start Jalan Jalan Ah: Camping

Tips Jalan Jalan Kamu ada Disini

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Bulan Promo GRATIS

Menjadi Agen Travel - WA.+6285240788670

Tampilkan postingan dengan label Camping. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Camping. Tampilkan semua postingan

Golden Sunrise di Sikunir

Golden Sunrise di Sikunir 
Golden sunrise di Sikunir. Cantik, ya? :)

Begitu mobil yang dikendarai suami terlihat memasuki terminal, saya dan anak-anak bergegas menghampiri. Lumayan lama juga kami menunggu. Perjalanan dari terminal Dieng dan sebaliknya memang terlihat macet sekali. Sangat berbeda dengan sehari sebelumnya saat kami akan melakukan pendakian. Jalanan masih terasa cukup lengang saat itu. Setelah semua barang masuk mobil, kami pun berpamitan dengan mas Ivan. Perjalanan kami selanjutnya menuju desa Sembungan untuk melihat golden sunrise Sikunir.

[Silakan baca: Sunrise di Gunung Prau da Turun Gunung via Jalur Dieng]

Makan Malam di Desa Sembungan

Dari terminal Dieng menuju desa Sembungan sebetulnya gak terlalu jauh. Tapi, kami sempat berputar-putar karena nyasar. Mengandalkan GPS juga tumben gak berhasil. Tetap nyasar dan akhirnya bertanya dengan penduduk sekitar, deh.
Tip: Jangan mendadak kalau ingin mencari homestay di Sikunir
Kami termasuk yang rada mendadak ketika mulai mencari homestay. Kebiasaan menunda-nunda hehehe. Selain itu, kami sempat berusaha mencari sendiri dulu. Tapi, berkali-kali googling nomor telpon berbagai homestay di Sikunir, sepertinya gak ada satupun nomor telepon yang langsung ke homestay yang dituju. Semua nomor telpon perantara.

Karena gak juga dapat nomor telpon homestay, barulah saya minta tolong Idah Ceris, blogger asal Banjarnegara. Rada mepet minta tolongnya. Untung masih dapat homestay. Meskipun homestay yang kami inginkan sudah full tapi dapat homestay lain yang nyaman juga. Waktu itu saya pesan ke Idah minta tolong cariin homestay yang bisa masuk mobil dan kamar mandi di dalam dengan fasilitas water heater.

 
Homestay Cebong Indah, tempat kami menginap. Ada masjid besar dan bertingkat tepat di seberangnya. Harga kamar per malam, IDR300K. Ada sih yang seharga IDR250K, tapi kamar mandi di luar. Kalau kamar yang lebih besar, saya kurang tau berapa harga per malamnya.

Kami tiba di Sikunir menjelang maghrib. Kamar yang kami tempati tidak terlalu besar. Hanya muat 1 kasur berukuran king size dengan menyisakan sedikit space untuk meletakkan tas. Tepat di depan homestay, ada masjid. Jadi, kalau mau sholat tinggal nyebrang aja. Di homestay ini juga ada kamar lain yang lebih luas. Kalau bawa keluarga besar sepertinya bisa menyewa kamar yang lebih luas itu. Lumayan bisa banyak masuknya.

Tidur, mandi, atau makan dulu, ya? Ketiganya menggoda di saat bersamaan. Kasur empuk dengan selimut yang tebal benar-benar nyaman buat beristirahat. Tapi, rasanya pengen banget bebersih badan. Sejak berangkat, kami belum mandi hehehe. Perut juga mulai protes karena belum diisi sejak siang.


Kami pun memutuskan lebih baik makan malam dulu. Di desa Sembungan tidak banyak penjual makanan, malah kayaknya kami hanya menemukan 1 tempat saja. Tidak juga menawarkan banyak pilihan menu, hanya nasi goreng dan ayam goreng. Kami memesan 4 porsi nasi goreng dan 2 potong ayam goreng. Lokasinya tidak jauh dari homestay. Cukup jalan kaki, 5 menit saja sudah sampai.

Saat kami makan malam, di luar masih ramai. Tidak hanya karena banyaknya pengunjung ke desa tersebut. Tapi penduduknya juga masih beraktivitas. Beberapa anak kecil terlihat berlarian ke sana-kemari menuju masjid sekitar. Seneng lihatnya, deh.

"Tapi nunggu ya, Bu. Lagi banyak yang beli," kata ibu penjual nasi goreng sambil menggoreng nasi.

Lumayan lama juga kami menunggu hidangan disajikan. Pembelinya pada malam itu sebetulnya gak banyak juga. Tapi ibunya lupa kalau kami sudah pesan dari tadi. Eyaampuuunn ... Kami pun ngakak setelah ibunya bilang lupa hehehe

Seporsi nasi goreng seharga 13 ribu rupiah dan ayam goreng seharga 16 ribu rupiah. Menurut Sabahat Jalan-Jalan KeNai termasuk mahal, gak? Hmmm ... Mahal atau murah memang relatif, ya. Tapi kalau menurut kami harganya gak beda sama harga nasi goreng dok dok yang biasa kami beli di rumah. Padahal dalam pikiran kami kalau di Jawa Tengah dan sekitarnya biasanya lebih murah harga makanan dan miumannya. Ternyata sama aja.

