start Jalan Jalan Ah: Travel

Tips Jalan Jalan Kamu ada Disini

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Tampilkan postingan dengan label Travel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Travel. Tampilkan semua postingan

Hari Minggu di Braga

Pada hari minggu (31/7/2016) komunitas Gambung Vooruit mengadakan acara Ngider Bragaweg. Saya daftar dong, mau ikutan. Gak sendiri, kali ini saya ajak Indra dan Si Wewet :D 

Gak nyangka orang yang ikut jelajah Braga ada banyak. Ya bagus lah animo masyarakat umum perihal jalan-jalan bersejarah ini bagus. 

Cuma sayangnya saya gak bisa mengikuti acaranya secara khidmat. Pertama, ada banyak pesertanya. Mendengar 1 orang bercerita di antara banyak orang agak susah. Kecuali saya ada di dekat narasumbernya. Dan itu yang saya lakukan di menit-menit awal, berusaha berdiri di dekat narasumbernya. Sisanya sepanjang acara saya keteteran karena ini si wewet gak bisa diam. Kedua, narasumber bercerita tanpa bantuan alat suara. Gak kedengeran suara narasumbernya kecuali saya ada di dekatnya. Mana jalanan berisik suara kendaraan juga. 

Jadinya ya sudah jalan-jalan kasual saja. Tidak terlalu banyak mendengar kisah tentang Braga yang Malia Albinia dan Pak Sam Askari ceritakan. Kami mengikuti rombongan di bagian ekor dan berulang kali duduk tiap ada bangku taman pinggir jalan yang kosong :D

Garis besar ceritanya adalah Braga merupakan kawasan belanja pada dahulu kala. Seolah-olah seisi mall Paris Van Java atau Trans Studio ada di Braga. Barang-barangnya eksklusif dan mahal. 

Pak Sam yang lahir tahun 1953 itu menceritakan satu per satu nama toko yang beliau ingat semasa kecil dulu. Dari banyak jenis toko yang ia sebutkan, toko buku adalah yang paling banyak. Ada Toko Maskot yang menjual buku-buku bertema 'kiri', Toko Tiara, Toko Djawa, juga Sarinah. "Bandung itu toko bukunya terbanyak", ujar Pak Sam. Entah dengan kota apa ia membandingkan kuantitas toko buku di Bandung ini. 

Malia sebagai penghuni lama Braga membawa kami ke Kampung Apandi. Secara tidak kebetulan, Apandi adalah kakeknya Malia. Sayang sekali rumah kakeknya terbakar, berikut dengan seisi rumahnya. Termasuk album foto dan piringan hitam. 

Dari titik pertama di KM 0 di Jalan Asia Afrika, perjalanan Ngider Bragaweg berakhir di pelataran Landmark di Jalan Braga. Kami bertiga duduk di bangku taman. Saya terkantuk-kantuk akibat perjalanan panjang sehari sebelumnya. Bocah wewet mulai cracky minta jajan (lagi). Dan Indra yang sama ngantuknya dengan saya :D

Saya sebenarnya menantikan acara jalan-jalan kayak gini secara reguler. Keliling Braga seminggu sekali, terjadwal gitu. Bukan sekali bikin lalu esok tiada lagi. Jadi bisa mewadahi orang-orang kayak saya yang ngantuk dan gak bisa menyimak dengan baik hohoho enggak ding becanda.

Maksudnya kalau ada trip jelajah Braga (dan jelajah area lainnya dengan konten sejarah di Bandung) secara reguler artinya bisa memberi kesempatan kepada lebih banyak orang yang berbeda-beda. Mungkin orang yang ikut jalan-jalannya lebih sedikit, 5-6 orang saja atau bahkan bisa jadi 1-2 orang. Tapi kegiatan yang sama jika dilakukan berulang-ulang efeknya akan terasa lebih panjang. Exposure lebih banyak.

Hal ini mengingatkan saya pada seseorang yang pernah berkata, bahwa menciptakan ide itu gampang, mewujudkannya lebih sulit lagi. Namun setelahnya kita akan bertemu hal yang jauh lebih penuh-perjuangan, yaitu ia yang bernama: konsistensi.

Iya tahu, ngomong (atau nulis) doang mah gampang. Ngerjainnya yang susah :P aniwei, foto-fotonya dikit, nampaknya mood hari minggu itu gak terlalu bagus euy. Ngantuk parah ahueheuheueheuheu....












Foto : Indra Yudha
Share:

Di Ullen Sentalu dan Gagal Menyalin Surat-surat Puteri Tinneke yang Patah Hati

Oke. Ullen Sentalu. Perjalanan ke Yogyakarta sudah lewat dua bulan lalu, saya baru sempat menuliskan salah satu tempat yang saya kunjungi di sana sekarang. Begini ceritanya. 

