Gele: Kuat gak nih? Turunnya gampang, nanti pulangnya gimana?
Ulu : Eeerrrr… kuat lah! Nanjak dikit doang.
NANJAK DIKIT DOANG? Nanjak 587 anak tangga dibilang dikit doang hahaha aduh ini nih namanya pergi tanpa persiapan. Sudah lama ingin rasanya mengunjungi Curug Cimahi (curug = air terjun, bahasa sunda). Padahal lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah. Naik motor kurang dari 30 menit sudah sampai. Sampainya di depan loket Curug Cimahi ya, bukan di curugnya :D
Terpampang besar-besar pada banner yang melintang di sekitar pintu masuk, CURUG PELANGI. Wah sekarang lebih terkenal dengan nama tersebut rupanya. Sekarang ada lampu yang dipasang di tebing air terjun, kalau malam lampunya dinyalakan. Lampu-lampu itu memancarkan warna-warni pada malam hari. Orang-orang yang memandangnya berasa sedang lihat pelangi katanya. Sejak saat itu air terjun ini namanya mulai berganti pelan-pelan gitu deh. Curug Pelangi.
Curug Cimahi sekarang populer dengan nama Curug Pelangi. Tapi di sini saya sebut Curug Cimahi saja ya. Nama yang terbentuk karena asal-usul sejarah ratusan tahun rasanya lebih patut dihargai dibanding nama yang muncul karena kecantikan dari lampu-lampu buatan manusia. Warnanya dangdut abis pula :P Sejak kapan pelangi muncul di malam hari?
Pada saat saya ke sana, Bandung sedang jam 10 pagi. Langit mendung. Rintik-rintik mulai turun. Pada papan peringatan tertulis kalau hujan, Curug Cimahi ditutup. Tapi belum ada tanda-tanda akan deras, gerimis bahkan berhenti. Perjalanan kami lanjutkan saja.
Karena sedang musim liburan, banyak pengunjung yang berdatangan. Dari yang muda hingga yang tua. Campur aduk jenis usia dan kalangan. Dalam perjalanan menuruni tangga, kami sering berhenti untuk istirahat. Ada dua balkon yang digunakan sebagai pitstop, untuk melihat Curug Cimahi dari jauh dan menyaksikan pesona alamnya.
Ide bagus masang balkon di sini. Tiap balkon memuat jumlah orang tertentu saja. Balkon pertama 16 orang. Balkon kedua 25 orang. Tidak ada petugas di sana. Papan pengumuman perihal kuota ukurannya kecil amat. Di balkon pertama saya malah sempat melihat dan menghitung ada lebih dari 16 orang tuh. Wah ngeri juga euy… Balkonnya kan posisinya menggantung. Kalo kelebihan muatan nanti bisa…bisa… heeuu!
Anyway, kami sering berpapasan dengan orang yang berlawanan arah. Pengunjung yang menuruni tangga, kayak saya ini, mukanya masih segar dan antusias. Sebaliknya, mereka yang dalam perjalanan kembali pulang, mukanya asem abis hahaha :D Kuyu, capek, dan pucat. Nanjak 587 anak tangga dikata gampang…
Jadi ragu-ragu meneruskan sampai Curug Cimahi euy.
Ulu : Duh gimana nih, balik pulang aja gitu ya?
Gele : Udahlah terusin aja, tanggung nih.
Tangga yang berkelok-kelok akhirnya berujung juga ke Curug Cimahi. Ah sampai juga! Ternyata boleh berenang ya di Curug Cimahi. Saya gak bawa pakaian ganti. Euh tahu gitu saya bawa tadi.
Airnya bening, segar, sejuk, dan dingin. Bulir-bulir air terjun menciprati wajah saya. Terasa sangat menyenangkan. Rasa capek di ratusan tangga tadi jadi berguguran. Kami bermain air. Celana basah sudah. Tidak apa-apa lah. Yang penting senang! Tidak lupa dong foto-foto sepuasnya. Nabil mengumpulkan kerikil dari dalam air dangkal, saya berdiri dengan gaya seperti Kate sedang di buritan dalam film Titanic. Sementara itu Gele gak tahu ngapain, motret kayaknya sih.
