, lho.

Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng 
View setelah melewat anak tangga. Cantik banget, ya. Beruntung sekali masayarakat di sini yang bisa setiap saat melihat serta menikmati pemandangan secantik ini.

Ketika sedang menuju pos 1, ada sejumlah pendaki muda yang kebingungan mencari air. Katanya, mereka gak bawa air sama sekali. Lha, kok bisa? Kenapa juga gak beli dulu saat di basecamp? Padahal di basecamp banyak warung.

Kami gak tau di mana mencari air karena taunya kalau di Prau memang gak ada sumber mata air. Dan, ternyata dari pos 1 sampai pos 2 masih ada beberapa warung kecil. Para pendaki bisa makan atau sekadar beli minum. Tapi sebaiknya, sih, udah siap dari awal. Siapa tau warungnya lagi tutup atau kehabisan stok. Masa' harus turun lagi ke basecamp?

Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng 
Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng

Jalan menuju pos 2 masih ramah buat kondisi saya. Malahan lebih nyaman dibanding dari basecamp ke pos 1. Memang sih terus menanjak dan nyaris tanpa bonus (baca: jalan mendatar) tapi setidaknya masih enak buat melangkah karena jalur tanah. Pemandangan sekeliling masih didominasi dengan perkebunan kentang. Dan tampak jauh terlihat perkampungan warga.

Setelah area perkebunan dilewati baru deh rasa deg-degan muncul. Jalur Patak Banteng memang terjal, licin dan sempit. Di kiri kanan adalah jurang. Yang bikin saya makin deg-degan adalah jarang seringkali ada pohon besar yang bisa saya jadikan pegangan.

Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng 
Mulai gelap

Ketika mendaki gunung Gede, pohon besar menjadi andalan saya. Seringkali saya berpegangan dengan akarnya yang kokoh. Lah, di jalur Patak Banteng ini akarnya kebanyakan kayak serabut gitu. Mana makin gelap. Memang bawa senter, sih. Tapi tetep aja meraba-raba jalannya. Saya takut hihihi ...

Keke Manaaaa ...?

Diantara kami berempat, hanya saya yang mendaki seperti kura-kura. Tentu gak bisa juga meminta semuanya menyesuaikan dengan kecepatan saya. Itu artinya akan membuat yang lain jadi sering berhenti menunggu saya. Dan kadang menunggunya cukup lama.
Tip: Sebaiknya jangan berhenti terlalu lama. Ketika istirahat, suhu tubuh mulai dingin. Kalau sudah dingin suka jadi malas untuk bergerak lagi. Istirahat secukupnya saja
Biasanya kami bagi jadi 2. Keke melaju duluan dengan porter. Lagipula biar porter juga mendirikan tenda duluan, jadi begitu saya sampai di sana tinggal istirahat. Grup kedua adalah saya, suami, dan Nai. Suami tentu menemani saya dan Nai memilih untuk tetap dengan bundanya. Padahal dia sebetulnya juga kuat berjalan duluan.

Mas Ivan: "Nanti, begitu sampai puncak dari tugu lalu nyerong ke arah Sindoro."

Setelah dipastikan poin ketemuan, kami pun berpisah. Memang biasanya juga begitu, kalau sampai berpisah bikin janjian dulu ketemuan di titik mana. Kami pun melanjutkan pendakian dan saya gak sedikitpun terpikir bahwan akan terjadi drama di Puncak Gunung Prau. Pikiran dan perasaan saya saat itu hanya dipenuhi rasa deg-degan karena jalurnya yang licin dan sempit :D

Kami akhirnya menggunakan porter tambahan di pos 2. Seorang bapak tua yang akan membawakan tas Nai selama pendakian. Saya gak tau nama beliau, padahal selama pendakian beberapa kali ngobrol dengannya. Saya jadi tau kalau aktivitas sehari-harinya adalah penambang belerang. Kadang-kadang saja nyambi jadi porter. Kalau lihat fisiknya memang sudah renta tapi ternyata masih kuat, euy. Beberapa kali beliau ngobrol dicampur dengan bahasa Jawa yang bikin saya agak roaming. Mana saya lagi konsentrasi pula sama jalanan yang licin dan gelap. Jadi aja kadang saya suka telat nangkepnya hahaha.

Seperti pembicaraan yang satu ini ...

Porter: "Kalau lewat jalur ini pas lagi licin kayak gini, sering kejadian pendaki pada melorot, Mbak."
Saya: "Hah?! Melorot?"

Pikiran saya waktu itu adalah para pendaki berpegangan celana teman di depannya. Trus pas jatuh, celana temannya ketarik dan melorot. Duh! Ada-ada aja pikiran saya hahaha. Ternyata maksudnya melorot adalah pada jatuh karena tergelincir. Memang sih beberapa kali juga saya lihat pendaki terjatuh karena licin.

Tepat pukul 20.00 wib, saya pun tiba di Puncak Gunung Prau. Wuiihhh udah kayak pasar malam, uy! Rame bangeeeett! Tidak hanya meriah dengan tenda berwarna-warni, tapi juga ramai dengan suara-suara para pendaki. Ada yang tertawa tergelak-gelak, nyanyi-nyanyi, ngobrol dengan suara kencang volumenya, dan lain sebagainya.  

Apa saya bakal bisa tidur nyenyak dengan suasana seramai ini, ya? *saya memang cukup sensitif dengan suara. Biasanya suka mudah terbangun karna suara atau malah susah tidur.*

Porter: "Tadi janjiannya di mana, Pak?"
Suami: "Katanya, sih dari tugu trus nyerong ke arah Sindoro, Pak."
Porter: "Oh, kalau ke arah Sindoro berarti ke kanan."

Tapi sampe saya dan Nai kecapean, tetap aja gak menemukan tenda kami. Porter kami sempat bertanya ke porter lain untuk memastikan arah Sindoro. Porter lainnya pun membenarkan kalau nyerong ke arah Sindoro berarti ke kanan. Tapi, gak ketemu juga tendanya ...

Kami pun kembali ke tugu. Beberapa pendaki yang berada di dekat tugu mulai membantu kami. Ada yang memberikan pop mie, susu hangat, teh hangat, hingga tolak angin. Sebetulnya, di tas kami semua itu ada. Tapi, kami sangat berterima kasih dengan kebaikan mereka. Bahkan beberapa diantara mereka turut membantu pencarian, sisanya menemani saya dan Nai.
Tip: Setiap tas yang kami bawa selalu berisi peralatan pribadi termasuk sleeping bag dan makanan-minuman, termasuk di tas anak. Bawa makanan yang bisa langsung dimakan juga. Untuk berjaga-jaga bila sampai terpisah dari kelompok, setidaknya masing-masing dari kami masih bisa tidur karena ada sleeping bag dan masih bisa makan-minum. Paling tenda aja yang gak ada karena dibawa oleh porter.
Para pendaki: "Nama porter dan anak Bapak siapa? Ciri-ciri tendanya bagaimana?"
Suami: "Porternya bernama Ivan. Anak saya namanya Keke. Tendanya warna orange. Vaude merk tendanya, tercetak di tendanya."
Saya: "Kelihatan rangka tendanya juga, Yah. Karena rangkanya kan di luar."

Mereka pun berpencar mencari. Porter hanya sebentar saja membatu pencarian karena mereka harus turun lagi. Selanjutnya, kami banyak dibantu oleh para pendaki. Suami pun ikut mencari. Saya, Naima, dan ditemani pendaki lain menunggu di tugu. Sesekali terdengar mereka berteriak memanggil nama Ivan. Tapi hasilnya nihil ... :(

Saya Mulai Menangis ...

Awalnya Nai yang lebih dulu menangis karena kedinginan dan lapar. Saya masih berusaha tenang dan mengajak Nai untuk sama-sama berdo'a semoga cepat ketemu ma Keke. Lagian katanya kalau ibunya sedih, anak juga bisa tambah sedih. Setelah minum susu hangat, teh hangat, dan pop mie yang juga hangat, tangisan Nai mulai berhenti. Giliran saya yang menangis *tepok jidat hahaha*

30 menit ... 1 jam ... Gak juga ada tanda-tanda ketemu sama Keke dan mas Ivan.

Lutut kiri saya mulai sakit karena udara dingin *emang problem saya akhir-akhir ini, nih*. Badan sih biasa aja. Memang dingin tapi gak sampai menggigil. Tapi yang bikin saya menangis adalah karena panik.

Saya: "Kalau gak ketemu juga, tidurnya gimana, Yah?"
Suami: "Nanti kita cari hutan trus tidur di sana?"
Saya: "Hah? Beneran harus tidur di hutan? Emang gak bisa tidur di sini?"
Suami: "Di sini dingin sama angin, Bun. Kalau di hutan setidaknya ketahan sama pohon anginnya. Lagipula sleeping bag kan ada, makanan juga ada."
Saya: "Huaaaaa ... Emang gak bisa dicari malam ini juga?"
Suami: "Ini juga cari. Tapi, kalau gak ketemu juga, sebaiknya tidur dulu. Setidaknya kalau besok kan terang, mau nyarinya lebih enak."

Saya mulai menangis. Tambah menangis ketika suami menegur saya yang hanya sedikit sekali makan. Ya, mana saya bisa makan kalau teringat anak. Ditambah panik pula. Walaupun ada rasa yakin kalau suami punya pengalaman untuk urusan ini, tetap aja saya takut membayangkannya. Tidur di sleeping bag memang hangat, pohon besar pun bisa menahan angin, tapi kalau ada semut yang masuk ke wajah saya yang unyu-unyu ini, gimana? :p

Suami: "Ya, sekarang Bunda makan dulu."
Saya: "Gak mau!!"
Suami: "Nanti kalau Bunda gak makan malah sakit. Jadinya bikin masalah baru."
Saya: "Pokoknya gak mauuuuu!!"
Suami: "Tuh, Bunda emang gitu, sih. Kalau udah ngambek suka keras kepala."
Saya: "Pokoknya Bunda maunya sama Keke!!"
Suami: "Iya, ini kan lagi dicari, Bun. Bunda tenang aja dulu."
Saya: "Bunda kasihan sama Keke. Kalau kita tidur di hutan, trus dia tidur sendiri di tenda. Kalau dia gak bisa tidur karena nungguin kita, gimana?"
Suami: "Gak mungkin, Bun. Keke tuh paling jam segini udah tidur. Dan, Bunda tau sendiri kalau Keke udah tidur itu nyenyak. Udah tenang aja. Memang susah juga cari gelap-gelapan gini."

Duh, Sahabat Jalan-Jalan KeNai jangan ikutin kelakuan saya, ya. Saya termasuk yang rese saat itu hahaha. Bener banget kata suami saya, kalau lagi begini yang dibutuhkan adalah sikap yang tenang. Saya memang seharusnya makan supaya jangan sakit dan menambah masalah baru. Tapi, ibu-ibu pasti pada ngerti kenapa saya gak mau makan. Kalau keinget sama anak memang suka jadi gak enak makan *alesyaaaann hahaha* Nai yang tadinya nangis, malah jadi dia yang elus-elus punggung saya wkwkwkw ...

Saya: "Yah ... Ayah udah cari ke seberang sana belum?"
Suami: "Seberang mana?"

Saya lalu menunjuk ke arah seberang dimana terlihat titik kecil tenda (yang sepertinya) berwarna orange. Lokasinya tidak berbaur dengan keramaian.