Sebagai warga Jawa Barat yang berasal dari Suku Sunda coret (karena darah saya setengahnya milik Indramayu-Cirebon), kami tumbuh secara egaliter. Tidak ada kerajaan untuk kami agungkan setelah Kesultanan Banten meruntuhkan Pajajaran. Dari kecil sampai dewasa, saya mengenal sosok Raja dalam bentuk cerita dan lukisan saja. 

Lalu saya ke Jawa Tengah, menyambangi daerah istimewa di sana. Yogyakarta dan hal-hal berbeda dengan yang saya alami di Bandung. Di sini raja masih ada. Meski pemerintahan berada di tampuk kepresidenan di Jakarta sana, tapi masyarakat Yogyakarta nampaknya masih mengagungkan Sultannya. Rajanya. Hal yang tidak saya lihat di Cirebon, meski kesultanannya masih ada tapi kok saya perhatikan masyarakat Cirebon biasa saja terhadap Keraton ya :D Kenapa ya...

Ngomong-ngomong, di Yogyakarta saya sempatkan mampir ke Kaliurang. Ke mana lagi kalau bukan: Ullen Sentalu. 

Pintu masuk Ullen Sentalu

Menemukan museum Ullen Sentalu tidak sesulit yang saya bayangkan. Kembali ke Ullen Sentalu untuk saya adalah napak tilas. 9 tahun lalu saya masih mahasiswi dan sendirian naik angkutan umum mengunjungi Ullen Sentalu. Kembali museum ini dari dalam kendaraan pribadi saya berujar dalam hati:  the power of youth memang benar adanya. Gak kebayang dulu naik elf Jogja sendirian, tidak tahu arah, berjalan kaki menanjak jauh pula. Hahaha. 

Ullen Sentalu kini ramai pengunjung dan terlihat kerumunan orang antri untuk masuk. Tahun 2007 saya ke Ullen Sentalu di hari kerja jam 12 siang, saya satu-satunya pengunjung di situ. Tahun 2016 dan saya kembali datang pada hari kerja jam makan siang bukan di musim liburan. Tiket masuk kini harganya Rp 30.000/orang. Saya tebus untuk berempat: saya, Indra, Ibu, dan adik saya. 

Wajah Ullen Sentalu yang saya ingat 9 tahun lalu lebih rimbun dari yang saya saksikan kemarin itu. Dahulu fasad museum ini sama sekali tidak seperti menunjukkan tempat terbuka untuk umum. Malah seperti rumah nenek sihir yang saya baca di novel-novel masa kecil. Sekarang teras Ullen Sentalu lebih terang ya. Pepohonan lebat merambat di bagian sisi kanan itu kayaknya sudah dipangkas.  Atau saya yang lupa lupa ingat wujudnya dahulu…ah entahlah. 

Tidak menunggu waktu lama, kami dipanggil pemandu. Tergabung dalam grup terdiri dari kurang dari 15 orang, Ullen Sentalu siap kami jelajahi. 


Ruangan Minum Teh, di sini boleh motret

Koleksi museum ini memperlihatkan barang pribadi keluarga Keraton. Alat musik, lukisan, foto-foto, kain batik, hingga surat-surat dari kerabat dan teman yang isinya menghibur Puteri Keraton, Tinneke, yang sedang patah hati. 

Selama tur saya melihat pegawai museum yang mengelap barang-barang dan mengecek temperatur udara ruangan. Tiap ruangan dijaga suhunya agar barangnya tak lapuk. Membayangkan kesigapan museum ini menjaga koleksinya, saya penasaran berapa biaya yang habis perbulan untu perawatan, dari mana sumber biayanya selain tiket masuk yang saya beli. 

Orang yang memandu kami sangat fasih bercerita. Macam orang yang beribu-ribu kali mengucap kata yang sama. Lancar tiada jeda, tiada keselepet lidah menyebut nama-nama yang njelimet dan pancakaki yang panjang ala kerajaan. Meski ceritanya terdengar sangat text-book dan terburu-buru, tapi kalau saya dan peserta lain bertanya ia lancar menjawab dan cukup memuaskan kok jawabannya. Dan ehm, anu, pemandunya cantik sekali :D 

Ujung museum, menuju pintu keluar.
Bangunan menara itu restoran. 

Di dalam museum ini dilarang berfoto. Saya senang juga ada aturan tersebut. Karena saya jadi fokus mendengar cerita pemandunya. Sejujurnya bagi saya memotret sekaligus menyimak adalah dua kegiatan yang sulit dilakukan bersamaan. 

Ternyata larangan tersebut juga membuat kami, para pengunjung, jadi lebih santai dan tenang ya hihihi. Karena kalau diperbolehkan foto-foto, kebayang gak sih beringasnya kami dengan kamera. Salah satu dari peserta membawa kamera go pro dan di pintu masuk sudah heboh bervideo ria namun tetap santun dan patuh dengan larangan menggunakan kamera dan video di dalam Ullen Sentalu. 