 
Nasi goreng, IDR13K.
Ayam goreng, IDR16K

Setelah makan, kami langsung kembali ke homestay. Di depan homestay, saya melihat mobil yang di dalamnya ada beberapa perempuan muda sedang menanyakan penginapan yang kosong. Dari hasil menguping, rupanya mereka sedang bingung karena gak ada satupun homestay yang kosong. Tuh, jangan mepet kalau mau pesan kamar di desa Sembungan, ya.
Di luar desa Sembungan juga ada beberapa homestay. Tetapi karena Sikunir berada di Desa Sembungan, jadi memang paling nikmat mencari homestay di sini.
Perut udah kenyang, saatnya bebersih badan. Enak banget, deh, mandi air hangat setelah hampir 2 hari gak mandi hihihi. Tapi, begitu keluar dari kamar mandi langsung berasa dingiiiiinnn ... Buru-buru naik ke kasur dan selimutan. Brrrr ....

Kami hanya menyewa 1 kamar saja. Dempet-dempetan berempat di 1 kasur ukuran king size. Tapi, jadinya hangat. Kalau badan cape begini, gak berasa sempit. Begitu rebahan di kasur langsung tidur dengan nyenyak. Kalau gak pasang alarm kayak udah bablas kesiangan.

Macet di Sikunir

Kami disarankan mulai jalan menuju Sikunir pukul 04.00 wib. Diperkirakan sampai puncak Sikunir sekitar 45 menit dengan kecepatan normal, ya. Bukan yang kura-kura kayak saya hahaha. Tapi kata suami setelah adzan subuh aja. Suami sangat yakin masih bisa mengejar sunrise setelah subuh karena lokasi homestay yang lumayan dekat dengan pintu masuk Sikunir.

Ada 3 alternatif menuju pintu masuk Sikunir, yaitu menggunakan kendaraan pribadi, naik ojek, atau jalan kaki. Membawa kendaraan pribadi sangat tidak disarankan oleh penduduk di sana. Alasannya, parkiran udah penuh. Bakal susah banget cari parkir. Kami pun memilih berjalan kaki.

Ketika suami memutuskan untuk berjalan kaki, saya sempat khawatir gak bisa jalan. Masih inget aja waktu pertama kali naik gunung, keesokannya saya ngesot karena kaki rasanya pegal banget hahaha. Tapi kali ini alhamdulillah, gak berasa pegal sama sekali.

Enak juga berjalan kaki menuju pintu masuk Sikunir. Udaranya masih terasa sangat segar dengan langit yang cerah terlihat bintang. Coba di perkotaan kayak begitu, ya. Betah banget, deh. Cuma harus hati-hati aja karena lumayan banyak ojek motor yang mondar-mandir mengantar pengunjung.
Tip: Kalau memilih berjalan kaki, sebaiknya bawa senter. Penerangan di dekat danau agak minim
Jalan menuju bukit Sikunir sudah aspal. Untuk Sahabat Jalan-Jalan KeNai yang merasa lapar atau haus, di area pintu masuk banyak penjual makanan dan minuman. Bahkan terlihat beberapa bangunan permanen yang sedang dibangun. Sepertinya, dengan makin banyaknya wisatwan yang ke sana, mulai terlihat pembangunan di area bukit Sikunir.
Tip: Tetap gunakan alas kaki serta pakaian yang nyaman untuk kegiatan outdoor karena begitu mulai mendaki, jalurnya sempit dan licin.
Maceeeett paraaahhh ...

 
Seperti ini keramaian di Sikunir. Banyak banget pengunjungnya sampe susah bergerak. Maceeett ...

Ternyata di gunung atau bukit pun bisa macet bahkan macet parah. Bahkan untuk pendaki kura-kura macam saya pun kemacetan ini ngeselin karena sering banget berhenti. Jalur menuju uncak Sikunir itu sempit dan licin. Sepanjang pendakian, saya berharap jangan sampai ada yang terpeleset. Takut kayak efek domino gitu, satu jatuh trus yang lain juga. Masalahnya, di pinggirnya jurang. Kan, bikin deg-degan banget.

Sekitar 2/3 pendakian ada tanah lapang. Para pengunjung banyak menyebutnya puncak 1. Kami memilih cukup sampai di sini aja pendakiannya. Itupun terpaksa berpencar saking ramenya pengunjung. Kalau mau sampe puncak 2 masih harus mendaki sekali lagi. Tapi melihat banyaknya yang mendaki dan langit yang mulai terlihat terang, mendingan gak usah melanjutkan pendakian, deh. Gak bisa ngebayangin juga di atas bakal serame apa kalau kayak gitu.

Baru juga saya dapat ruang untuk duduk, tau-tau ada seorang pengunjung yang pingsan. Oleh warga setempat langsung digendong di punggung untuk dibawa turun. Kelihatan sekali yang menggendong gerakannya lincah bagai kancil. Menerobos pengunjung yang membludak kayak gitu.

 
Melihat matahari terbit dari yang cuma setitik dan lama-lama membesar. Menakjubkan!

Walaupun gak sampe puncak, tapi sunrise di Sikunir tetap terlihat sangat indah. Warnanya keemasan sehingga disebut golden sunrise. Pantas saja dibilang golden sunrise. Beruntung sekali, saya diberi kesempatan melihat salah satu maha karya Allah SWT ini. Alhamdulillah.