Suami: "Jauh banget itu, Bun."
Saya: "Ya, kali memang di situ. Gak ada salahnya coba cari ke sana, Yah."
Nai: "Iya, Yah. Coba lihat ke sana."

Tapi, suami saya gak juga mencari ke sana. Memang kelihatannya lokasinya jauh dari tempat kami berada. Udah gitu terpisah dari keramaian pula.

Saya sebetulnya mulai putus asa. Mulai ada rasa marah sama mas Ivan karena susah dicari. Saya pun mulai berteriak ...

"KEKEEEE ...!!!"

Saya sengaja berteriak memanggil nama Keke karena setiap kali kami memanggi nama Ivan, selalu aja ada yang nyahut "Ya, ada apa?" Kata salah seorang pendaki, kadang suka ada yang usil. Yang dipanggil nama siapa, dia ikutan nyahut padahal itu bukan namanya. Tapi ada juga yang nyahut karena namanya sama. Sepertinya Keke nama yang jarang saat itu, karena setiap kali saya berteriak nama Keke gak ada satupun yang nyahut.

Saya: "Kenapa sih porternya gak nyari!"
Suami: "Mungkin nunggu Keke tidur dulu, Bun."
Saya: "Emang gak bisa ajak Keke untuk cari! Trus mau cari jam berapa kalau nunggu Keke tidur dulu?"
Suami: "Paling sebentar lagi. Keke kan tidurnya cepat."
Saya: "Trus, Keke ditinggal? Kalau dia bangun, trus gak ada siapa-siapa gimana?"
Suami: "Keke kalau udah tidur jarang banget bangun."

Saya pun masih melanjutkan ngomel-ngomel sambil nangis ...

2 Jam kemudian ...

Para pendaki: "Pak, ini ada porter yang katanya mencari rombongannya. Jangan-jangan porter Bapak."

Setelah kami saling berpandang-pandangan ...

Mas Ivan: "Oalaaahh! Ternyata, di sini, toh."

(Besoknya Nai cerita kalau 'Oalah' adalah the best part yang dia dengar saat itu. Karena berarti masalah sudah selesai hahaha. Sekarang, setiap kali ada yang bilang 'oalah' kami suka spontan ketawa hehehe)

Suami saya bilang kalau dia ikut instruksi. Dari tugu nyerong ke arah Sindoro dan semua porter mengarahkan ke kanan. Mas Ivan pun bilang kalau dia seharusnya bilang akan mendirikan tenda di area 'abcd' (saya lupa nama areanya). Kalau menyebut nama area itu, semua porter pasti tau, begitu menurut Mas Ivan. Dan, ternyata untuk menuju ke tenda, dari tugu lalu menyerong ke kiri. Pantes aja! :D

Setengah kekesalan saya langsung lenyap berganti rasa lega karena akhirnya ketemu juga. Gak jadi tidur di hutan tanpa tenda. Dan, ketemu sama Keke lagi. Berkali-kali kami, mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada para pendaki yang membantu kami. Saya lupa menanyakan nama-nama mereka, yang jelas mereka adalah para pendaki muda yang tinggal di sekitar sana. Masih banyak pendaki yang peduli. Terima kasih banyak.

Keke tidak ikut bersama porter karena udah tidur. Benar kata suami, porternya memang menunggu Keke tidur dulu. Gak lama setelah tenda didirikan Keke pun tidur.

Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng 
Senangnya bisa tidur di tendaaa! :D

Kekesalan saya langsung lenyap seluruhnya setelah melihat tenda kami. Mas Ivan pinteran pilih area, uy! Menurutnya, area yang dia pilih ini viewnya cakep kalau pagi. Gunung Sumbing dan Sindoro akan tampak megah tidak jauh dari tenda kami.

Kalau malam memang tidak terlihat kemegahan kedua gunung tersebut. Entah karena mendung atau apa. Bintang di langit pun kurang terlihat bertaburan. Tapi, yang pasti area yang dipilih mas Ivan ini sepi. Saat saya sampai di sana hanya ada 3 tenda saja. Tenda kami, mas Ivan, dan tenda pendaki lain. Sangat berbeda dengan kemeriahan 'pasar malam' yang baru saja saya rasakan. Tidak ada keramaian gelak tawa, gonjrang-gonjreng gitar, nyanyi-nyanyi, dan lain sebagainya. Hanya terasa sunyi di area itu. Saya bakalan bisa tidur nyenyak kalau sepi kayak begini. Senangnyaaaa ...

Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng 
Langsung makan banyak hehehe

Keke baru saja bangun ketika kami sampai di tenda. Tapi, gak lama kemudian dia tidur lagi. Sedangkan saya, langsung makan dengan lahap dan banyak. Rasa lapar yang tadi sempat menghilang karena sedih, mendadak muncul. Saya sangat lapar hahaha.

Saya: "Yah, kalau dipikir-pikir ... Sepertinya ini area yang Bunda tunjuk pas di tugu, deh. Yang cuma ada titik kecil trus Ayah bilang jauh banget kalau sampe bikin tenda di sana. Itu kan tugu."

Saya menunjuk area 'pasar malam' yang kali ini tampak dari kejauhan. Udah gitu, menurut mas Ivan dan Keke, mereka sempat mendengar ada teriakan memanggil nama Keke. Tapi, gak dengar teriakan nama Ivan. Jadi, sempat gak terpikir kalau itu untuk mereka. Malah Keke memilih tidur hahaha ... Teriakan saya memang mantap, karena yang manggi Keke memang cuma saya hahaha.

Suami: "Lha, ini tongsis, Bun."

Tongsis yang dicari, ternyata diam manis di ransel suami. Jadinya, tongsis penghambat perjalanan, dong? Eits, belum tentu. Tunggu cerita selanjutnya, ya. Karena setelah tongsis ditemukan, saya memilih tidur di tenda yang hangat. Nge-charge tenaga supaya bisa lihat sunrise dan turun gunung :)

[Silakan baca: Persiapan Pendakian Gunung Prau Bersama Anak]

Note: Foto-foto pendakian Gunung Prau lainnya ada di akun Steller saya (JalanJalanKeNai). Follow, ya :)
Share:

Persiapan Pendakian Gunung Prau Bersama Anak

Persiapan Pendakian Gunung Prau Bersama Anak 
Bagaimana persiapan pendakian gunung Prau bersama anak? Inilah yang kami lakukan.

Long weekend lalu (5-7 Mei 2016), kami pergi ke dataran tinggi Dieng. Rencananya mau mendaki gunung Prau kemudian lanjut ke Sikunir. Bisa dikatakan perjalanan kali ini antara nekat dan tidak.

Dikatakan nekat karena seminggu menjelang Keke ikut Ujian Nasional. Seharusnya, long weekend kami manfaatkan untuk belajar maksimal demi ujian nasional. Tapi, rasanya sayang banget kalau long weekend cuma dihabiskan untuk belajar. Ups! :p

Enggak gitu juga, ding. Rencana ke Dieng ini memang sudah sejak lama. Sudah sejak 6 bulan sebelumnya. Ketika melihat kalender, di semester pertama tahun 2016 ini ada 3x long weekend, yakni bulan Februari, Maret, dan Mei.

Untuk bulan Februari, kami sudah memutuskan untuk berlibur ke Bogor. Sehingga yang tersisa adalah bulan Maret dan Mei. Kalau lihat dari jumlah hari liburnya, bulan Mei yang paling memungkinkan karena perjalanan kami lumayan jauh. Masalahnya hanyalah terlalu mepet dengan Ujian Nasional.

(Silakan baca: Keliling Bogor, Menginapnya di Padjadjaran Suites Hotels & Conference)

Jadi, Maret atau Mei? Setelah dipertimbangkan segala hal, kami memutuskan untuk pergi di bulan Mei. Dan, bulan Maret ke Bandung. Tapi, gara-gara UN pula pikiran saya sempat rada ngeblank menjelang keberangkatan. Antara semangat dan tidak untuk packing hehehe ... *Duh! Kenapa harus ada UN, sih!* :p
Mikirin UN dan khawatir kena macet total di jalan karena long weekend bikin saya sempat rada setengah hati untuk packing. Padahal awalnya semangat banget.
Dari Sekitar 6 Bulan Sebelumnya ...

Bunda: "Ayah dan Bunda berencana mau ajak naik gunung lagi. Siap-siap, ya."

Gunung Prau bukanlah gunung pertama yang mereka daki. Jadi, udah gak perlu pakai proses yang panjang untuk mengajak mereka berdiskusi tentang rencana ini. Bahkan, sebelum (resmi) diberi tahu pun kami sempat berangan-angan kalau suatu saat akan bersama-sama ke Prau.

Jaga Kondisi

Mau pergi kemanapun, kalau lagi sakit pastinya gak bakal asik. Apalagi mendaki gunung kan membutuhkan fisik yang prima. Justru, saya sempat khawatir dengan kondisi kaki sendiri. Sekitar 2 bulan sebelum keberangkatan, sempat kecengklak. Selama beberapa hari, kaki saya sakit kalau dipakai berjalan dan ditekuk. Kaki harus dikasih perban elastis dan disemprot pereda nyeri. Setelah perban dilepas, nyeri dikaki masih suka terasa dan sesekali butuh disemprot. Sempat khawatir kondisi kaki akan menghambat perjalanan. Tapi, alhamdulillah menjelang keberangkatan, kaki saya berangsur pulih.

Saya juga rutin minum air jahe hangat. Sebetulnya ini bukan karena mau mendaki. Tapi lutut kanan saya memang suka sakit kalau kebanyakan turun tangga atau jalan menurun. *Faktor U banget problemnya, nih*. Suami menyarankan saya untuk rutin minum air jahe hangat. Awalnya malas-malasan, trus lama-lama ketagihan. Efeknya berasa banget, sih. Lutut saya udah jarang banget sakit. Malah waktu ke Prau, alhamdulillah gak ada keluhan sama sekali dengan lutut saya saat turun gunung.

Mulai Menyicil Perlengkapan

Persiapan Pendakian Gunung Prau Bersama Anak 
Cek kondisi sepatu adalah salah satu yang harus dilakukan. Kalau untuk mendaki, lebih nyaman pakai sepatu yang 1 nomor lebih besar dari yang biasa dipakai.

Mulai cek-cek barang yang akan dibawa sejak jauh-jauh hari. Siapa tau udah kelamaan disimpan, jadinya bau apek. Atau kondisinya udah kurang baik. Dilap, dicuci, diperbaiki, atau kalau memang perlu beli lagi. Tinggal dilihat aja kondisinya mengharuskan seperti apa. Sedikit penyesalan gak penting saya adalah gak kesampaian beli sepatu Columbia yang waterproof. Gara-gara kebanyakan mikir, tau-tau udah mau berangkat hehehe.

Cek Rute, Penginapan, dan Porter

Persiapan Pendakian Gunung Prau Bersama Anak 
Masing-masing bawa 1 tas. Bisa tebak mana tas saya? :D

Apalagi long weekend kayak begitu. Tadinya, saya nyaranin untuk curi start aja. Berangkat 1 hari lebih cepat dari long weekend. Tapi, kata suami gak usah. Jadi aja saya ketar-ketir karena males banget kalau sampe parkir berjamaah di jalan tol alias kena macet total. Bukan karena macetnya, sih, saya khawatir kalau sampe kebelet. susah banget pastinya cari toilet di saat macet total.