Saya memotret area yang diperbolehkan saja, itu juga dengan kamera ponsel. Ruang yang kami boleh foto adalah tempat kami minum teh. Minuman teh di Ullen Sentalu adalah ramuan tradisional untuk puteri keraton. Katanya bikin awet muda. Terdiri dari tujuh bahan rahasia campuran jahe, kayu manis, gula jawa, garam, dan daun pandan. Rasanya saya tidak ingat, enak sih tapi biasa saja :D

Masuk keluar ruang-ruang dan koridor di Ullen Sentalu ini sungguh pengalaman yang menyenangkan. Ruangannya lembab dan dingin. Di sekitarnya banyak pohon. Adem suasananya.

Baru saya lihat museum -bagian dari sebuah kerajaan (dalam hal ini keraton)- memajang benda-benda yang terbilang amat sangat pribadi. Iya emang saya belum melihat banyak isi dunia sih heuheuheueu.

Ruangan yang memperlihatkan surat-surat untuk puteri keraton (Tineke) yang patah hati itu favorit saya. Ada 29 surat. I was like ya ampun patah hatinya seorang puteri keraton ini diketahui semua orang...bagaimana rasanya semua orang tahu kamu patah hati...

Kembali ke surat saja. Tulisan dalam surat-surat dari teman dan kerabatnya Puteri Tinneke sangat halus, sopan, santun, dan puitis.

Saya ingin menyalin isi surat-surat itu, tapi pemandu mengajak kami keluar ruangan setelah ia selesai bicara. Cepat sekali padahal saya sedang mencatat isi suratnya di smartphone (yang lalu terhapus. Aaargh!). Ah saya browsing saja dan di blog milik Mbak Yusmei usemayjourney.wordpress ini saya menemukan dua surat dari Ruang Tinneke tersebut. Saya baca lagi isi suratnya, saya salin di sini. 


Kota Kasunanan
Gusti sayang
kupu tanpa sayap
Tak ada di dunia ini
Mawar tanpa duri
jarang ada atau boleh dikata tak ada
Persahabatan tanpa cacat
Juga jarang terjadi
Tetapi cinta tanpa kepercayaan
Adalah suatau bualan terbesar di dunia ini


Ullen Sentalu saya masukkan ke daftar a must visit place di Yogyakarta, di Indonesia kalau perlu. Berasal dari sebuah kalimat berbunyi Ulating Blencong Sejatine Tataraning Lumaku, Ullen Sentalu artinya Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan. 




Entah apa makna dari Ullen Sentalu-nya, seingat saya pemandunya menjelaskan tapi ingatan saya berhenti di situ. Kalau ada yang tahu, boleh komen ya kasihtahu saya juga. 

Melongok kehidupan kerajaan memang selalu menarik (untuk saya pribadi). Mungkin karena auranya yang misterius, kaku, sekaligus unik. Ullen Sentalu adalah hal-hal yang tidak terjadi dalam hidup banyak orang sih. Dan saya suka penasaran kehidupan di masa lampau teh gimana sih. 

Tur jalan kaki yang menghabiskan waktu hampir 60 menit itu baru saya sadari memperlihatkan banyak koleksi perempuan ningrat keraton. Mulai dari Gusti Nurul, Gusti Menuk, Ibu Ageng, dan Tinneke. Uniknya lagi, perempuan-perempuan itu tidak seperti perempuan keraton yang saya bayangkan deh. Gusti Nurul anti poligami dan kelihatannya tomboy, dan beliau kelihatannya bebas-bebas saja melakukan hal yang ia suka. Gusti Menuk fashionable abis, Ibu Ageng nampaknya macam istri-istri yang dominan pada suaminya :D Tangguh macam wanita bertangan besi. 

Habis ini saya mau lihat Museum Kartini deh. Semoga kesampaian tahun ini ke Jepara dan Lasem. 


Share:

Cerita Dari Purwakarta

Sate Maranggi terenak di Purwakarta di mana menurutmu? Di kota ini frekuensi saya menyantap Sate Maranggi baru di 4 tempat saja. 

Pertama, di pinggir jalan sebuah lapak non-permanen tanpa nama. Pada malam minggu sewaktu menunggu peluncuran air mandur Sri Baduga (Situ Buleud).
Kedua, di Sate Pareang di Wanayasa saat hendak ke Curug.  
Ketiga, di Sate Cibungur sebagai meeting point saya dengan teman-teman sebelum piknik di Purwakarta.
Keempat di restoran Sambel Hejo setelah menonton puncak HUT Purwakarta. 


Sate Maranggi Cibungur

Pengalaman pertama yang berkesan. Bukan hanya karena pengalamannya saja, tapi karena rasanya yang enak terenak dari semuanya. Dagingnya yang super empuk saya tidak butuh waktu lama mengunyahnya. Lezat sekali. 

Usai dengan Sate Maranggi, saya bertemu dengan sepiring ayam kampung goreng ala Purwakarta di restoran Sambel Hejo dan restoran bernama lucu (jika kamu tahu artinya dalam bahasa Sunda) Sajolna. Tidak kalah enak! Empuk dan gurihnya luar biasa, meninggalkan kesan teramat dalam di hati saya. 