Saya gak langsung beranjak setelah matahari terbit. Sempat ngobrol-ngobrol sejenak dengan sepasang orang tua di sebelah saya. Dari ceritanya, mereka ternyata sudah mendaki Sikunir sehari sebelumnya. Tapi puncak kepadatan terjadi saat itu sehingga mereka terpaksa turun lagi saking padatnya. Wuiihhh! Perasaan saat aja udah macet banget. Bener-bener gak ngebayangin sehari sebelumnya itu seperti apa ramainya.

Mereka pun memutuskan kembali ke Semarang dan balik lagi ke Sikunir lagi tengah malam. Tidur sejenak di parkiran pintu masuk Sikunir, kemudian mulai mendaki sekitar pukul 2 dinihari supaya dapat spot foto yang bagus. Wah pukul 2 mah kami masih tidur nyenyak, mereka udah mendaki hahaha.

Golden Sunrise di Sikunir 
Nai dan ayahnya memilih mojok. Gak melihat sunrise :D

Setelah berpencar, saya menghampiri Nai dan ayahnya. Untung aja Keke duluan yang nyamperin saya. Kalau gak, saya bakal bingung nyari dimana suami dan anak-anak. Nai dan ayahnya gak ikut menikmati sunrise. Terlalu penuh pengunjungnya sehingga memilih area di pojokan buat ngopi dan sarapan pop mie.
Tip: Di atas bukit Sikunir ada beberapa penjual minuman hangat seperti kopi, teh, dan lainnya juga mie instan. Tapi, kalau kami tetap bawa sendiri. Biar gak jajan hahaha. Bahkan area untuk sholat pun katanya sih ada (tapi saya gak tau di mana area untuk sholatnya)
Golden Sunrise di Sikunir

Setelah ngopi dan sarapan, kami mengelilingi area sekitar. Tapi tetap gak ingin naik ke puncak. Udah cukup lah ngos-ngosannya. Lagian, di area itu aja pemandangannya udah indah banget, kok. Setelah puas foto-foto dan terlihat mulai kosong, kami pun turun. Memang sengaja turun agak siang untuk menghindari macet.

Ternyataaaaa ... Setelah beberapa menit berjalan, masih juga ketemu macet. Mending nunggu lagi, lah daripada ikutan macet. Itupun setelah lumayan lama kami menunggu, masih juga macet. Akhirnya, kami memutuskan untuk turun. Gak tau deh jam berapa itu macetnya terurai.

 
Masih maceeettt ... Di depan itu jalurnya menyempit, mana pinggirnya jurang. Jadi mending duduk manis aja dulu nunggu macet terurai 

 Di tengah kemacetan dihibur dengan musik. Silakan yang mau nyawer :)

Sarapan di Desa Sembungan
Desa Sembungan berada di ketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut. Dengan ketinggian ini membuat desa Sembungan menjadi desa tertinggi di pulau Jawa
Golden Sunrise di Sikunir 
Pemandangan di telaga cebongan. Banyak tanaman kentang dan carica di sekelilingnya

Luas desa Sembungan hanya sekitar 37 ha. Mata pencaharian penduduknya adalah petani. Sepanjang mata memandang banyak terdapat tanaman kentang dan carica yang memang menjadi komoditi utama. Di desa ini juga ada telaga yang dikenal dengan nama telaga cebongan. Disebut begitu karena kalau dilihat dari atas bentuk telaganya seperti kecebong.
Gak dapat homestay? Camping aja di pinggir telaga cebongan
Golden Sunrise di Sikunir 
Sarapan mewah. Bukan karena makanannya tapi viewnya yang gak setiap saat saya dapatkan

Yup! Di pinggir telaga cebongan itu ada camp area. Makanya kami sebetulnya gak begitu khawatir kalau sampe gak dapat penginapan. Kan, udah bawa tenda jadi tinggal camping lagi aja. Kalau areanya penuh juga, berarti tidur di mobil. Tapiiiii ... kalau bisa memang dapat penginapan. Biar bisa mandi hehehe ... Di camp area juga ada MCK, sih. Cuma kan paling enak memang kamar mandi dalam. Bisa bebas berlama-lama mandi sampe puas.

Kami kesana pada awal Mei 2016. Ngobrol dengan penduduk sekitar dan pengunjung, katanya waktu yang paling bagus itu sebetulnya bulan Juli - Agustus. Saat musim kemarau dan suhu lagi dingin-dinginnya. Bisa dibawah 0 derajat. Di puncak suhu terdingin, tanaman terlihat membeku. Dan, itu katanya cantik banget karena terlihat putih seperti es. Asal kuat aja menghadapi dinginnya. Hmmm .... tapi sekarang Juli - Agustus aja masih hujan terus, ya? Kira-kira di sana masih dingin banget gak, ya?

 
Menunya sederhana, harganya murah banget. Lebih puas makan sarapan ini dibanding yang nasi goreng hehehe. Paling yang kurang adalah rasa pedas. Karena semua lauknya agak kemanisan bagi lidah saya

Kami menyempatkan diri untuk sarapan di salah satu warung sederhana dekat telaga. Warung yang benar-benar sederhana. Harga per porsinya pun murah. Seingat saya gak lebih dari 20 ribu rupiah. Tapi viewnya cakep banget. Terlihat perkebunan dan sawah. Jarang-jarang kan lihat yang kayak gitu.