Cari penginapan dan porter juga baru kami lakukan mepet banget. Beberapa hari menjelang hari H. Kalau penginapan sebetulnya setelah kami turun dari Prau. Kami berencana lanjut ke Sikunir untuk melihat golden sunrise.

Saya sempat agak heran sebetulnya karena gak biasanya suami minim info begini. Kata suami, Prau bukanlah 'tempat bermain' dia atau teman-temannya. Jadi, kami sempat minim info tentang penginapan dan porter. Coba cari info lewat Google, nomor telpon yang tertera bukan langsung ke penginapannya.

Saya pun langsung teringat sama Idah (www.idahceris.com), Blogger asal Banjarnegara yang kelihatannya sering ke Dieng dan sekitarnya kalau dari cerita di blognya. Selama beberapa hari terus kontak sama Idah, minta tolong dicariin penginapan dan porter. Alhamdulillah Idah mau bantu. Oiya sempat tanya testimoni juga ke Mbak Muna (www.momtraveler.com) yang pernah menginap di Sikunir. Indahnya dunia blogger :D

Untuk mendaki, kami memang butuh porter. Bawa anak-anak soalnya. Walaupun mereka juga bawa tas masing-masing tapi siapa tau lelah. Gak bisa paksain juga kan supaya mereka tetap bawa tas sendiri. Apalagi Nai masih lumayan kecil badannya. Mau jalan tanpa digendong aja udah bagus banget :)

Air Minum dan Coklat

Persiapan Pendakian Gunung Prau Bersama Anak 
Yeay! Coklaaatt!

Yang paling menyenangkan buat saya dan anak-anak adalah kalau mendaki gunung bisa bawa coklat yang banyak dari berbagai brand favorit kami. Untuk penambah tenaga ketika sedang berjalan bisa menkonsumsi madu, gula merah, atau coklat. Kami selalu bawa madu, tapi yang minum paling suami dan anak-anak aja. Saya gak suka madu. Kami gak pernah bawa gula merah. Tapi, kami bawa banyak coklat hahaha! *Hepi ... hepi ... hepiiiii ... :D*
Gunung Prau termasuk gunung pendek (2.565 mdpl), tetapi tidak ada mata air di sepanjang perjalanan.
Karena tidak ada mata air, maka kami pun membawa botol air minum yang lumayan banyak. Itupun kami masih menambah 6 botol air mineral yang masing-masing berisi 1,5 liter. Dan rasanya saya masih tetap harus irit minum. Padahal kayaknya kalau lagi ngos-ngosan paling gak pengen abisin 0,5 liter sekali minum hehehe.

http://www.jalanjalankenai.com/2016/05/persiapan-pendakian-gunung-prau.html 
6 botol minum yang kami bawa dari rumah. Rata-rata beratnya 750 ml s/d 1 liter. Dan botol minum termasuk yang bikin bawaan jadi berat :D

Jangan Ingat UN!

Kalau ini, sih, persiapan yang benar-benar khusus. Memang rasanya sayang 4 hari terlewat begitu saja tanpa belajar sama sekali. Tapiii ... Kalau ingat belajar saat lagi liburan, beneran gak bakalan asik banget, deh.

Yang saya lakukan adalah terus mengingatkan Keke untuk serius belajar supaya saat jalan-jalan bisa maksimal senang-senangnya. Keke memang dasarnya santai juga, jadi selama liburan dia mana ingat kalau UN udah di depan mata hahaha. Jadi, sebetulnya saya juga yang mempersiapkan diri. Dari hasil belajarnya selama ini, kayaknya gak apa-apa lah kalau berlibur dulu selama 4 hari. Dan, selama di sana, kami semua gak inget sama belajar hehehe. Pokoknya kalau lagi liburan lupakan sejenak beban hidup, deh hehe

Kayaknya, kapan-kapan saya harus bikin postingan sendiri tentang persiapan kami yang lebih detil, ya. :)

Tongsis, Ngeselin atau Penyelamat?

Saya: "Kita berangkat Rabu pagi atau siang aja, gimana?"

Saran saya untuk berangkat lebih awal (suami ambil cuti dan anak-anak izin sehari) ternyata gak dapat kesepakatan dari suami. Jadilah seharian itu, saya sebentar-sebentar cek Google Maps. Lega banget kalau melihat jalanan biru semua. Mulai was-was kalau banyak warna merahnya.

Sebagian besar perlengkapan sudah beres dipacking. Saya pikir, begitu suami datang berarti tinggal cek lagi trus langsung jalan. Gak taunya selain beresin tenda, suami sibuk cari tongsis!

Emang sih itu tongsis bikin penasaran. Karena 1 malam sebelumnya kami sempat melihat ada di dekat box yang dekat kamar mandi. Lah, kok tau-tau pas mau berangkat gak ada? Udah dicari kemana-mana tapi gak ketemu juga. Kan, bikin penasaran banget kalau tiba-tiba ngilang begitu.

Tapi, biasanya yang suka rempong sama urusan foto itu saya. Buat saya, bepergian tanpa bawa kamera bisa bikin mati gaya hehehe. Nah, ini tumben suami yang ribet sama tongsis. Padahal, kami jarang juga jalan-jalan bawa tongsis. Yang penting bawa kamera. Alasannya suami kenapa terus cari tongsis karena penasaran itu tongsis mendadak hilang. Sama, saya juga penasaran. Tapi saya lebih was-was lagi kalau gara-gara urusan tongsis perjalanan jadi terhambat.

Dan, memang jadinya terhambat. Tadinya, saya pikir paling telat sekitar pukul 10 malam sudah jalan. Ternyata, malah menjelang pukul 00.00 wib baru jalan. Gara-gara tongsis, nih!

Trus, kalau gini tongsis memang ngeselin, ya? Atau justru jadi penyelamat? Hmmm ... Ceritanya di postingan berikutnya, ya :)

Persiapan Pendakian Gunung Prau Bersama Anak
Menanti sunrise di puncak Gunung Prau. Tampak 'gunung kembar' Sindoro dan Sumbing. Sedangkan 3 gunung lain di belakangnya adalah gunung Andong, gunung Merbabu, dan gunung Merapi. Sebetulnya di sebelah gunung Andong masih ada satu gunung lagi, yakni Ungaran. Tapi tidak tertangkap kamera.
Share:

Serunya Menjadi Detektif di Escape Hunt Jakarta

Detektif, Escape Hunt, Jakarta

Skala 1-5, saya akan kasih nilai 5 *1 sangat mengecewakan dan 5 untuk sangat memuaskan*

Sahabat Jalan-Jalan KeNai suka membaca komik Conan? Bagaimana dengan Sherlock Holmes? Atau mungkin senang main game online Criminal Case? Mungkin juga main game Tomb Rider? Kalau Tomb Rider memang bukan game detektif. Lebih ke action tapi seringkali dituntut memecahkan puzzle terlebih dahulu untuk bisa melanjutkan permainan. Lalu, bagaimana dengan berbagai serial detektif di televisi, seperti CSI, NCIS, Criminal Mind, dan lain sebagainya?

Kalau saya suka semua yang disebut di atas. Malah kadang suka berkhayal jadi detektifnya hehehe. Tapi ya gitu, deh. Hanya sebatas mengkhayal. Bermain pura-pura jadi detektif pun rasanya belum pernah.

Hingga Sabtu (9/4) lalu ...

Detektif, Escape Hunt, Jakarta

Hadeuuh! Kalau mau jalan, buka Google Maps trus lihat garis kuning dan merah mendominasi rasanya udah bikin stress duluan. Kalau aja di hari itu kami gak berencana mau ke Escape Hunt, rasanya memilih gak jadi keluar rumah, deh.

Iyeeess! Kami sekeluarga mau jadi detektif!

Akhirnya, kesampaian juga main di sini. Udah tau tempat ini sejak lama. Escape Hunt Jakarta memang sudah ada sejak Mei 2014.

Sambutan yang ramah dari mbak Nesya, Escape Hunt, serta ruangan yang terasa sejuk membuat kami langsung melupakan perjalanan merayap sepanjang jalan tadi. Di dominasi interior berwarna coklat dan klasik membuat suasana Escape Hunt terlihat temaram. Kami langsung memilih duduk di sofa pojok.

Detektif, Escape Hunt, Jakarta

Saya sempat tersenyum kecil ketika diminta mengisi data diri. Kami dianggap 'Detektif'. Ihiiiyy ... Gak perlu menunggu lama, setelah mengisi data diri, kami pun diajak mbak Nesya untuk briefing.

Hari itu, mbak Nesya memang menjadi game master kami. Tugas game master adalah membantu para detektif bila mengalami kesulitan. Eits! Tapi sebaiknya jangan sering-sering minta bantuan, ya. Karena setiap kali minta bantuan, maka waktu permainan akan berkurang 1 menit.

Detektif, Escape Hunt, Jakarta

Kami pun diminta menentukan siapa yang akan jadi ketua tim. Spontan, saya langsung menunjuk suami. Anak-anak juga melakukan hal sama. Kebiasaan di rumah, kalau lagi main game detektif biasanya yang paling sering memecahkan puzzle adalah suami alias ayah Keke dan Nai hehehe. Karena suami yang jadi ketua tim, mbak Nesya pun memberikan setitik wewangian dari botol kecil ke jidat suami. Katanya, semua ketua tim harus dikasih wewangian tersebut.

Namanya juga main detektif, berarti ada kasus yang harus diselesaikan. Di Escape Hunt Jakarta ada 5 kasus berbeda yang bisa Sahabat Jalan-Jalan KeNai pilih. Di hari itu, kami akan menyelesaikan kasus "Murder in The Bed Room"

Ceritanya, kami adalah tim detektif yang didatangkan dari London untuk menyelesaikan misteri pembunuhan di kamar tidur di salah satu rumah pebisnis di Indonesia. Suasananya klasik karena ceritanya memang disetting dengan suasana 100 tahun lalu. Seperti terlempar oleh mesin waktu, kami pun dibawa ke masa 100 taun yang lalu.

Detektif, Escape Hunt, Jakarta

Selesai briefing, kami diajak masuk ke salah satu ruangan. Pegangan tangan Nai sedikit mengencang di pergelangan tangan saya ketika kami semua masuk ke ruang gelap dan hanya ada 1 lampu kecil berwarna merah. Terlebih setelah pintu ditutup dan kami berempat ditinggalkan di dalam ruangan. Tapi tenang aja, setelah lampu yang lebih terang dinyalakan langsung terlihat seperti ruangan biasa bernuansa klasik, kok.