Jika saya harus kembali ke Purwakarta, saya akan datang pada malam minggu untuk Sate Maranggi Tak Bernama di Situ Buleud dan keesokan harinya ke RM. Sajolna untuk menyantap Ayam Kampung Goreng yang super enak di sana! 

Dua hari di Purwakarta, saya tidak berkunjung ke banyak tempat. Hanya sedikit saja tapi berkesan. 

Kamu tahu Purwakarta adalah kota yang lebih hangat dari Bandung? Setengah hari pertama saya tidak merasakannya. Mungkin cuaca kelabu. Anginnya bertiup sana-sini, membantu mendinginkan suhu. Saat menandaskan Sate Maranggi dan Sop Iga di Cibungur, tubuh saya tidak kepanasan sampai harus kipas-kipas. 

Sate Maranggi Cibungurnya terasa enak tapi tak istimewa. Sop Iga rasanya jauh lebih menonjol dan berkesan. Kebersihannya oke, kecepatan makanannya mendarat di meja makan saya juga oke banget, harga relatif terjangkau. Jangan lupa pesan es kelapa muda, terasa sangat menyegarkan setelah mulut ini menyantap perdagingan. 

Dengan titik-titik air yang masih menggantung di angkasa, saya dan teman-teman bergegas ke Waduk Jatiluhur dan Giritirta. Balapan dengan hujan, Waduk Jatiluhur didahulukan. 


Waduk Jatiluhur

Ini pertama kalinya saya melihat Waduk yang katanya menahan banjir di Karawang dan Bekasi tersebut. Setahu saya, Jati adalah nama sebuah pohon dan Luhur artinya tinggi. Jatiluhur letaknya memang berada di ketinggian. Jalanan menuju ke sana menanjak dan berkelok. Masih banyak pohon di sisi kanan kirinya. Di sini Purwakarta terasa adem. 

Karena bendungan yang dibuat tahun 1960an ini juga dimaksudkan sebagai objek wisata, tersedia fasilitas nongkrong lengkap dengan sarana permainan sederhana di bawah pepohonan rindang. Cocok untuk orang tua yang bawa anak. Juga menarik untuk muda mudi yang ingin beromantis ria melihat perairan Waduk Jatiluhur sambil terayun-ayun di ayunan. 

Melamun sebentar di tepi Waduk Jatiluhur yang kelilingnya mencapai 150 km ini, saya membuka Google dan mencari tahu berapa luasnya. Sering saya membaca tentang Waduk Jatiluhur pada artikel sebuah surat kabar, pada tulisan sambil lewat yang saya baca saat browsing. Namun informasi itu terlewat begitu saja. Sekarang saya ada tepi waduknya, membaca lagi dan menelan informasi tentang Waduk Jatiluhur. Rasanya seperti mengoles balsem ke kulit, terasa banget nancap dalam ingatan hahaha :D 

Saya mengucap selamat tinggal pada Waduk Jatiluhur dan menyongsong Giritirta yang terkenal dengan Skypool-nya. 


Skypool Giritirta

Syukurlah hujan tidak turun. Tapi langit masih abu-abu. Menambah efek dramatis pada Giritirta yang disebut-sebut bagai pemandian khayangan. Di sini kolam renangnya berbatasan dengan tebing. Jadi terbayang tidak pemandangan hamparan lembahnya? 

Orang-orang mengatakan berenang di Giritirta bagai berenang di awan. Saya tidak berenang. Hanya berkeliling melihat-lihat saja. Sebagian pemandangan lembah dan perbukitan tertutup entah awan entah kabut. 

Mengelilingi Giritirta, saya mencium bau kaporit yang cukup tajam. Tidak terlalu masalah sih untuk saya, tapi untuk kamu saya tidak tahu. Di sini tersedia bukan hanya kolam renang dan fasilitas mandi saja, ada juga restoran, tempat menginap, dan areal wisata outbond.

Mungkin saya akan kembali ke lokasi pemandian di kawasan Wanayasa ini. Tidak lupa membawa pakaian renang.  

Kembali ke Kota Purwakarta dan saatnya istirahat. 


Sarapan di Harper Purwakarta

Merebahkan diri pada sebuah ranjang di kamar no 500 Hotel Harper Purwakarta terasa sangat nikmat. Sungguh hari yang panjang. Purwakarta dalam ingatan adalah tempat yang tak akan habis wisatanya disemai. Mungkin harus ada Purwakarta Diary :D Ah bukan saya yang buat, kamu dong warga Purwakartanya. 