Setelah kami kembali ke penginapan, langsung packing dan bebersih diri. Borong carica dulu yang ternyata kurang banget karena pada suka. Padahal perasaan udah beli banyak hehehe. Kebetulan homestay tempat kami menginap juga buka toko oleh-oleh. Jadi, untuk kami yang tipe malas mampir beli oleh-oleh, ini sangat memudahkan.

Beli beberapa oleh-oleh lain juga, termasuk beli mie ongklok, mie rebus khas Wonosobo. Gak sempat makan langsung di sana. Jadi, kami beli yang dalam bentuk kemasan. Setelah dicobain di rumah, kami kurang suka rasanya yang terlalu manis. Termasuk untuk selera suami saya yang lebih rasa manis dibandingkan saya. Kayaknya kalau makan mie ongklok lagi harus dikasih sambal yang banyak :)

 Inilah pohon carica
Carica, ada juga yang menyebutnya pepaya gunung. Penampakan carica dari mulai daun, batang, hingga buah memang mirip pepaya. Disebut pepaya gunung mungkin karena tidak bisa tumbuh di sembarang tempat. Baru terlihat berbeda ketika carica dikupas, biji di dalamnya lebih mirip seperti markisa. Carica juga gak bisa dikonsumsi langsung seperti buah pepaya. Harus diolah terlebih dahulu karena kalau tidak bisa menyebabkan bibir dan lidah menjadi gatal.
Sekitar pukul 11 siang, kami meninggalkan desa Sembungan. Perjalanan menuju rumah lumayan lancar. Sempat makan siang (yang kesorean), kalau gak salah di daerah Pemalang. Trus beli telor asin dulu di Brebes. Sayangnya lagi gak musim bawang merah. Cuma ada 1 toko yang jual bawang merah dan harganya lumayan tinggi. Sama aja kayak beli di pasar dekat rumah. Lanjut makan malam lagi di jalan tol. Baru deh sampe rumah dan langsung tidur nyenyak :D

Alhamdulillah, badan gak terlalu pegal-pegal keesokan harinya. Cuma males aja ngelihat pakaian kotor yang menumpuk hehehe

Makan siang yang kesorean di daerah Pemalang ini gak recommended. Cumi goreng tepung yang dingin dan masih berasa banget tepungnya. Sop buntut yang biasa banget. Ikan gurame bakar yang teralu kuat rasa jahenya. Ya, setidaknya perut kami terisi biar gak masuk angin karena telat makan.

Makan malam dulu di salah satu rest area. Nah, ini baru puas. Enaaaakk :)
Share:

Sunrise di Prau dan Turun Gunung via Jalur Dieng

 
Sunrise di Prau dan turun gunung via Dieng menjadi pengalaman kami di hari kedua

Setelah drama kehilangan Keke selesai, saya pun menutup malam itu dengan makan yang banyak kemudian dilanjutkan tidur nyenyak. Malam itu, udara Prau tidak terlalu dingin. Padahal saya sudah membayangkan akan menggigil bila malam telah tiba. Mungkin ketika mencari Keke, saya sudah cukup menggigil. Sehingga, begitu masuk tenda malah terasa hangat. Saya pun tidak terlalu merapatkan sleeping bag. Malahan suami memilih gak pakai sleeping bag. Cukup pakai sarung aja.

[Silakan baca: Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng]

Sunrise di Prau

Suami: "Bun, bangun. Mau lihat sunrise, gak?"

Jam di handphone menunjukkan pukul 05.00 wib. Ugh! Rasanya malas sekali keluar tenda. Ngebayangin dinginnya udara luar bikin saya malas. Enakan bergelung di dalam tenda aja dan melanjutkan tidur.

Kemudian saya berpikir kalau selama ini sering banget gagal melihat sunrise dimanapun. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh salah seorang penyiar radio ketika bertanya kepada para pendengarnya lebih suka sunrise atau sunset. Mayoritas mengatakan sunset. Dan penyiar tersebut menyimpulkan kalau banyak yang lebih memilih sunset karena malas bangun pagi. Terlepas dari apakah kesimpulannya benar atau tidak, setidaknya buat saya itu benar banget hahaha!

Kali ini gak boleh gagal lagi!

Akhirnya, saya memaksakan diri untuk bangun. Masa' mau gagal melulu. Padahal udah jalan jauh. Sayang aja kalau sampe gagal lagi.

Udara dingin langsung menerpa wajah saya yang gak tertutup apapun. Kalau badan hingga kaki sih hangat karena memakai outfit yang cukup tebal. Kerudung yang saya pakai pun mampu menghangatkan kepala. Tapi memang dibilang dingin banget juga enggak. Saya tidak memakai sarung tangan tapi gak bikin tangan saya berasa kedinginan banget. Biasa aja.

 
Kemeriahan tidak hanya dari warna-warni tendanya. Tapi juga dari suasana yang sangat ramai. Benar-benar seperti pasar malam. Ada yang nyanyi, tertawa ngakak, teriak-teriak, dan lain sebagainya. Untung kami tidak mendirikan tenda di area ini 

Entah pukul berapa para pendaki ini tiba. Seingat saya, sampai saya mulai beristirahat baru ada 3 tenda. Salah satunya tenda kami.