Tampak beberapa pemuda sedang asyik jeprat-jepret juga. Ala Instagram tentu saja. Seorang cewek dengan berpakaian lengkap asyik berenang tak bosan-bosan. Gak kedinginan itu orang ckckckck. Dari saya datang sampai saya beranjak pulang itu cewek masih berenang. Sendirian. Susah moto air terjunnya secara utuh karena dia ada di situ terus-terusan hahaha.
Satu hal yang amat sangat mengganggu di area Curug Cimahi sejak kami menuruni tangga sampai di Curugnya dan kembali menapaki tangga tersebut: MUSIK! Ada toa di Curug Cimahi? Bunyinya? lagu-lagu Campur Sari! Bukan karena musiknya campur sari maka saya bilang ganggu. Tapi saya mau denger suara alam bukan suara orang nyanyi. Bahkan Afgan nyanyi di situ pun saya gak suka. Gimana kalo terjadi sesuatu yang di bawah sana, orang-orang minta pertolongan tapi gak kedengeran petugas di atas sana karena suara musiknya sangat sangat sangat kencang.
Parah abis itu yang nyalain musiknya. Salah tempat.
Cukup bersenang-senang dan keganggu iringan musik yang keluar dari toa Curug Cimahi. Saatnya kembali pulang. Siap? Kata Gele pada saya. SIAP! kata saya padanya. Perut lapar, kerongkongan kering. Kami gak bawa perbekalan makanan. Juga kehabisan stok air minum. Sampai sekarang saya masih kasihan ke Nabil karena keteledoran orang tuanya ajak dia jalan-jalan, dia jadi ketiban getahnya. Duh!
Perjalanan panjang itu memakan waktu sekitar 30 menit. Cuma 15 menit lebih lama dari waktu menuruninya kok. Yeay! Saya dan Gele punya ketahanan fisik yang gak buruk rupanya. Di jalan sering berhenti sih. Nabil juga beberapa kali minta digendong. Emang ada momen di mana saya dan Gele capek banget. Makanya jalan pelan-pelan, ngukur kemampuan. 587 anak tangga…oh my…rasanya kok berat badan saya berceceran di tangga Curug Cimahi ya.
Sampai di depan loket, artinya sampai di titik akhir perjalanan. Usai sudah perjuangan menghadapi 587 anak tangga. Kami menang! langsung jajan gorengan, chiki, dan air minum tiga botol! Gak kenyang, makanya cepet-cepet pulang, makan siang di rumah saja.
Curug Cimahi, kami kembali lain kali ya. Mau bawa perbekalan lauk pauk dan nasi. Juga minuman berenergi. Oh iya, termasuk pakaian ganti!
Curug Cimahi
Lokasi : Cisarua, Lembang, Bandung Barat.
Tiket masuk Rp 17.000
Buka tiap hari, kalau hujan deras tutup.
Jam buka : 07.00 pagi.
Tutup : 02.00 pagi.
Cara menuju Curug Cimahi:
Curug Cimahi
Lokasi : Cisarua, Lembang, Bandung Barat.
Tiket masuk Rp 17.000
Buka tiap hari, kalau hujan deras tutup.
Jam buka : 07.00 pagi.
Tutup : 02.00 pagi.
Cara menuju Curug Cimahi:
- Aksesnya bisa dijangkau dari Jl Setiabudhi - Sersan Bajuri - Parongpong
- Bisa juga dari Cimahi - terus aja di jalan Cihanjuang - Belok ke kiri arah Parongpong.
- Angkot : Ledeng - parongpong, lanjut naik Ojek. Atau angkot apa aja yang jurusannya Parongpong deh.
Foto : Indra Yudha Andriawan
Teks : Nurul Ulu Wachdiyyah
0 komentar:
Posting Komentar