Sate Maranggi Cibungur 
Sate Maranggi 1 tusuk 3K
Sop Sapi 18K
Nasi Timbel 5K
Es kelapa muda 15K

Tiket masuk Jatiluhur 10K

Tiket masuk Giritirta
Senin - Jumat : 20K
Sabtu & minggu : 25K
Tiket berenang : 60K



Share:

Derai-Derai Pinus di Balitsa Lembang

Di kejauhan kabut tipis masih berbayang. "Harusnya sudah di sini jam 6 pagi kalau mau ngerasain kabut mah, Neng," kata sopir angkot jurusan Cikole - Lembang yang duduk di samping saya. Di penghujung musim liburan itu, saya pergi menuju sebuah tempat bernama Balitsa yang terletak di Cikole, Lembang. Dari rumah saya menumpang angkot sebanyak 2x, angkot terakhir yang saya tumpangi kuning warnanya, disopiri seorang bapak-bapak yang senang bicara :D 

Hari masih terlalu pagi. Tidak ada kemacetan ke arah Lembang, begitu juga sebaliknya. Jalanan lengang. Duduk di tepi jendela angkot, saya memandang kabut yang menggantung di tebing-tebing perbukitan. Jalan berkelok-kelok, 'seperti cacing' kalau kata Nabil anak saya. 

Sedikit sesal karena kesiangan, padahal sudah janji pada Malia akan datang pukul 6 pagi karena ingin memotret kabut Lembang. Rencana gagal total. Saya tiba di Cikole pukul 8. 

Hari minggu (17/7/2016) saya mencicipi akhir pekan rasa masa lalu di Lembang. Bersama dengan Komunitas Lembang Heritage saya melihat dua sudut wajah Lembang: Balitsa dan Sindang Reret. 

Sebanyak 95% kawasan yang dijelajahi adalah Balitsa. Saya tidak punya bekal pengetahuan apapun tentang Balitsa, kecuali tiga hal.




Pertama, restoran milik Ibu saya lokasinya ada di sebrang Balitsa, modal penasaran saja karena ingin tahu ada apa sih di dalamnya. Kedua, berkali-kali saya lihat di newsfeed Instagram dengan keyword #balitsa dan pemandangan pepohonan berderet rapi itu bagus sekali, elok nian, pengen lihat aslinya ehehehe. Ketiga, mau jalan-jalan dengan Nabil, sudah lama gak bawa anak kecil ini jalan kaki agak jauh dan lama di sisi kota. 

Balitsa merupakan singkatan Balai Penelitian Tanaman dan Sayuran. Di dalamnya terdiri dari beberapa bangunan, lahan perkebunan, dan pepohonan. Wilayah Balitsa seluas 50 Ha, membentang dari kaki Gunung Putri hingga kaki Gunung Tangkubanparahu. Letaknya lebih tinggi dari jalan raya. Jadi ya harus nanjak dikit-dikit gitu deh. 

Dahulu Balitsa dihuni seorang meneer Belanda bernama Van De Root, ahli botani khusus tanaman sayuran. Bukan hanya ia tinggal di Balitsa, tapi dia juga bekerja. Kerja dan tinggal di satu lahan yang sama. 

Kalau zaman sekarang pekerjaan kayak yang Van De Root lakukan itu istilahnya WAHD: 'work at home dad'. Tapi De Root tidak punya keturunan. Ganti istilah kalau begitu. Lebih cocok disebut SOHO: small office home office. Eh tapi Balitsa luas tanahnya 50 hektar. Big office home office dong namanya hehehe :D 

Sama sekali gak terpikir oleh saya kalau para tuan tanah juragan perkebunan tempo dulu itu sudah mempraktekkan gaya 'kerja dari rumah' jauh sebelum abad Google, smartphone, dan Internet tiba. Sekarang kan ramai muncul profesi baru yang kerjanya dilakukan di rumah. Baru kepikiran sekarang deh kalau Kerkhoven, Junghuhn, Bosscha, dan sekarang De Root kerjanya juga dari (wilayah) rumah. Pemilik perkebunan zaman sekarang tinggalnya di mana ya, di kebunnya atau di perkotaan ya…

Ah kembali ke Balitsa. 

Balitsa ini kerjanya ngapain aja? Itu juga pertanyaan yang berkelebat di pikiran saya sejak pertama kali mendengar namanya. 

Kalau orang-orang dengan latar pertanian dan perkebunan pasti tahu ya Balai Penelitian Tanaman dan Sayur ini apa kerjanya (selain meneliti :D). Tapi kayaknya mereka juga menciptakan inovasi pangan khusus sayuran.

Pemandu Lembang Heritage, Malia Albinia, memberitahu kami sekilas tentang pekerjaan Balitsa. "Kalau butuh tanaman Paria tapi Parianya tidak pahit, bisa kontak Balitsa." Berarti kegiatan orang-orang di Balitsa ini semacam rekayasa genetis gitu kali ya? Kayak menanam Stroberi tapi rasanya mirip buah Pisang :D

Di Balitsa Malia mengajak kami melihat makam istri Van De Root, makam Van De Root sendiri, dan gedung utama Balitsa. Sedikit sih titik yang kami kunjungi tapi selama acaranya Malia cerita banyak hal. Gak hanya tentang Balitsa tapi juga asal-usul kampung-kampung dan bangunan sekitar Balitsa. Misalnya Cikole, Cibogo, Cibedug, Hotel Tangkubanparahu, Vila Elman, dan masih banyak lagi. 