Sebelum masuk ke ruang permainan, kami diminta menaruh semua barang bawaan termasuk smartphone ke dalam loker yang dikunci. Saya langsung berkesimpulan kalau kami memang dilarang mendokumentasikan. Jadi, saya pun tidak akan menceritakan secara detil apa saja yang kami lakukan selama di dalam ruangan. Lagian percaya, deh, kalau dikasih tau duluan malah jadinya gak bakal seru lagi. Ibarat main game di PS tapi sebelum main browsing walkthrough dulu. Yaaa ... udah berkurang asiknya kalau begitu. So, buat yang penasaran mendingan ngerasain langsung main di sini :)

Detektif, Escape Hunt, Jakarta
Kalau sampe gak terpecahkan kasusnya, kayaknya salahkan Keke saja hahaha

Salah satu hal yang bikin permainan ini jadi seru adalah deg-degan berkejaran dengan waktu. Kami diberi waktu 60 menit untuk menyelesaikan kasus. 60 menit bukan waktu yang panjang mengingat ada beberapa puzzle yang harus dipecahkan. Sedangkan untuk menyelesaikan puzzle pertama saja kami menghabiskan waktu 20 menitan. Itu karena kami gak mau minta tolong game master. Sayang banget kalau sampe kena penalti. *1 menit juga berharga hehehe*

Etapi akhirnya minta tolong juga karena gak tau lagi bagaimana memecahkan puzzle pertama yang ternyata gampang bangeeett! *Tepok jidat masing-masing hahaha* Yup menyelesaikan puzzle demi puzzle di game ini seringkali menuntut peserta untuk berpikir out of the box. Ada yang terlihat susah padahal sebetulnya gampang. Begitu juga sebaliknya. Belum lagi beberapa clue yang tujuannya hanya untuk mengalihkan perhatian dari clue sebenarnya.

Selain dituntut berpikiran out of the box, sikap tenang dan bekerja sama yang baik sangat dibutuhkan di sini. Seringkali antara saya, suami, anak-anak punya pedapat masing-masing. Kalau kami bersikeras hanya ingin didengarkan pasti bisa jadi ribut. Apalagi kalau melihat jam digital di dinding yang terus berjalan ke angka 60 menit. Adrenalin rasanya mulai terpacu juga. Nai tuh yang paling sering mengingatkan tentang waktu. Bikin makin deg-degan hahaha.

Kami memang harus bekerja sama karena puzzle lain gak akan terbuka bila belum menyelesaikan puzzle sebelumnya. Pokoknya kalau Sahabat Jalan-Jalan KeNai mau main di Escape Hunt, WAJIB cari tim yang kompak. Jangan sampe pulang dari Escape Hunt malah jadi ribut wkwkwkwk. Lagian gak asik ah kalau gak kompak.

Walaupun beberapa kali harus minta bantuan game master, tetep aja gak bikin kami langsung tau jawabannya. Karena ketika meminta bantuan, game master tidak akan memberikan jawaban tetapi hanya mengarahkan pikiran kami biar gak terdistraksi kemanapun. Tetep aja kalau gak fokus atau lagi lemot mikirnya, arahan yang dikasih game master kayaknya gak akan ketebak juga jawabannya. Untungnya kami bisa hahaha. Setelah bisa menyelesaikan kasus dan keluar ruangan, rasanya puas banget. Kami berhasiiill! :D

Detektif, Escape Hunt, Jakarta

Usai bermain, kami disuguhi dengan secangkir teh. Berasa seperti afternoon tea ala Inggris, nih. Cuma kurang camilan untuk afternoon tea ajah hehehe. Saat sedang menikmati afternoon tea, sekitar 4-5 anak perempuan seusia Keke baru saja keluar dari ruangan.

Di Escape Hunt, usia minimum untuk bermain di sana adalah 7 tahun. Mungkin kalau 1 tim isinya anak-anak semua akan mengalami kesulitan. Kalau seprti itu, biasanya game master akan terus  mendampingi. Jadi buat orang tua yang hanya ingin anak mereka dan teman-temannya saja bermain, gak usah khawatir. Service mereka untuk kepuasan para pemain memang oke banget.

Walaupun tema detektif, suasananya gak bikin serem, kok.  Gak harus sekeluarga juga. Sahabat Jalan-Jalan KeNai bisa datang bersama sahabat, gathering kantor, dan lainnya. Ada 5 kasus di Escape Hunt dan tersedia 6 ruangan. Itu karena case Murder in The Bed Room ada 2 ruangan. Misalnya, Sahabat Jalan-Jalan KeNai pengen ngadain battle tim mana yang tercepat memecahkan kasus, bisa pilih Murder in The Bed Room.

Escape Hunt sudah ada di banyak negara. Kalau di Indonesia, yang pasti ada di Jakarta. Selain Jakarta, Escape Hunt juga ada di Surabaya dan Bali kalau untuk Indonesia. 1 tim bisa terdiri dari 2-5 orang. Harga setiap satu permainan tergantung dari jumlah tim. Semakin banyak jatuhnya bisa semakin murah harga per orangnya.
  • 2 orang, IDR600K (IDR300K per pax)
  • 3 orang, IDR825K (IDR275K per pax)
  • 4 orang, IDR960K (IDR240K per pax)
  • 5 orang, IDR1.050K (IDR210K per pax)
Tim kami berjumlah 4 orang. Berarti untuk sekali bermain, akan dikenakan harga IDR960K per tim. Atau biaya per orangnya IDR240K.

Kami masih penasaran dengan 4 kasus lain. Terpikir untuk bermain lagi. Sebagai catatan penting, bila Sahabat Jalan-Jalan KeNai ingin bermain di Escape Hunt sebaiknya datang tepat waktu. Setiap tim akan diberi waktu bermain 1 jam. Kalau tim Sahabat Jalan-Jalan KeNai terlambat datang, tentu bisa mengganggu tim lain yang akan bermain berikutnya. Menjadi kelamaan menunggu. Pertimbangkan akses ke Kemang yang biasanya padat terutama di hari Sabtu, ya. Jangan mepet waktu jalan dari rumah.

Lebih bagus lagi kalau Sahabat Jalan-Jalan KeNai juga booking dulu. Paling tidak sehari sebelumnya. Ya, siapa tau aja di hari yang ditentukan sedang penuh. Kalau Sahabat Jalan-Jalan KeNai udah booking, pasti akan tetap kebagian.

Escape Hunt buka setiap hari termasuk tanggal merah, kecuali di hari raya Idul Fitri. Gak sulit mencari lokasi Escape Hunt. Apabila Sahabat Jalan-Jalan KeNai sudah tau KFC Kemang, Escape Hunt hanya berjarak beberapa meter saja dan masih sejajaran.

Detektif, Escape Hunt, Jakarta 
Yeaay! We did it! Jadi penasaran sama case lainnya. Pengen juga cobain Escape Hunt di kota atau negara lain. Karena setiap tempat bisa berbeda-beda casenya :)

Escape Hunt Jakarta

Jl. Kemang Raya No. 15, 2nd Floor
Jakarta Selatan 12730

Phone: 021-9785 7828 | 021-7179 4600

www.jakartaescapehunt.com
www.escapehunt.com

Fanpage: EscapeHuntJakarta
Twitter: EscapeHuntJKT

 Follow Me
Share:

Mencari Anggrek Raksasa di Kebun Raya Bogor. (Tidak) Malu Bertanya, Tetap (Ter)Sesat si Jalan.

Mencari anggrek raksasa di Kebun Raya Bogor itu melelahkan hahaha! Padahal kami sudah bertanya, lho. Jadi kalau ada pepatah "Malu Bertanya, Sesat di Jalan", saat itu gak berlaku untuk kami. Karena kenyataannya, kami "Tidak Malu Bertanya, Tapi Tetap Tersesat di Jalan" hehehe.

Siang itu, Sabtu (6 Februari 2016), kami sedang makan siang yang kesorean di Lemongrass *Soalnya baru makan siang pukul 3 sore hehehe*

Nai: "Bunda, habis makan, kita mau kemana?"
Bunda: "Kayaknya istirahat dulu aja di hotel, ya. Atau berenang di hotel juga boleh. Jalan-jalannya besok aja."
Nai: "Besok, mau jalan-jalan kemana?"
Bunda: "Terserah. Ke kebun raya mau, gak?"
Nai: "Kenapa ke kebun raya?"
Bunda: "Kan, Ima pernah bilang mau ke kebun raya. Lagian, kemaren Bunda baca berita di salah satu media online, katanya di kebun raya lagi mekar bunga anggrek raksasa. Anggreknya itu cuma mekar 2 tahun sekali. Sekali mekar bisa 2 bulan, sih. Tapi, mumpung lagi di Bogor, kita lihat anggrek raksasa aja, gimana?"

Keesokan harinya ...


Kami menginap di Padjadjaran Suites Hotel, Bogor. Kami keluar dari hotel pukul 10.30 wib. Memutuskan untuk naik angkot saja menuju Kebun Raya. Dari hotel menuju Kebun Raya tidak suli, cukup menyebrang dan tunggu angkot 09 *Lupa jurusan mana. Pokoknya nomor angkotnya 09.* Sekitar 10 menit (kalau lancar) kami sudah tiba di pintu 3 Kebun Raya, Bogor.

Ini kali pertama Keke dan Nai jalan-jalan ke Kebun Raya Bogor (KRB). Kalau buat saya, ke KRB bisa jadi semacam perjalanan nostalgia. Waktu kecil, KRB adalah salah satu tempat yang paling sering didatangi untuk piknik keluarga. Setelah besar, saya gak pernah ke KRB lagi selama bertahun-tahun. Baru tahun 2016 ini saya ke KRB lagi.

Setelah membayar tiket masuk seharga IDR14K, saya lalu bertanya ke salah seorang petugas yang berada di loket. Abis gak ada papan petunjuk di mana anggrek raksasa berada.

Saya: "Permisi, Mbak. Kalau anggrek raksasa yang sedang mekar ada di area mana, ya?"

Mbak yang saya tanya tidak menjawab sama sekali, dia hanya memalingkan muka ke arah teman di sampingnya.

Mbak A: "Ada perlu apa, Bu?"
Saya: "Iya kalau anggrek raksasa yang sedang mekar ada di area mana?"
Mbak A: "Anggrek raksasa?"
Saya: "Kemarin saya baca di internet, katanya ada anggrek raksasa yang sedang mekar di sini. Kejadian yang hanya terjadi antara 2-3 tahun sekali. Dimana lokasinya, ya?"
Mbak A: "Oh, mungkin di jalan Astrid, Bu."
Saya: "Dimana itu jalan Astrid? Jauh?"
Mbak A: "Enggak, kok. Dari sini, ibu tinggal belok kiri trus lurus aja. Gak jauh udah jalan Astrid. Tapi tunggu sebentar, ya, Bu."

Mbak A lalu menghampiri seorang petugas laki-laki yang berdiri di luar loket.