Mas Ivan: "Masih kepagian. Nanti aja keluarnya. Sunrisenya masih lama."

Mas Ivan keluar dari tendanya ketika saya dan suami keluar dari tenda. Saya lihat di sekeliling sudah ada beberapa tenda lagi. Entah pukul berapa para pendaki itu datang. Seingat saya, saat kami di sana hingga saya tidur hanya ada 3 tenda. Tenda kami, mas Ivan, dan 1 tenda pendaki lain. Walaupun ketambahan beberapa tenda, tetap suasananya masih sepi. Gak seramai di tempat saya mengunggu Keke. Itu sih udah kayak pasar malam banget!

 
Menjelang sunrise

 
Saya hanya perlu mendaki bukit kecil di depan tenda untuk melihat sunrise. Gak sampai 5 menit sudah sampai di atas. Langsung tampak di depan mata kemegahan gunung Sindoro dan Sumbing. Dari kejauhan terlihat deretan gunung Merapi, Merbabu, Andong dan Ungaran.

Tempat kami mendirikan tenda sepertinya juga jadi jalur melihat sunrise sekaligus deretan gunung. Banyak para pendaki yang lewat di depan tenda untuk melihat sunrise dari bukit. Benar kata mas Ivan kalau tempat kami mendirikan tenda tidak hanya sunyi tapi juga memiliki pemandangan yang paling indah.

 
Nai yang selalu menyiapkan makanan bagi kami. Bahkan sebelum pergi, dia yang membuat daftar makanannya hehehe

 
Sambil nunggu sarapan siap, nge-drone dulu :D
 

Keke dan Nai tidak ikut melihat sunrise. Mereka berdua terlihat sangat nyenyak. Chi pun gak mau membangunkan. Biar aja, lah. Biar mereka beristirahat. Sayangnya, cuaca hari itu cukup mendung. Sunrise tidak terlihat maksimal. Bahkan ketika kami memutuskan untuk turun gunung sekitar pukul 10.00 wib, gunung Sindoro dan Sumbing sudah hampir tidak terlihat karena kabut.

Turun Gunung via Dieng


Suami: "Bun, mau turun lewat mana? Patak Banteng atau Dieng?"

Kalau lihat waktunya, saya tergiur untuk kembali melalui Patak Banteng. Tapi kalau mengingat kecuramannya, nyali saya langsung ciut. Naik aja ngeri apalagi turun? Khawatir kepleset mana jalurnya sempit. Hiii ...

 
Banyak yang menyebut area ini adalah Bukit Teletubies :D

Jalur Dieng katanya lebih landai tapi sampenya lebih lama. Sebetulnya gak landai-landai amat. Ada di beberapa jalur yang agak menanjak. Banyak juga jalur sempit dan licin bikin beberapa pendaki termasuk saya terpeleset. Sebelnya jarang sekali pohon atau akar besar yang bisa saya jadikan pegangan.

 
Sering berhenti karena kaki terasa lumayan sakit

Kaki yang sakit juga memperlambat perjalanan. Beberapa minggu sebelum mendaki, kaki saya sempat terkilir. Pas berangkat ke Dieng, kondisi kaki sudah banyak berkurang sakitnya. Tapi mungkin karena dibawa jalan cukup lama jadinya bengkak dan sakit lagi. Sepatu yang saya pakai jadi terasa menggigit karena sempit gara-gara kaki saya bengkak. Inilah yang bikin perjalanan jadi terhambat karena banyak berhentinya.

 

 Paling gemeteran pas di sini. Jalurnya sempit, licin, gak ada yang bisa dipegang :D

 Entah kenapa area ini disebut Akar Cinta

Karena terlalu sering berhenti, Keke dan Nai turun lebih dahulu bersama mas Ivan. Seingat saya hanya 2x mereka menunggu saya dan suami. Ketika menemukan persimpangan dan di dekat hutan pinus untuk makan siang. Selain itu saya hanya berdua sama suami. Seharusnya romantis kalau berduaan gitu, ya hihihi. Tapi ini sih boro-boro, kaki saya lumayan sakit. Mas Ivan menawarkan sendal jepitnya untuk saya pakai. Tapi suami keberatan, menurutnya tetap lebih baik pakai sepatu. Apalagi kondisi jalanan yang licin, kalau sampe putus di jalan malah lebih repot.

Setelah sekitar 4 jam perjalanan, sampai juga di pos terakhir. Saya dan anak-anak menunggu di terminal, sedangkan suami dan mas Ivan naik angkot untuk mengambil kendaraan masing-masing yang parkir di pintu masuk Patak Banteng. Lumayan lama kami menunggu karena traffic dari dan ke Patak Banteng sangat macet.

Sambil menunggu, saya menguping obrolan para pendaki yang baru memulai pendakian di hari itu. Ternyata karena long weekend, macet total dimana-mana. Rata-rata menempuh perjalanan hingga 24 jam dari Jakarta menuju Dieng. Bahkan ada yang lebih dari 24 jam. Alhamdulillah, perjalanan kami menuju Dieng tidak selama ini walaupun agak mundur beberapa jam dari rencana awal sehingga membuat kami terpaksa mendaki sore hari.