Menarik sekali mengetahui bagaimana cara Malia -yang pada hari itu membawa tape ketan dan membaginya cuma-cuma- mendapat banyak informasi tentang sejarah Lembang. Dia gak cuma baca buku-buku sejarah. Ibu dua anak yang juga hobi mengkliping artikel-artikel bertema sejarah dan budaya dari surat kabar ini sering ngobrol dengan nenek-nenek dan kakek-kakek yang ia temui di jalan dan angkot! Semacam mengumpulkan data dengan teknik wawancara. 

Kayaknya bener deh hukum Law of Attraction itu. Kalau suka dengan suatu hal, Tuhan akan menghubungkan kita dengan banyak orang yang menuntun kita ke arah yang kita suka itu. Bener gak? :D 

Tidak terlalu banyak kisah yang saya dengar tentang Van De Root. Nampaknya De Root sama dengan Bosscha, tipikal juragan yang disukai para pegawainya. Saat Jepang menguasai Bandung, orang-orang non-pribumi ditangkap dan ditawan di kamp-kamp interniran. Termasuk Van De Root. Namun ada rumor yang mengatakan bahwa Tuan Belanda yang satu ini bersembunyi di rumah pegawai pribuminya. 

Makam Van De Root ada di lahan perkebunan Balitsa.  Lokasinya berjauhan dengan makam istrinya. Kalau makam istrinya ada di rimbunan tanaman tomat, makam Van De Root ada di lahan yang tengah digarap. Makamnya berbentuk gundukan tanah tanpa pertanda (nisan) persis di tengah kebun. Bukan makam yang mewah. Makam keluarga saya jauh lebih layak kondisinya.

Highlight dari perjalanan di Balitsa jelas deretan Pohon Pinusnya. Cantik sekali. Sekitar 300 m ruas jalan di Balitsa berpagar pohon pinus. Jadi ingat puisi Chairil Anwar yang musikalisasinya bertengger di playlist dalam smartphone saya, Derai-Derai Cemara. Saya meminjam sebagian judulnya untuk saya jadikan judul tulisan ini.

Tak ada yang tidak berfoto dengan latar pepohonan Pinus tersebut. Bagus banget!

Dari Balitsa kami naik angkot ke Sindang Reret.

Malia mengajak kami ke restoran Sindang Reret. Bukan untuk makan tapi melihat makam tuan Elman, pemilik Vila Elman yang lokasinya ya di kompleks restoran tersebut. Sayang peninggalan Tuan Elman gak ada. Vilanya sudah berganti rupa. Lokasi makamnya berada lebih dalam ke kompleks Sindang Reret yang masih banyak pohonnya, temaram seperti di hutan. Nisan berbentuk Salib yang terbenam di tanah menandakan makam Elman. Kondisi makamnya sama dengan makan Van De Root. Tak terurus. 

Di antara kisah Van De Root dan Tuan Elman, Malia juga menceritakan asal usul nama Cikole, Cibogo, dan Cibedug. Cikole sih yang paling menarik. Kata Malia Cikole berasal dari dua kata: Ci dan Kole. Keduanya bahasa sunda. Ci artinya air. Hampir semua nama tempat di Bandung ini ada unsur air. 

Kole artinya ada dua. Arti yang pertama adalah pohon pisang (dalam bahasa sunda buhun. Buhun = tua, kuno). Dahulu di Cikole ada segala macam jenis pohon pisang. Arti kedua berasal dari kata Ci Kopi Lekoh (air kopi yang kental rasanya). Dahulu di pekarangan satu rumah warga pasti ada pohon kopinya. 

Kalau Cibogo berhubungan dengan nama ikan, Ikan Bogo. Kalau Cibedug, tahu lah ya pasti ada hubungannya dengan Bedug (masjid). 

Jalan-jalan yang dimulai pukul 9 pagi itu selesai deh sekitar jam 12 siang, setelah melihat makam Tuan Elman. Sebagian orang gak langsung pulang, makan siang dulu di restoran Ibu saya hohohoho :D Aduh maap beribu maap ya drama 'makanan-lama-dianter'nya. aheuheuheuheu :D 

Acara Jelajah Lembang ini informal banget sih. Menjawab pertanyaan teman-teman yang bertanya di Facebook dan IG, sebenarnya acara model begini emang kemasannya jalan-jalan saja, hampir 99% dilakukan berjalan kaki. Tapi muatan jalan-jalannya sejarah. Kalau kita gak suka hal-hal berbau sejarah, pasti ada saja pertanyaan macam "adoooh ngapain ngelihat makam orang sih" :D 

Saya baru saja membaca tulisan Zulkaida Akbar berjudul "Agar Tak Menjadi Buih Bagian 2 (Tentang Apresiasi)". Di dalamnya dibahas tentang Budaya Apreasiasi. Disebut dalam artikel itu bahwa apresiasi dan memberi kesempatan adalah kunci pertumbuhan jangka panjang. 