Bapak B: "Ibu mau lihat anggrek raksasa?"
Saya: "Iya, Pak."
Bapak B: "Mungkin ada di jalan Atrid, Bu. Dari sini belok kiri trus lurus aja. Gak jauh, kok."
Saya: "Baik, Pak."
Bapak B: "Tapi, kalau Ibu mau lihat anggrek mendingan di Griya Anggrek aja, Bu."
Saya: "Lokasinya dimana, Pak?"
Bapak: Dari sini lurus. Itu yang atap kacanya dari sini kelihatan. Di rumah kaca itu ada berbagai jenis anggrek."
Saya: "Saya gak mau lihat berbagai jenis anggrek, Pak. Saya cuma mau lihat anggrek raksasa. Kalau saya lihat foto yang di internet itu, kayaknya lokasinya di area terbuka. Menempel di salah satu pohon besar, bukan di rumah kaca."
Bapak: "Kalau begitu, Ibu coba aja dulu ke jalan Astrid. Tapi, saya gak tau pasti di sana ada atau enggak."
Saya: "Begitu, ya?"
Bapak: "Iya, Bu. Karena kalau di sini setiap petugas sudah punya pegangan masing-masing. Saya pegangannya area atas sini. Jadi gak tau area lain, Bu. Maaf, ya."
Saya: "Gak apa-apa, Pak. Terima kasih banyak, ya."
Saya mengerti kalau setiap petugas di sana sudah ada tugas masing-masing. Apalagi Kebun Raya Bogor itu luas. Tapi, saran saya, untuk sesuatu yang tidak terjadi setiap saat dan berpotensi mengundang banyak pengunjung untuk tertarik datang, ada baiknya semua petugas tau lokasinya. Contohnya kayak anggrek raksasa ini. Kan, katanya hanya mekar setiap 2 tahun sekali saja. Tentu ini akan sangat menarik untuk dilihat banyak pengunjung.
Tapi, yang saya rasakan saat di KRB, infonya minim sekali. Tidak ada banner bahkan petugas pun tidak tahu. Coba lihat web KRB pun tidak ada infonya. Sampai saya sempat berpikir apa jangan-jangan berita itu media online itu hoax?
Dari loket masuk, sesuai dengan arahan mereka, kami belok kiri. Berjalan lurus terus hingga sampai di persimpangan pertama. Ada papan petunjuk, ke kiri itu jalan menuju Green Garden Cafe. Jalan ke kiri sepi dan agak gelap karena rimbunnya pepohonan. Semua pengunjung berjalan terus. Kami pun mengikuti.


Di persimpangan kedua, kami kembali melihat papan petunjuk jalan. Ke sebelah kiri masih arah menuju Green Garden Cafe tapi jalannya lebih terang. Cafenya juga terlihat jelas dari tempat kami berdiri. Di sebelah kanan adalah jalan menuju masjid yang juga terlihat jelas masjidnya dari tempat kami berdiri. Jalan lurus, kami akan bertemu dengan kolam teratai raksasa.

Banyak pengunjung lebih memilih ambil jalan lurus. Di pinggir kolam teratai, ada taman yang luas. Banyak yang piknik di sana. Ada juga yang terus melanjutkan perjalanan ke area lain. Kami pun memilih untuk berjalan lurus. Sempat foto-foto sejenak di kolam teratai raksasa sebelum melanjutkan perjalanan.

15 menit ... 30 menit ... 1 jam ... Mana jalan Astrid, sih? Kata petugas di loket 3 jalan Astrid itu dekat, tinggal lurus aja. Tapi kami sudah berjalan sekian lama, entah udah berapa kali belokan kami lewati, gak ketemu juga dengan jalan Astrid. Kami pun akhirnya melihat papan penunjuk jalan. Lho, lokasinya dekat sama Pintu 3 tempat kami masuk? Tapi, perasaan gak lihat jalan Astrid?

Ketika berada di pintu 1 yang juga menjadi pintu utama, saya ingin bertanya ke petugas yang ada di sana. Tapi dilarang suami. Alasannya, paling sama aja jawabannya sama petugas di pintu 3. Suami menyarankan saya untuk bertanya ke salah seorang supir mobil wisata. Menurutnya, supir mobil wisata kemungkinan besar tau karena kerjaannya keliling KRB membawa para pengunjung.

Supir Wisata: "Oh, anggrek raksasa ada di jalan Astrid, Bu."
Saya: "Yakin, Pak?"
Supir Wisata: "Yakin, Bu. Nanti dari sini Ibu belok ke kanan. Ikutin terus jalannya, nanti ketemu jalan Astrid."
Saya: "Terima kasih banyak, Pak."

Tapi, kami memilih belok kiri dulu. Kalau lihat dari papan petunjuk jalan, gak jauh dari lokasi kami berdiri ada museum Zoologi. Kemudian kami ingin melanjutkan melihat istana dari KRB.

Batang-batang anggrek yang cukup rendah

Suami: "Ini jalan Astrid, Bun."
Saya: "Iya, tapi mana anggrek Raksasanya?"
Suami: "Itu kali di pohon besar yang di depan."
Saya: "Kalau lihat sulur-sulurnya, sih, mirip kayak yang di berita itu. Tapi mana anggreknya?"
Keke: "Iya, gak ada anggreknya."
Suami: "Coba lihatnya ke atas."

Anggrek raksasa yang dicari ada di ketinggiar sekitar 3 meteran dari permukaan tanah. Saya juga sedikit salah mengira. Tadinya dalam bayangan saya akan melihat anggrek dengan kelopak segede gaban eh raksasa. Eh, gak taunya kecil *tapi gak tau juga kalau lihat dari jarak dekat*.

Saya: "Trus, yang dimaksud raksasanya apanya? Kayaknya kecil-kecil kelopaknya?"
Suami: "Keseluruhannya kayaknya. Biasanya anggrek kalau nempel di pohon, kan, gak sampe sepanjang gini batang-batangnya. Bunga juga gak sebanyak itu ngegerombolnya. Mungkin itu yang dibilang raksasanya."
Saya: "Iya, juga kayaknya."

 
Anggrek raksasa atau dikenal juga dengan nama anggrek tebu karena batangnya yang mirip tebu. Ciri-ciri anggrek terbesar di dunia ini adalah
  1. Rangkaian bunga bisa panjang hingga mencapai 2 meter 
  2. Rangkaian bunga disetiap tangkai berjumlah 50-100 kuntum
  3. Panjang batang bisa mencapai 3 meter, menjuntai ke bawah
  4. Daunnya tipis dengan panjang 50-100 cm dan lebar 3-4 cm
  5. Berbunga serempak setiap 2 tahun dan bertahan mekarnya hingga 2 bulan
Alhasil, kami menghabiskan waktu hingga 2 jam berjalan kaki untuk mencari anggrek raksasa di Kebun Raya Bogor. Yang bikin ngikik adalah pohon anggrek itu ada di dekat masjid yang saya lihat! Yang di persimpangan dekat kolam teratai dan cafe. Trus, saya buka lagi portal berita yang menulis tentang anggrek raksasa itu. Di sana juga disebutkan lokasinya. Eyaampuun! Inilah kalau gak teliti membacanya hahaha.

Nai: "Coba tadi langsung tau, ya. Pasti udah pulang dari tadi. Kan, rencananya cuma mau lihat anggrek raksasa aja."
Saya: "Iya, mungkin kita memang harus keliling KRB dulu, Nak hehehe."

Jam sudah menunjukkan hampir pukul 13.00 wib. Perut sudah lapar, mau keluar untuk cari makan lagi udah males. Pegel kakinya hehehe. Apalagi, di langit udah menunjukkan tanda-tanda akan hujan deras. Kami memutuskan untuk makan siang di Green Garden Cafe aja.


Saya gak tau sejak kapan anggrek raksasa ini mekar. Tapi, kabarnya baru-baru ini dan akan bertahan selama 2 bulan kalau sedang mekar. Kalau Sahabat Jalan-Jalan KeNai berencana mau ke Bogor dalam waktu dekat ini, coba mampir ke KRB. Siapa tau masih mekar. Ya, daripada menunggu 2 tahun lagi.

Berdasarkan pengalaman kami yang sempat nyasar itu, pohon anggrek raksasa paling gampang ditemui kalau masuk dari pintu 3. Paling dari pintu 3 cuma butuh jalan santai selama 10 menit saja. Atau kalau masuk dari pintu lain, patokannya kolam teratai raksasa atau cafe Green Garden. Dari situ, akan kelihatan masjid. Semoga aja gak ada Sahabat Jalan-Jalan KeNai yang nyasar kayak kami, ya hehehe.

Cerita lengkap jalan-jalan di KRB dan kulineran di Green Garden Cafe, di postingan berikutnya, ya.

Share:

Yang Baju Orange Jangan Sampai Lepas!

Abis Nai ngacir banget. Bikin khawatir hilang di hutan.

"Mas, lihat anak perempuan yang pakai baju bola warna orange, gak?" tanya saya kepada seorang crew Tanakita yang sedang melintas sambil membawa ban untuk tubing.

"Gak lihat, Bu."

Duh! Napas yang belum hilang ngos-ngosannya, sekarang ditambah dengan hati yang mulai deg-degan.

Masa' gak lihat, sih? Trus, Nai kemana?

"Mas, lihat anak perempuan pakai baju orange lewat, gak? Anak kecil, Mas." Saya kembali bertanya ke crew Tanakita lain yang sedang melintas. Saya sangat gak yakin kalau mereka melihat. Karena yang kami lewati adalah jalan setapak. Kalau crew pertama yang baru saja lewat beberapa menit lalu gak melihat, rasanya kecil banget kemungkinan crew yang berikutnya akan berpapasan dengan Nai.

"Gak ada anak kecil yang lewat, Bu."

Walaupun saya sudah menduga jawabannya akan seperti itu, tetap aja lutut menjadi lemas mendengarnya. Jantung saya semakin berdegup kencang.

------------------------------


"Nai! Tunguuu ...!"
"Nai! Jangan kecepetan ...!"

Berulang kali saya harus berteriak memanggil Nai yang melesat sendirian. Saat itu, kami (minus Keke yang lebih memilih river tubing) dan 1 rombongan keluarga besar yang menjadi tamu Tanakita, sedang berjalan kaki menuju Tanakita Riverside.

Sebetulnya untuk menuju sana bisa aja naik angkot. Tapi, jadi gak berpetualang kalau naik angkot. *Naik angkot mah di kota aja :p* K'Aie mengajak trekking ke Tanakita Riverside. Berarti kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak di hutan.

Memang bukan di tengah hutan belantara. "Hanya" di pinggir hutan. Walau begitu tetap aja jalannya masih alami. Harus hati-hati, terlebih bila hujan turun. Apalagi di sepanjang 2/3 perjalanan ada jurang di pinggirnya.

Mungkin merasa sudah hapal jalan karena sudah berkali-kali kami trekking ke Riverside, Nai pun langsung melesat sendiri. Sesekali dia meloncat seperti kancil. Saya berkali-kali harus berteriak memintanya untuk berhenti. Padahal sulit untuk berteriak di saat bernapas aja sudah ngos-ngosan karena harus berlari mengejarnya. Ya, saya harus berteriak memintanya berhenti karena kalau tidak gak akan kekejar. Nai larinya cepat :D

Nai memang sudah hapal jalan, tapi saya merasa kami semua harus tetap jalan bersama. Tentu alasan utamanya untuk saling menjaga keselamatan. Trekking di hutan dengan kondisi jalan setapak yang apa adanya. Jalurnya gak selalu datar, kadang menurun dan menanjak. Ada juga jalan yang licin. Kebanyakan melewati jalan setapak yang di pinggirnya jurang.

Bagaimana kalau dia terpeleset atau terguling karena jalanan licin? Bagaimana bisa tau kalau dia terpeleset bila jalan sendirian? Siapa yang bisa langsung menolong kalau dia terjatuh saat jalan sendirian? *Duh, pikiran saya mulai aneh-aneh karena khawatir, nih*

Lama kelamaan teriakan saya semakin berkurang. Kalah dengan napas yang semakin terengah-engah dan rasa lelah karena mengejarnya. Ya, seharusnya trekking di jalani dengan berjalan santai, khususnya buat saya :D

----------------------


Dan, saya pun duduk di sebuah persimpangan ... 