Selesai dari pendakian gunung Prau, kami tidak langsung pulang. Perjalanan masih dilanjutkan menuju Sikunir. Banyak yang bilang golden sunrise di Sikunir sangat indah. Bukit Sikunir tempat kami melihat golden sunrise berlokasi di desa Sembungan yang merupakan desa tertinggi di pulau Jawa.

Seperti apa ya rasanya tinggal di desa tertinggi? Dan bagaimana indahnya golden sunrise di bukit Sikunir? Bersambung ke cerita berikutnya, ya :)

Baru juga turun gunung udah ada pembicaraan mau ke gunung mana lagi. Ke pantai, pliiiisss... Sesekali hehehe.
Share:

Yang Baju Orange Jangan Sampai Lepas!

Abis Nai ngacir banget. Bikin khawatir hilang di hutan.

"Mas, lihat anak perempuan yang pakai baju bola warna orange, gak?" tanya saya kepada seorang crew Tanakita yang sedang melintas sambil membawa ban untuk tubing.

"Gak lihat, Bu."

Duh! Napas yang belum hilang ngos-ngosannya, sekarang ditambah dengan hati yang mulai deg-degan.

Masa' gak lihat, sih? Trus, Nai kemana?

"Mas, lihat anak perempuan pakai baju orange lewat, gak? Anak kecil, Mas." Saya kembali bertanya ke crew Tanakita lain yang sedang melintas. Saya sangat gak yakin kalau mereka melihat. Karena yang kami lewati adalah jalan setapak. Kalau crew pertama yang baru saja lewat beberapa menit lalu gak melihat, rasanya kecil banget kemungkinan crew yang berikutnya akan berpapasan dengan Nai.

"Gak ada anak kecil yang lewat, Bu."

Walaupun saya sudah menduga jawabannya akan seperti itu, tetap aja lutut menjadi lemas mendengarnya. Jantung saya semakin berdegup kencang.

------------------------------


"Nai! Tunguuu ...!"
"Nai! Jangan kecepetan ...!"

Berulang kali saya harus berteriak memanggil Nai yang melesat sendirian. Saat itu, kami (minus Keke yang lebih memilih river tubing) dan 1 rombongan keluarga besar yang menjadi tamu Tanakita, sedang berjalan kaki menuju Tanakita Riverside.

Sebetulnya untuk menuju sana bisa aja naik angkot. Tapi, jadi gak berpetualang kalau naik angkot. *Naik angkot mah di kota aja :p* K'Aie mengajak trekking ke Tanakita Riverside. Berarti kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak di hutan.

Memang bukan di tengah hutan belantara. "Hanya" di pinggir hutan. Walau begitu tetap aja jalannya masih alami. Harus hati-hati, terlebih bila hujan turun. Apalagi di sepanjang 2/3 perjalanan ada jurang di pinggirnya.

Mungkin merasa sudah hapal jalan karena sudah berkali-kali kami trekking ke Riverside, Nai pun langsung melesat sendiri. Sesekali dia meloncat seperti kancil. Saya berkali-kali harus berteriak memintanya untuk berhenti. Padahal sulit untuk berteriak di saat bernapas aja sudah ngos-ngosan karena harus berlari mengejarnya. Ya, saya harus berteriak memintanya berhenti karena kalau tidak gak akan kekejar. Nai larinya cepat :D

Nai memang sudah hapal jalan, tapi saya merasa kami semua harus tetap jalan bersama. Tentu alasan utamanya untuk saling menjaga keselamatan. Trekking di hutan dengan kondisi jalan setapak yang apa adanya. Jalurnya gak selalu datar, kadang menurun dan menanjak. Ada juga jalan yang licin. Kebanyakan melewati jalan setapak yang di pinggirnya jurang.

Bagaimana kalau dia terpeleset atau terguling karena jalanan licin? Bagaimana bisa tau kalau dia terpeleset bila jalan sendirian? Siapa yang bisa langsung menolong kalau dia terjatuh saat jalan sendirian? *Duh, pikiran saya mulai aneh-aneh karena khawatir, nih*

Lama kelamaan teriakan saya semakin berkurang. Kalah dengan napas yang semakin terengah-engah dan rasa lelah karena mengejarnya. Ya, seharusnya trekking di jalani dengan berjalan santai, khususnya buat saya :D

----------------------


Dan, saya pun duduk di sebuah persimpangan ... 

Di tengah perjalanan trekking, kami akan menemui sebuah persimpangan. Satu-satunya persimpangan yang ada Ke kanan untuk menuju Tanakita riverside, ke kiri untuk menuju start river tubing.

Saat itu saya hanya menunggu bersama seorang anak laki-laki kelas 2 SD. Anak dari salah seorang tamu yang ikutan trekking bersama kami. Dia ikut berlari ketika saya mengejar Nai. Rombongan lain tertinggal jauh. Berkali-kali, saya menengok ke belakang, belum juga nampak rombongan trekking datang. Saya semakin gelisah karena beberapa kali bertanya ke crew Tanakita yang lewat dan mendapatkan jawaban tidak melihat anak kecil berkostum jersey warna orange.

Jangan-jangan Nai kebawa sama Keke?

Saat sedang menyusuri jalan setapak, tau-tau Keke datang sambil berlari. Tujuan dia adalah river tubing. Sama seperti Nai, Keke pun melesat meninggalkan rombongan tamu yang juga akan river tubing. Merasa klop, Keke dan Nai pun semakin melesat ketika mereka bertemu. Meninggalkan saya dan rombongan lain jauh di belakang. Hingga akhirnya mereka hilang dari pandangan.