Jalan-jalan bertema sejarah ala Lembang Heritage ini juga menurut saya sih bagian dari usaha saya mengapresiasi sejarah. Terbaca agak berat ya, apresiasi sejarah heuheuheu. Baca buku sejarah saja jarang saya lakukan. 

Kalau gitu saya ralat sedikit, saya mengapresiasi kegiatan Lembang Heritage, pada orang-orang yang mewartakan kisah-kisah tempo dulu tersebut. 

Lha kamu pikir mereka bisa cerita ulang kepada kita gimana caranya? ya mereka baca buku dulu lah, ya tanya-tanya orang yang umurnya sudah tua lah. Lha dikata gampang nanya-nanya data ke orang berumur senja.

Ditambah lagi proses baca buku beratus-ratus jumlah halamannya, mengingat-ingat datanya. Belum lagi kalau mereka survey tempat sebelum acara jelajahnya dibuka untuk umum. Hal-hal kayak gitu yang saya apresiasi. Jadi, terima kasih, Malia, Kang Indra, Andre, Robi, Kang Ope, dan teman-teman dari Lembang Heritage! Ditunggu acara jelajah berikutnya.


Gedung utama, dahulu rumah Van de Root



Makam Maritje, istri Van de Root
Satu dari tiga puncak Gunung Putri
Pohon Pinus



Tape Ketan Daun Jati





Melihat makam Van de Root. Yes, gundukan tanah yang di tengah itu makamnya. 






Difoto Denny Lawang Buku

Sindang Reret
Menuju Makam Elma. Saya gak motret makamnya



Teks : Ulu
Foto : Ulu, difoto dengan smartphone Lenovo A6000. Edit foto menggunakan aplikasi VSCO
Share:

Cara Menuju Trizara Resorts

Ada tiga macam rute yang bisa kamu pilih menuju Trizara Resorts:



1. Parongpong
Masuk ke Tol Pasteur - Tol Padalarang - Cimahi - Parongpong. Di Jalan Kolonel Masturi bersiap belok kanan. Tanya saja warga setempat di mana letaknya Pasirwangi Kampung Kramat. 

2. Sersan Bajuri
Susuri jalan Sersan Bajuri - belok ke kompleks Graha Puspa - keluar dari Graha Puspa - keluar di Jalan Kolonel Masturi. Jalan masuk ke Trizara Resorts ada di sebelah kanan. 1,5 km dari pintu keluar Graha Puspa. 

3. Jalan Setiabudi
Lurus ikuti jalan Setiabudi menuju Lembang. Nanti pas sebelum masuk ke Lembang, ada jalan ke kiri. Itu jalan Kolonel Masturi (arah Parongpong). Ancer-ancernya ada pos polisi di seberangnya, sebelum patung sapi Lembang. Lurus saja ikuti jalan rayanya. Tapi hati-hati kelewat. Jalan masuk ke Trizara ada di sebelah kiri. 

Dari jalan masuk ke Kampung Kramat sampai ke Trizara, jaraknya kira-kira 1 km. Lurus saja, ada tanjakan yang edan nanjaknya, habis itu belok kiri. Ada papan petunjuk kok, harusnya gak nyasar. 200 m dari belokan tersebut ketemu deh Trizara Resorts.


Share:

Sunrise di Trizara Resorts Lembang

Berkeliling Trizara merupakan keasyikan tersendiri. Saya tidak bisa berhenti memotret. Berjalan kaki saya melewati kamar-kamar yang lain dengan bunga dan taman kecil di halamannya. Sebuah kotak pos yang cute. Di antara sedikit percakapan dan canda tawa dengan teman-teman saya mengamati pepohonan dan bangku-bangku kayu. Mencium wangi udara Lembang yang segar. 

Jalan kaki di Trizara Resorts ketika sore hari saya mendapati langit yang agak kelabu. Keesokan harinya langit cerah banget.

Baca juga : Cara Menuju Trizara Resorts




Sunrise di Trizara Resort


"Jam 5 pagi, Teh" 

Jawab seorang pegawai yang saya tanya waktu saya sedang menyantap menu sahur. Jam berapa enaknya kalau mau lihat sunrise, begitu pertanyaan saya padanya. 

Sahurnya beres. Saya dan teman-teman kembali ke kamar. Udara masih sangat dingin dan suasana di luar kamar mulai gelap karena lampu-lampu resorts, selain kamar, sudah mati.

Sendiri saya keluar kamar, sedikit ketakutan karena gelap jadi jalannya buru-buru gitu deh padahal mah gak ada apa-apa juga sih :D

Karena kemarin sore sudah mengelilingi Trizara, subuh ini saya sudah tahu harus nongkrong di mana untuk mendapatkan sudut terbaik menikmati sunrise: dari kawasan halaman Kamar Netra dan wilayah Api Unggun. 

Dan saat-saat terbaik itu pun mulai. Matahari terbit!