Di tengah perjalanan trekking, kami akan menemui sebuah persimpangan. Satu-satunya persimpangan yang ada Ke kanan untuk menuju Tanakita riverside, ke kiri untuk menuju start river tubing.

Saat itu saya hanya menunggu bersama seorang anak laki-laki kelas 2 SD. Anak dari salah seorang tamu yang ikutan trekking bersama kami. Dia ikut berlari ketika saya mengejar Nai. Rombongan lain tertinggal jauh. Berkali-kali, saya menengok ke belakang, belum juga nampak rombongan trekking datang. Saya semakin gelisah karena beberapa kali bertanya ke crew Tanakita yang lewat dan mendapatkan jawaban tidak melihat anak kecil berkostum jersey warna orange.

Jangan-jangan Nai kebawa sama Keke?

Saat sedang menyusuri jalan setapak, tau-tau Keke datang sambil berlari. Tujuan dia adalah river tubing. Sama seperti Nai, Keke pun melesat meninggalkan rombongan tamu yang juga akan river tubing. Merasa klop, Keke dan Nai pun semakin melesat ketika mereka bertemu. Meninggalkan saya dan rombongan lain jauh di belakang. Hingga akhirnya mereka hilang dari pandangan.

Saya berharap Nai memang kebawa Keke. Setidaknya itu dugaan yang lebih menenangkan daripada menduga yang lain, seperti jatuh. Hiii ... Tapi, kalau Nai sampai kebawa sama Keke, trus gimana dia baliknya? Gak mungkin juga Nai ikut Keke menyusuri sungai. Nai gak pakai perlengkapan untuk river tubing. Lagipula badannya masih kekecilan untuk ikut aktivitas tubing.

Akhirnya rombongan besar yang ditunggu muncul juga ...


Saya pun langsung nyerocos menceritakan kejadiannya. Seorang crew Tanakita yang ikut menemani trekking dengan sigap mengatakan akan mencari ke tempat start tubing. Saya pun mulai sedikit lega. Setidaknya mulai ada yang bantuin cari.

Trus, apakah kemudian saya mulai bisa trekking dengan santai. Ternyata enggak ...!

Kali ini giliran anak kecil yang mengikuti saya dari awal trekking yang mengajak berlari. Kembali saya harus berteriak dan berlari. Ini anak kecil pada makan apa, sih? Energinya turbo semua. Untungnya anak ini masih mau nungguin saya. Menurut kalau saya minta berhenti. Ya, mungkin karena dia baru pertama kali juga trekking di sana hahaha :D *nasiiib ... nasiiiib ...* *pegangin lutut yang kembali nyut-nyutan*

Kenapa gak dari awal bukan K'Aie yang mengikuti Nai? Pasti secara tenaga K'Aie lebih bisa mengikuti ritme langkah kaki Nai. Itu karena kami berjalan dalam rombongan besar dengan rentang usia batita hingga lansia. K'Aie tidak hanya hapal jalan tapi juga tau bagaimana trekking yang aman. Tentu aja K'Aie lebih baik tetap bersama rombongan. Akhirnya yang 'ketiban' usaha mengejar Nai adalah saya hahaha!

Ketika saya sedang beristirahat sejenak di pinggir sungai karena napas yang terengah-engah, tau-tau ada yang nyolek dari belakang. Yaelah ...! Bocah perempuan berkostum jersey orange tau-tau udah di belakang bundanya lagi. Nai pun nyengir seperti tidak merasa sudah mekakukan sesuatu yang sudah bikin bundanya khawatir.

Ternyata benar dugaan saya. Nai kebawa Keke ke arah tempat river tubing. Mereka berdua asik berlari sambil ngobrol sepanjang jalan hingga gak sadar ada persimpangan. Nai baru sadar kalau salah jalan setelah crew Tanakita yang mencari menemukannya. Dan dengan cepat dia kembali, menyalip rombongan besar, kemudian bertemu dengan saya yang lagi beristirahat sejenak. *Lagi-lagi rombongan erada jauh ketinggalan di belakang*

Nai kembali berlari. Kali ini bersama dengan anak laki-laki yang dari tadi menemani saya. Saya pun kembali berlari. Untung aja Tanakita Riverside sudah semakin dekat. Jalur trekking sudah cenderung aman. Udah gak berjalan di pinggir jurang, jalannya juga banyak yang rata walopun masih ada tanjakan dan turunan. Paling tinggal melewati 1 turunan terakhir yang agak tinggi dan licin, sehingga harus lebih berhati-hati.


Nilai positif yang bisa saya ambil dari kejadian waktu itu adalah kalau segala sesuatu memang butuh proses. Seringkali gak instant. Masih inget banget, bertahun-tahun lalu ketika mulai mengajak anak-anak trekking. Mereka gak pernah kelihatan jijik'an, sih kalau cuma sekadar kaki dan tangan kotor karena lumpur. Tapi, belum kuat jalan jauh.

Biasanya kami bujukin untuk tetap berjalan. Beristirahat dulu bila perlu. Tapi kalau masih rewel juga, K'Aie yang kebagian tugas menggendong anak-anak secara bergantian. Sekarang mereka udah gak minta gendong lagi. Tapi kali ini giliran yang sesekali kami mengejar mereka hehehe ...

PR saya berikutnya adalah melatih stamina agak gak terlalu kalah sama anak-anak hahaha. Etapi yang terpenting adalah harus semakin mengingatkan Keke dan Nai tentang kebersamaan. Apalagi kalau lagi di alam bebas seperti itu. Yang penting adalah bukan tentang siapa yang duluan sampai karena sedang tidak berlomba. Tapi tentang kebersamaan. Jalannya bareng, sampenya juga bareng.
Share:

Tanakita Riverside bila Ingin Menikmati Sunyi

tanakita
Tanakita Riverside bila Ingin Menikmati Sunyi. Karena di sini benar-benar gak ada signal untuk internetan :D

Suami: "Bun, tanggal 7 (November) ke Tanakita, ya. Rani menikah."
Saya: "Tapi, rencana kita camping di Puncak gimana, Yah?"
Suami: "Itu camping tanggal berapa?"
Saya: "Tanggal 31 (Oktober)."
Suami: "Gak bentrok berarti, kan? Bisalah."
Saya: "Iyeees!!"

Tanggal campingnya memang gak bentrok, tapi siapa tau suami jadi malas untuk camping di Puncak karena jaraknya cuma seminggu. Ke Tanakita memang untuk menghadiri undangan pernikahan mantan teman sekantor suami. Bukan di Tanakita, sih, menikahnya. Masih seputaran Cisaat, tapi gak mungkin juga kami bolak-balik Bekasi-Cisaat. Mending menginap semalam aja di Tanakita.

Suami bilang kalau menginapnya nanti di Riverside karena di Tanakita, Pinus, dan Rumamera sudah penuh. Gak masalah buat saya, Riverside juga kelihatannya nyaman. Anak-anak juga gak protes. Apalagi mereka sudah tau camp area yang riverside walopun belum pernah menginap di sana. Artinya mereka akan puas bermain air. Yippiiee!!

Saya agak malas saat berangkatnya karena harus menggunakan kendaraan pribadi. Udah nyaman naik kereta kalau ke Tanakita. Tapi karena mau ke kawinan dulu, ya udah jadinya pakai mobil. Males juga pakai baju formal kalau naik kereta hehehe. Enaknya pakai pakaian lapangan kalau naik transportasi umum :D

tanakita

Alhamdulillah perjalanan lumayan lancar. Sebelum pukul 12 siang sudah sampai Cisaat, langsung ke acara kawinan. Setelahnya disambut dengan hujan yang lumayan bikin basah kuyup walopun gak terlalu deras. Kami langsung ke Cinumpang, tempat dimana Tanakita Riverside berada.

Di hari itu, hanya kami sekeluarga yang menginap di Riverside. Sepi banget hahaha! Bahkan crew Tanakita juga minta izin pulang. Tapi pastinya saat waktunya makan, ada crew Tanakita yang mengantar makanan. Ya, gak apa-apa, kami kan bukan tamu juga. Lagipula di camp area lain sedang penuh tamu. Jadi biarkan kami menikmati privasi di Riverside hahaha!

Dibanding 3 camp area Tanakita lainnya, Riverside ini agak memisahkan diri. Kalau Sahabat Jalan-Jalan KeNai pernah merasakan tubing di Tanakita, Riverside camp area ada di tempat finish tubing. Kalau Sahabat Jalan-Jalan KeNai ke Tanakita naik kendaraan umum, Riverside yang berlokasi di Cinumpang ini merupakan tempat pemberhentian terakhir angkot. Makanya, kalau menginap di Tanakita, Pinus, atau Rumamera suka pada carter angkot. Kecuali kalau dari Cinumpang memilih meneruskan untuk berjalan kaki. Lumayan bikin ngos-ngosan, sih, kalau jalan karena nanjak :D

Lokasinya yang berada di lembah membuat udara lebih dingin dari area lain. *Padahal area lain udah dingin* Berada tepat di pinggir sungai juga membuat kami semakin ingin bermalas-malasan karena dihibur oleh suara aliran sungai. Di Riverside juga gak bisa internetan karena gak ada signal, membuat kami semakin menikmati family time selama di sana.

 
Baru juga sampai, langsung main air. Keke gak copot celana jeans. Nah malah masih pakai gamis :D 

tanakita

Kalau saya dan suami asik berduaan melulu dengan bermalas-malasan. Duduk di depan perapian, minum kopi atau teh, sambil makan *bawaannya lapar melulu hahaha*. Anak-anak malah begitu dateng sampe menjelang pulang main air terus. Entahlah tubuh mereka terbuat dari apa, abis gak juga menggigil hehehe. Keke dan Nai main air ditemani oleh sepupu saya. Paling sesekali harus diingatkan karena hujan yang nyaris gak berhenti selama 2 hari 1 malam kami di sana membuat arus air sungai semakin deras dan semakin tinggi debitnya.


Anak-anak tidur dengan sangat cepat malam itu. Sepertinya mereka kelelahan karena terus main air. Tinggal saya dan suami yang masih terjaga. Benar-benar sunyi sekali tempatnya. Suara gemuruh aliran air sungai semakin terdengar bila malam tiba. Sesekali melintas kunang-kunang. Asik banget, deh. Kami gak perlu trekking malam untuk melihat kunang-kunang kalau menginap di Riverside.

Tapi, saya juga ternyata harus kalah dengan dinginnya udara di Riverside. Menggigit banget! Padahal udah pakai long jhon sebelum pakai baju tidur. Masih ditambah pula dengan kaos kaki tebal dan juga jacket. Tapi tetap aja kedingingan. Padahal kata crew Tanakita kalau musim hujan begini suhunya gak sedingin saat kemarau. Kalau lagi kemarau, suka ada aja tamu yang minta sleeping bag sampe 2 karena dingin. Wah! Kayaknya kapan-kapan saya harus uji ketahanan dingin saat kemarau, nih :D Pukul 9 malam, saya menyerah dengan udaranya yang dingin. Brrr ... Memilih masuk tenda dan tiduuurr ...