Saya berharap Nai memang kebawa Keke. Setidaknya itu dugaan yang lebih menenangkan daripada menduga yang lain, seperti jatuh. Hiii ... Tapi, kalau Nai sampai kebawa sama Keke, trus gimana dia baliknya? Gak mungkin juga Nai ikut Keke menyusuri sungai. Nai gak pakai perlengkapan untuk river tubing. Lagipula badannya masih kekecilan untuk ikut aktivitas tubing.

Akhirnya rombongan besar yang ditunggu muncul juga ...


Saya pun langsung nyerocos menceritakan kejadiannya. Seorang crew Tanakita yang ikut menemani trekking dengan sigap mengatakan akan mencari ke tempat start tubing. Saya pun mulai sedikit lega. Setidaknya mulai ada yang bantuin cari.

Trus, apakah kemudian saya mulai bisa trekking dengan santai. Ternyata enggak ...!

Kali ini giliran anak kecil yang mengikuti saya dari awal trekking yang mengajak berlari. Kembali saya harus berteriak dan berlari. Ini anak kecil pada makan apa, sih? Energinya turbo semua. Untungnya anak ini masih mau nungguin saya. Menurut kalau saya minta berhenti. Ya, mungkin karena dia baru pertama kali juga trekking di sana hahaha :D *nasiiib ... nasiiiib ...* *pegangin lutut yang kembali nyut-nyutan*

Kenapa gak dari awal bukan K'Aie yang mengikuti Nai? Pasti secara tenaga K'Aie lebih bisa mengikuti ritme langkah kaki Nai. Itu karena kami berjalan dalam rombongan besar dengan rentang usia batita hingga lansia. K'Aie tidak hanya hapal jalan tapi juga tau bagaimana trekking yang aman. Tentu aja K'Aie lebih baik tetap bersama rombongan. Akhirnya yang 'ketiban' usaha mengejar Nai adalah saya hahaha!

Ketika saya sedang beristirahat sejenak di pinggir sungai karena napas yang terengah-engah, tau-tau ada yang nyolek dari belakang. Yaelah ...! Bocah perempuan berkostum jersey orange tau-tau udah di belakang bundanya lagi. Nai pun nyengir seperti tidak merasa sudah mekakukan sesuatu yang sudah bikin bundanya khawatir.

Ternyata benar dugaan saya. Nai kebawa Keke ke arah tempat river tubing. Mereka berdua asik berlari sambil ngobrol sepanjang jalan hingga gak sadar ada persimpangan. Nai baru sadar kalau salah jalan setelah crew Tanakita yang mencari menemukannya. Dan dengan cepat dia kembali, menyalip rombongan besar, kemudian bertemu dengan saya yang lagi beristirahat sejenak. *Lagi-lagi rombongan erada jauh ketinggalan di belakang*

Nai kembali berlari. Kali ini bersama dengan anak laki-laki yang dari tadi menemani saya. Saya pun kembali berlari. Untung aja Tanakita Riverside sudah semakin dekat. Jalur trekking sudah cenderung aman. Udah gak berjalan di pinggir jurang, jalannya juga banyak yang rata walopun masih ada tanjakan dan turunan. Paling tinggal melewati 1 turunan terakhir yang agak tinggi dan licin, sehingga harus lebih berhati-hati.


Nilai positif yang bisa saya ambil dari kejadian waktu itu adalah kalau segala sesuatu memang butuh proses. Seringkali gak instant. Masih inget banget, bertahun-tahun lalu ketika mulai mengajak anak-anak trekking. Mereka gak pernah kelihatan jijik'an, sih kalau cuma sekadar kaki dan tangan kotor karena lumpur. Tapi, belum kuat jalan jauh.

Biasanya kami bujukin untuk tetap berjalan. Beristirahat dulu bila perlu. Tapi kalau masih rewel juga, K'Aie yang kebagian tugas menggendong anak-anak secara bergantian. Sekarang mereka udah gak minta gendong lagi. Tapi kali ini giliran yang sesekali kami mengejar mereka hehehe ...

PR saya berikutnya adalah melatih stamina agak gak terlalu kalah sama anak-anak hahaha. Etapi yang terpenting adalah harus semakin mengingatkan Keke dan Nai tentang kebersamaan. Apalagi kalau lagi di alam bebas seperti itu. Yang penting adalah bukan tentang siapa yang duluan sampai karena sedang tidak berlomba. Tapi tentang kebersamaan. Jalannya bareng, sampenya juga bareng.
Share:

Tanakita Riverside bila Ingin Menikmati Sunyi

tanakita
Tanakita Riverside bila Ingin Menikmati Sunyi. Karena di sini benar-benar gak ada signal untuk internetan :D

Suami: "Bun, tanggal 7 (November) ke Tanakita, ya. Rani menikah."
Saya: "Tapi, rencana kita camping di Puncak gimana, Yah?"
Suami: "Itu camping tanggal berapa?"
Saya: "Tanggal 31 (Oktober)."
Suami: "Gak bentrok berarti, kan? Bisalah."
Saya: "Iyeees!!"