Kenapa ya kalau lihat sunrise, momennya terasa pelan namun juga begitu cepat. Di ujung cakrawala sana seperti ada orang membawa senter, memancarkan cahayanya yang muncul sedikit demi sedikit. Subuh itu yang kurang ada 3: sepiring gorengan, teh manis panas, dan Indra pasangan saya. Begini rasanya jomblo kali ya, melihat sunrise sendirian...kedinginan...aheuheuheuheuh :D

Perasaan sendu dan khidmat terus-menerus saya rasakan seiring subuh yang berlalu. Perasaan itu berubah jadi hangat ketika bulatan matahari muncul dan berkas sinar yang sudah terlalu silau untuk dilihat langsung.

Berganti saya kini menatap kabut-kabut tipis di kaki Gunung Tangkubanparahu. Melongok embun-embun di rumput dan mengucap sapa pada bunga-bunga kecil. 

Selamat pagi…



Trizara Resort Pagi Hari


Saya belum berniat kembali ke kamar meski pemandangan matahari terbit sudah usai. Sebaliknya saya jalan-jalan lagi berkeliling Trizara. If it look good, ayo jalan-jalan. If it look better, ayo jalan-jalan lagi! Lalukan itu di bulan puasa maka saya kembali ke kamar dalam keadaan haus dan menyadari waktu buka puasa akan tiba 10 jam mendatang :D

Panorama Trizara Resort di pagi hari jauh lebih memukau. Lebih ceria. Bunga dan daun-daun yang diterpa sinar matahari kelihatan lebih segar dan berkilauan. Seperti manusia kalau habis makan atau baru bertemu pacar: berisi dan bugar :D 

Ngomong-ngomong kata Trizara ada artinya. Berasal dari kata Sanskerta, Trizara artinya taman di surga. Saya melepas pandangan ke arah Tangkubanparahu yang megah dan memikat. Sesuatu yang saya pandang di sini bukanlah surga. Namun jika ada tempat yang membuatmu merasa bahagia sekaligus kecil karena ada keagungan yang sedikit masuk ke ruang-ruang bahagia kamu, maka surga adalah hal yang paling mendekatinya.


























Teks : Ulu
Foto : Ulu
Share:

Seminar Digital GRATIS 100%

Paket TOUR Pilihan

Berlaku: 05 Feb 2019 s.d. 30 Mei 2019 JELAJAH 3 PULAU SERIBU (ONE DAY) *AV-D Mulai dai IDR 100.000

Berlaku: 21 Nov 2018 – 31 Mei 2019 BROMO ONE DAY TRIP *CT-D Mulai dari IDR 300.000

Berlaku: 04 Mei 2019 – 05 Mei 2019 PULAU TIDUNG 2D1N *AV.D Mulai dari IDR 350.000

Berlaku: 06 Apr 2019 – 30 Mei 2019 PULAU PARI 2D1N *AV.D Mulai dari IDR 360.000

Berlaku: 27 Mar 2019 – 31 Mei 2019 PULAU HARAPAN 2D1N (OPEN TRIP) *AVD Mulai dari IDR 370.000

Berlaku: 02 Jul 2018 – 30 Mei 2019 PULAU AYER ODT *AV.D Mulai dari IDR 399.000

Berlaku: 01 Agu 2018 – 30 Mei 2019 PULAU PARI 2D1N *AV.D Mulai dari IDR 809.000

Berlaku: 02 Jul 2018 – 30 Mei 2019 PULAU PARI 2D1N *AV.D Mulai dari IDR 809.000

Berlaku: 13 Jun 2019 – 20 Jun 2019 8D7N CONSORSIUM CHINA VIETNAM BY SJ APR-JUN *TX Mulai dari IDR 7.980.000

Berlaku: 29 Apr 2019 – 03 Mei 2019 5 HARI 3 MALAM KOREA NAMI ISLAND *TX Mulai dari IDR 8.900.000

Berlaku: 05 Feb 2019 s.d. 30 Mei 2019 5 HARI 3 MALAM HAINAN ISLAND HARI SABTU STARTING JAKARTA JUN *TX Mulai dari IDR 4.650.000

Berlaku: 05 Mei 2019 – 08 Mei 2019 4 HARI 3 MALAM BANGKOK PATTAYA *TX Mulai dari IDR 5.500.000

Berlaku: 14 Mei 2019 – 18 Mei 2019 5D THAILAND MALAYSIA SINGAPORE *TX Mulai dari IDR 5.800.000

Berlaku: 01 Nov 2019 – 04 Nov 2019 MOTOGP GRAND PRIX OF MALAYSIA SEPANG INTL CIRCUIT 4D3N *TX Mulai dari IDR 5.900.000

Berlaku: 13 Jun 2019 – 20 Jun 2019 8D7N CONSORSIUM CHINA VIETNAM BY SJ APR-JUN *TX Mulai dari IDR 7.980.000

Berlaku: 12 Mei 2019 – 16 Mei 2019 5 HARI 3 MALAM KOREA NAMI ISLAND Mulai dari IDR 9.000.000

Jadi Agen Sekarang Gratis!

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support