Suara air sungai ternyata melenakan. Satu kekhawatiran saya ketika suami mengajak camping di Riverside adalah gak bisa tidur. Saya susah tidur kalau suasana bising. Tapi, suara aliran air memang berbeda. Malah rasanya terdengar nyaman dan membuat tidur semakin nyenyak.

tanakita 
Tetep bawa laptop karena harus menyelesaikan draft tulisan. Beugh! Enak banget, deh, ngedraft tulisan di pinggir sungai begini. Coba ini terjadi setiap hari :D

Keesokan paginya, anak-anak udah main air lagi. Ya, selama di sana mereka terus-menerus main air. Ya main air di sungai atau mandi hujan. Karena selama kami di sana hujan turun nyaris tiada henti. Alhamdulillah anak-anak sehat walopun terus-terusan main air.

Padahal kata suami kalau mau ke Tanakita buat main flying fox, trekking ke danau, atau aktivitas lainnya juga ayo aja. Tinggal jalan kaki atau naik mobil sekitar 10 menitan. Tapi mereka udah betah banget main di sungai. Saya dan suami pun rasanya memang lebih suka bermalas-malasan selama di sana :D

Siang harinya kami dikasih tau kalau ada crew salah satu rumah produksi untuk tv swasta yang sedang membuat program acara jalan-jalan dan butuh anak kecil untuk bermain di sungai. Keke dan Nai ditawari dan mereka mau. Tapi ditunggu sekian lama, para crew baru datang sore hari. Terlalu sore untuk main air. Anak-anak sih mau aja, tapi kan kami harus pulang.

tanakita 
Nonton yang lagi syuting sambil nunggu hujan reda lalu pulang

Pukul 6 sore kami pulang. Dan, sampai rumah pukul 2 dinihari, dong! Itulah kenapa saya gak suka naik mobil kalau ke Sukabumi. Suka macet dan kali ini kami mengalami kemacetan yang luar biasa parahnya. Alhasil , hari Senin anak-anak gak pada sekolah. Kecapean walopun di mobil mereka juga banyak tidur hehehe.

Oiya, kayaknya kalau ke Tanakita lagi, saya mau pilih yang Riverside aja kalau bisa (alias kalau lagi gak ada tamu). Abis suka dengan suasana sunyinya. Anak-anak juga gak bermasalah, tuh, walopun selama di sana gak internetan. Karena yang penting ada kegiatan pengganti yang lebih asik dari main gadget. Malah berlibur cuma semalam rasanya kurang banget buat kami semua :)

Tanakita

www.tanakitacamp.com

Lokasi: Situgunung, Kadudampit, Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat

Reservasi: Jl. Lamandau IV No.17, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12130 Phone +6221 7200469, Fax +6221 7269761, tanakita@rakata.co.id
 
Share:

Ketinggalan Barang di Blue Bird? Jangan Panik, Ikuti Cara Ini Untuk Menemukannya.

Blue Bird, Taxi, Everest, Jaket Gunung
Sahabat Jalan-Jalan KeNai pernah ketinggalan barang di Blue Bird? Jangan panik, ikuti cara ini untuk menemukannya.

Bip ... bip ...

Handphone saya berbunyi. Seneng banget karena itu notifikasi whatsapp dari suami. Maklum lagi kangen berat *lebay akut, padahal baru ditinggal beberapa jam hehehe*. Katanya, saat itu suami lagi transit di Malaysia dalam perjalanannya menuju Nepal untuk mendaki Everest. Yang awalnya saya pikir akan kangen-kangenan gak taunya saya malah dibikin panik. Suami bilang kalau jaketnya ketinggalan di taxi.

Saya panik karena jaket pasti sangat dibutuhkan ketika sudah mulai pendakian. Duh, gimana kalau dia sampe gak bawa jaket? Apa iya bakal kuat tanpa pakai jaket? Kayaknya gak mungkin, deh. Masa' harus beli dulu di sana? *Mendadak jadi istri perhitungan :p*

Suami bilang kalau jaket gunung yang ketinggalan hanyalah yang dia pegang pas masuk taxi. Sisa jaket lainnya udah aman di tas yang saat ini ada di bagasi pesawat. Saat turun dari taxi, dia gak cek lagi. Makanya jaketnya ketinggalan.

Untuk jaket selama di sana bisa dibilang aman, lah. Jadi saya diminta gak usah khawatir. Saya cuma dimintain tolong coba cek ke Blue Bird. Siapa tau jaketnya masih bisa balik. Kan, lumayan banget kalau masih bisa balik. Masalahnya suami gak inget nomor taxinya.

Seusai whatsapan, saya langsung telpon ke call center Blue Bird. Saya ceritakan kalau suami ketinggalan jaketnya di taxi saat menuju bandara. Karena gak tau nomor taxinya, saya bilang kalau order taxi atas nama suami *Pastinya disebutin dong nama suami saya* untuk dijemput pagi *disebutin juga jam penjemputannya*. Saya sebutkan juga nomor telpon rumah.

Saya diminta menunggu sejenak, katanya operator akan melacak dulu. Tidak lama kemudian operator mengatakan kalau sudah menghubungi supir taxi yang mengantarkan suami saya ke bandara. Dan benar kalau ada 1 jaket gunung yang tertinggal di taxinya. Karena supir tersebut masih beroperasi, jaket belum bisa diantar saat itu juga.

Buat saya gak masalah, yang penting jaket udah ketemu. Saya cuma minta info akan diantar ke poll mana. Nanti setelah suami pulang dari Everest, jaket akan diambil di pool yang bersangkutan. Saya lalu diberi nomor telpon pool tempat jaket akan dititipkan.

Sore harinya saya mendapatkan telpon dari pool taxi Blue Bird. Yang mengejutkan adalah saya ditanyakan jam berapa ada di rumah karena jaket mau diantar. Waaa ... Udahlah pihak kami yang lalai, tapi Blue Bird malah sampe mau mengantarkan jaketnya ke rumah. Udah gitu gak ada charge apapun! Saya lalu minta diantar 2 hari lagi karena kebetulan lagi ada di luar kota saat itu. Bener aja, sesuai waktu yang disepakati jaket gunung suami saya pun sampai diantar ke rumah dalam keadaan baik. Terima kasih banyak, Blue Bird.

Walopun suami gak ingat nama supir dan nomor taxinya tapi jaketnya bisa balik karena order taxi by phone. Cukup dengan menyebutkan nomor telpon kan sudah bisa melacak data karena kami memang pelanggan setia Blue Bird. Tapi saya pernah ngalamin waktu itu naik Blue Bird juga cuma dari jalan. Begitu turun dari taxi baru sadar kalau sehelai kain bali yang dibawa tertinggal. Karena naik taxinya cegat dari jalan, susah juga kali ya ngelacaknya. Kecuali kalau saya hapal nomor taxinya. Ya, kalau udah gitu pasrah aja, deh. Emang saya juga yang lalai. Lain kali mengingat nomor taxi memang penting. Apalagi biat yang pelupa kayak kami hehehe.
Share:

Melrimba Garden - Camping Diantara Hamparan Bunga

Melrimba Garden, Puncak
Melrimba Garden - Camping Diantara Hamparan Bunga. Camping di dalam kebun bunga itu sangat memanjakan mata.

Suami: "Coba cek Melrimba Garden, Bun."
Saya:: "Buat?"
Suami: "Katanya di sana ada penginapannya juga. Mau ngamati migrasi burung juga di sana viewnya bagus."
Saya: "Sebentar ... di cari dulu, ya."

Awalnya kami berencana menginap di Puncak Pass Resort. Tapi karena suami minta cek ke Melrimba, saya pun mulai mencari infonya di Google. Kami belum pernah ke Melrimba Garden sebelumnya. Kalau sekadar lewat, sih, udah beberapa kali. Selama ini, saya taunya Melrimba Garden adalah kebun bunga dan juga resto. Baru tau kalau di sana juga ada camp area.

 
Seperti ini tendanya, bisa untuk 4 orang. Tidur beralaskan matras 


Setelah menelpon Melrimba untuk menanyakan harga dan lainnya, kami putuskan untuk menginap di sana. Dengan rate Rp1.250K per tenda, kami mendapatkan 4 x lunch/dinner, 4 x breakfast/snack, 4 buah sleeping bag, 2 ikat kayu bakar untuk api unggun, tempat barbeque, dan segalon air mineral. Fasilitas lainnya adalah listrik di dalam tenda untuk mencharge handphone tapi gak ada lampu. Kamar mandi umum dengan shower panas dan dingin.

Kami memilih paket dinner daripada lunch karena sepertinya lebih enak mencari makan siang kalau memang ingin makan di luar. Pilih breakfast karena yakin banget kalau pagi pasti malas keluar Melrimba hanya sekadar untuk cari makan hehehe. Kami juga bawa sleeping bag sendiri walaupun di sana sudah disediakan. Khawatir sleeping bag yang disediakan kurang bisa menahan dingin. Atau paling tidak sleeping bag yang kami bawa bisa dijadikan bantal :)

Tujuan pertama kami adalah bukit gantole dan kembali merasa di php sama burung raptor. Kami kembali gagal melihat migrasi burung raptor. Dari bukit gantole, check in dulu di Melrimba Garden. Jaraknya bukit gantole dengan Melrimba Garden sangat dekat. Gak sampai 10 menit sudah sampai.

Kemudian lanjut makan siang di resto Puncak Pass Resort. Selesai makan siang, rencananya mau lanjut ke taman bunga Cipanas. Tapi baru sampai parkiran udah putar balik. Kayaknya tempat wisatanya jauh dari parkiran. Males banget jalan kaki gara-gara perut kekenyangan. Anak-anak malah setelah makan siang, langsung tidur denga nyenyak di mobil. Mampir ke minimarket aja, lah. Beli aneka camilan. Sebetulnya di rumah udah siapin beberapa camilan bahkan daging buat barbeque, eh lupa dibawa!

Melrimba Garden, Puncak

Sesampainya di Melrimba Garden, saya rasanya ingin langsung tiduran. Udara yang sejuk, terlebih di camp area banyak pohon besar, rasanya membuat mata saya semakin mengantuk saja. Tapi emang susah kalau ajak anak-anak untuk bersantai. Mereka maunya bergerak terus *elus-elus perut yang kekenyangan dan ganjel mata yang ngantuk berat*.

 



Melrimba Garden dikenal sebagai taman bunga dan juga area bermain. Mata para pengunjung akan dimanjakan dengan banyaknya bunga cantik berbagai macam jenis. Untuk yang suka menanam bunga, di sana juga ada toko bunga. Saya langsung mengkhayal seandainya di rumah punya banyak tanaman bunga seperti ini. Bahagia banget kali, ya? Untuk yang hobi selfie, jangan lupa siapkan kamera dan pakaian yang cakep. Mau bergaya ala model atau gaya apapun juga boleh. Banyak spot bagus di sana :)

Melrimba Garden, Puncak 


Aktivitas pertama kami adalah bermain panahan. Pakai alat panah beneran. Keke ikut ekskul panahan di sekolah, jadi udah terbiasa dengan peralatan memanah. Kalau Nai, baru kali ini dia panahan menggunakan peralatan memanah sesungguhnya. Dulu pernah main panahan tapi masih pakai alat sederhana.

 



Selesai main panahan, Keke ingin main mountain bike. Nai? Dia ingin mengikuti kakaknya main sepeda. Bukan ikut main sepeda karena badannya masih kecil untuk main mountain bike yang disediakan. Tapi mengikuti kakaknya dari belakang sambil berlari. Dan itu artinya tugas saya untuk ngejar-ngejar mereka sambil sesekali berteriak kalau mereka udah mulai kejauhan hahaha! Suami tidak ikut karena haru angkut barang bawaan ke tenda. Lokasi camp area memang agak ke dalam. Sedikit jauh dari parkiran.

 
Saat nyasar, nemu kaktus yang tinggi begini. Coba nyasarnya gak sendirian, udah foto-foto dulu kayaknya :D

Awalnya, saya masih sanggup mengejar Keke dan Nai. Karena Keke sesekali berhenti ketika saya mulai berteriak supaya jangan terlalu mengayuh sepedanya. Lama-lama, saya makin ketinggalan. Mulai terengah-engah, mau teriak aja udah cape, gak ada tenaga lagi. Saya mencoba motong jalan, siapa tau bisa nyusul anak-anak. Eh, malah nyasar! Gak ketemu jalur sepedanya. Duh, anak-anak dimana? Menjadi cemas karena sudah mulai sore.

Karena gak juga ketemu, saya pun mulai berjalan ke tempat parkir. Pos mountain bike ada di sana. Tapi belum ada tanda-tanda sepeda yang disewa Keke parkir. Saya duduk di pinggir resto. Gak berapa lama kemudian, dari kejauhan saya lihat Keke datang, Tapi Nai mana? Mulai cemas, dong. Khawatir Nai juga ketinggalan kakaknya, lalu dia nyasar.

Saya langsung telpon suami, ternyata Nai lagi ada di tenda. Alhamdulillah, lega. Rupanya, Nai mulai kecapean juga ngejar kakaknya. Untungnya dia gak sok-sokan kayaknya bundanya yang coba memotong jalan tapi malah berakhir dengan kesasar. Nai minta dianter Keke ke tenda, kemudian Keke lanjut main sepeda sendirian.

Melrimba Garden, Puncak

Kami kembali berkumpul di tenda. Sore hari, mulai dingin udaranya dan perut jadi lapar. Bikin mie instant dulu aja, lah. Untuk makan malam, kami diberi 2 pilihan, yaitu diantar ke tenda atau langsung order di resto. Kami memilih makan di resto. Ingin tahu suasana restonya.

Usai maghrib, kami berjalan kaki menuju resto. Agak gelap jalannya, makanya kami dikasih senter besar dan juga walkie talkie. Walkie talkie dipinjamkan selama kami di sana. Fungsinya untuk memanggil crew Melrimba Garden bila ingin membutuhkan sesuatu. Senter bisa dipakai juga untuk menerangi tenda. Tapi, tengah malam juga sudah mulai redup. Gak masalah, karena di luar area ada lampu. Lagian gelap juga gak apa-apa, malah (seharusnya) jadi lebih nyenyak tidurnya :D




 


Restonya yang terdiri dari 2 lantai ini tidak terlalu besar tapi terasa nyaman makan di sana. Walopun makan di resto, kami tidak punya pilihan lain selain makan nasi timbel dan minum teh manis. Karena hanya menu itu yang ditawarkan dalam paket camping. Boleh saja memilih menu lain, tentunya ada charge tambahan. Biar irit, kami gak memilih menu lain. Makan yang disediakan di paket aja hehehe. Nasi timbelnya enak, tapi sayur asemnya sangat asin. Kebalikan dari sayur asem, teh manis hangatnya rasanya terlalu manis. 

 

http://www.jalanjalankenai.com/2015/11/melrimba-garden-camping-diantara-hamparan-bunga.html 


 
Anak-anak udah tidur. Dunia jadi milik kita berdua *eh :p*

Selesai makan, anak-anak tidur cepat. Segala camilan dan sosis yang rencananya mau dibakar di depan api unggun, gak kemakan sama sekali. Anak-anak sudah sangat mengantuk. Tinggal saya dan suami yang tidur larut malam. Sebetulnya ingin mengikuti anak-anak untuk tidur cepat. Tapi berisik banget karena lagi ada gathering di beberapa tenda sebelah. Mereka bikin games dan nyanyi-nyanyi. Setelah rombongan tersebut masuk ke tenda masing-masing, kami belum bisa tidur juga. Suara mobil dan motor yang lewat sangat kedengaran. Kami pikir camp area yang berada di dalam itu jauh dari jalan. Ternyata semakin malam, suara kendaraan semakin jelas terdengar. Ambil positifnya aja, deh.  Kami jadi bisa berduaan sepanjang malam untuk ngobrol hehehe. Walaupun semakin malam udaranya cukup menggigit, untung ada api unggun yang menghangatkan. Setelah seluruh kayu terbakar, kami pun mulai mausk tenda dan berusaha untuk tidur :)

 
Sarapan mie instan lagi sebelum sarapan di resto :) 


Untuk sarapan pagi, kami kembali memilih makan di resto. Hitung-hitung sekalian olahraga pagi. Paket menu sarapan adalah seporsi nasi goreng dan segelas teh untuk masing-masing. Belajar dari pengalaman semalam, kami minta teh hangat tanpa gula. Nasi gorengnya enak, sayangnya kami toidak tahu kalau ditaburi rawit. Nai jadi gak kuat makannya. Akhirnya dia order juice dan Keke juga ikutan.

 

 

Melrimba Garden, Puncak

Selesai makan, kami kembali beraktivitas. Gak perlu mandi dulu hehehe. Keke ingin main sepeda gunung lagi. Kali ini dia ingin ajak ayahnya. Sebetulnya ayahnya rada malas. Karena abis makan, kok, disuruh sepedaan hehehe. Tapi karena terus-terusan diminta, ayahnya gak kuasa menolak lagi.

Sambil nunggu Keke dan ayahnya sepedaan, saya dan Nai main di playground. Selesai bersepeda, bersama-sama menemani Nai main high rope. Semua permainan yang kami coba, standar keamanan di Melrimba Garden termasuk baik. Peralatannya juga bagus. Selesai main kami balik ke tenda. Buat mandi? Enggak, buat mancing yang lokasinya di seberang camp area. Tapi mampir ke toko bunga dulu sebelum memancing. Sekadar lihat aja, gak beli :D

 



Karena camping di sana, kami dapat 1 tiket gratis untuk mancing. Memancing di sini adalah aktivitas terlama dan terngantuk yang pernah kami lakukan. Mana gak dapet juga ikannya. Saya memilih balik ke tenda karena sakit kepala. Saya berharap kalau bisa tidur sejenak, mungkin pusing akan hilang. Ternyata gak bisa tidur sama sekali. Di sana kan tempat wisata juga, jadi ada aja pengunjung yang lewat. Suara-suara para wisatawan yang lewat membuat saya gak bisa beristiraha.

Mau mandi juga malas, karena kamar mandinya dipakai juga untuk pengunjung umum. Camp area Melrimba Garden katanya bisa menampung untuk sekitar 100 tamu. Tapi, kamar mandinya (menyatu dengan toilet) hanya ada 2. Laki-laki dan perempuan tidak dipisah. Kalau siang, pengunjung umum bisa numpang ke kamar mandi itu juga. Kalau toilet aja di sekeliling area Melrimba juga ada.

Usai bermain, kami makan siang. Rencananya mau check out dulu lalu cari makan siang di luar. Tapi, lihat jalanan, kok, macet ajah. Kemungkinan pertama, macet karena jalan turun ditutup. Masih satu arus untuk yang naik. Tapi setelah lewat pukul 12, masih juga kelihatan gak ada pergerakan. Jadilah kami berjam-jam di resto Melrimba Garden. Tamu lain juga kelihatannya melakukan hal yang sama. Begitu terdengar sirene polisi yang artinya giliran yang turun jadi satu arah, banyak tamu termasuk kami bergegas ke kendaraan masing-masing. Untuk makan siang kali ini karena sudah gak termasuk paket jadi kami bayar lagi. Di postingan berikutnya, saya ceritain makanan dan minuman apa aja yang kami order.

 
Sebelum pulang main ATV dulu

Perjalanan gak terlalu lancar. Puncak memang masih jadi primadona untuk berwisata sehingga arus selalu padat walaupun sudah diberlakukan satu arah. Kami sampai rumah selepas maghrib. Langsung tidur aja, lah. Mandinya besok :p

Melrimba Garden

Jl Raya Puncak KM 87, Tugu Utara, Cisarua Bogor, West Java, Indonesia

Cell: +62 878 8114 0566

www.melrimbagarden.com

 
Share:

Seminar Digital GRATIS 100%

Paket TOUR Pilihan

Berlaku: 05 Feb 2019 s.d. 30 Mei 2019 JELAJAH 3 PULAU SERIBU (ONE DAY) *AV-D Mulai dai IDR 100.000

Berlaku: 21 Nov 2018 – 31 Mei 2019 BROMO ONE DAY TRIP *CT-D Mulai dari IDR 300.000

Berlaku: 04 Mei 2019 – 05 Mei 2019 PULAU TIDUNG 2D1N *AV.D Mulai dari IDR 350.000

Berlaku: 06 Apr 2019 – 30 Mei 2019 PULAU PARI 2D1N *AV.D Mulai dari IDR 360.000

Berlaku: 27 Mar 2019 – 31 Mei 2019 PULAU HARAPAN 2D1N (OPEN TRIP) *AVD Mulai dari IDR 370.000

Berlaku: 02 Jul 2018 – 30 Mei 2019 PULAU AYER ODT *AV.D Mulai dari IDR 399.000

Berlaku: 01 Agu 2018 – 30 Mei 2019 PULAU PARI 2D1N *AV.D Mulai dari IDR 809.000

Berlaku: 02 Jul 2018 – 30 Mei 2019 PULAU PARI 2D1N *AV.D Mulai dari IDR 809.000

Berlaku: 13 Jun 2019 – 20 Jun 2019 8D7N CONSORSIUM CHINA VIETNAM BY SJ APR-JUN *TX Mulai dari IDR 7.980.000

Berlaku: 29 Apr 2019 – 03 Mei 2019 5 HARI 3 MALAM KOREA NAMI ISLAND *TX Mulai dari IDR 8.900.000

Berlaku: 05 Feb 2019 s.d. 30 Mei 2019 5 HARI 3 MALAM HAINAN ISLAND HARI SABTU STARTING JAKARTA JUN *TX Mulai dari IDR 4.650.000

Berlaku: 05 Mei 2019 – 08 Mei 2019 4 HARI 3 MALAM BANGKOK PATTAYA *TX Mulai dari IDR 5.500.000

Berlaku: 14 Mei 2019 – 18 Mei 2019 5D THAILAND MALAYSIA SINGAPORE *TX Mulai dari IDR 5.800.000

Berlaku: 01 Nov 2019 – 04 Nov 2019 MOTOGP GRAND PRIX OF MALAYSIA SEPANG INTL CIRCUIT 4D3N *TX Mulai dari IDR 5.900.000

Berlaku: 13 Jun 2019 – 20 Jun 2019 8D7N CONSORSIUM CHINA VIETNAM BY SJ APR-JUN *TX Mulai dari IDR 7.980.000

Berlaku: 12 Mei 2019 – 16 Mei 2019 5 HARI 3 MALAM KOREA NAMI ISLAND Mulai dari IDR 9.000.000

Jadi Agen Sekarang Gratis!

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support