Tanggal campingnya memang gak bentrok, tapi siapa tau suami jadi malas untuk camping di Puncak karena jaraknya cuma seminggu. Ke Tanakita memang untuk menghadiri undangan pernikahan mantan teman sekantor suami. Bukan di Tanakita, sih, menikahnya. Masih seputaran Cisaat, tapi gak mungkin juga kami bolak-balik Bekasi-Cisaat. Mending menginap semalam aja di Tanakita.

Suami bilang kalau menginapnya nanti di Riverside karena di Tanakita, Pinus, dan Rumamera sudah penuh. Gak masalah buat saya, Riverside juga kelihatannya nyaman. Anak-anak juga gak protes. Apalagi mereka sudah tau camp area yang riverside walopun belum pernah menginap di sana. Artinya mereka akan puas bermain air. Yippiiee!!

Saya agak malas saat berangkatnya karena harus menggunakan kendaraan pribadi. Udah nyaman naik kereta kalau ke Tanakita. Tapi karena mau ke kawinan dulu, ya udah jadinya pakai mobil. Males juga pakai baju formal kalau naik kereta hehehe. Enaknya pakai pakaian lapangan kalau naik transportasi umum :D

tanakita

Alhamdulillah perjalanan lumayan lancar. Sebelum pukul 12 siang sudah sampai Cisaat, langsung ke acara kawinan. Setelahnya disambut dengan hujan yang lumayan bikin basah kuyup walopun gak terlalu deras. Kami langsung ke Cinumpang, tempat dimana Tanakita Riverside berada.

Di hari itu, hanya kami sekeluarga yang menginap di Riverside. Sepi banget hahaha! Bahkan crew Tanakita juga minta izin pulang. Tapi pastinya saat waktunya makan, ada crew Tanakita yang mengantar makanan. Ya, gak apa-apa, kami kan bukan tamu juga. Lagipula di camp area lain sedang penuh tamu. Jadi biarkan kami menikmati privasi di Riverside hahaha!

Dibanding 3 camp area Tanakita lainnya, Riverside ini agak memisahkan diri. Kalau Sahabat Jalan-Jalan KeNai pernah merasakan tubing di Tanakita, Riverside camp area ada di tempat finish tubing. Kalau Sahabat Jalan-Jalan KeNai ke Tanakita naik kendaraan umum, Riverside yang berlokasi di Cinumpang ini merupakan tempat pemberhentian terakhir angkot. Makanya, kalau menginap di Tanakita, Pinus, atau Rumamera suka pada carter angkot. Kecuali kalau dari Cinumpang memilih meneruskan untuk berjalan kaki. Lumayan bikin ngos-ngosan, sih, kalau jalan karena nanjak :D

Lokasinya yang berada di lembah membuat udara lebih dingin dari area lain. *Padahal area lain udah dingin* Berada tepat di pinggir sungai juga membuat kami semakin ingin bermalas-malasan karena dihibur oleh suara aliran sungai. Di Riverside juga gak bisa internetan karena gak ada signal, membuat kami semakin menikmati family time selama di sana.

 
Baru juga sampai, langsung main air. Keke gak copot celana jeans. Nah malah masih pakai gamis :D 

tanakita

Kalau saya dan suami asik berduaan melulu dengan bermalas-malasan. Duduk di depan perapian, minum kopi atau teh, sambil makan *bawaannya lapar melulu hahaha*. Anak-anak malah begitu dateng sampe menjelang pulang main air terus. Entahlah tubuh mereka terbuat dari apa, abis gak juga menggigil hehehe. Keke dan Nai main air ditemani oleh sepupu saya. Paling sesekali harus diingatkan karena hujan yang nyaris gak berhenti selama 2 hari 1 malam kami di sana membuat arus air sungai semakin deras dan semakin tinggi debitnya.


Anak-anak tidur dengan sangat cepat malam itu. Sepertinya mereka kelelahan karena terus main air. Tinggal saya dan suami yang masih terjaga. Benar-benar sunyi sekali tempatnya. Suara gemuruh aliran air sungai semakin terdengar bila malam tiba. Sesekali melintas kunang-kunang. Asik banget, deh. Kami gak perlu trekking malam untuk melihat kunang-kunang kalau menginap di Riverside.

Tapi, saya juga ternyata harus kalah dengan dinginnya udara di Riverside. Menggigit banget! Padahal udah pakai long jhon sebelum pakai baju tidur. Masih ditambah pula dengan kaos kaki tebal dan juga jacket. Tapi tetap aja kedingingan. Padahal kata crew Tanakita kalau musim hujan begini suhunya gak sedingin saat kemarau. Kalau lagi kemarau, suka ada aja tamu yang minta sleeping bag sampe 2 karena dingin. Wah! Kayaknya kapan-kapan saya harus uji ketahanan dingin saat kemarau, nih :D Pukul 9 malam, saya menyerah dengan udaranya yang dingin. Brrr ... Memilih masuk tenda dan tiduuurr ...

Suara air sungai ternyata melenakan. Satu kekhawatiran saya ketika suami mengajak camping di Riverside adalah gak bisa tidur. Saya susah tidur kalau suasana bising. Tapi, suara aliran air memang berbeda. Malah rasanya terdengar nyaman dan membuat tidur semakin nyenyak.

tanakita 
Tetep bawa laptop karena harus menyelesaikan draft tulisan. Beugh! Enak banget, deh, ngedraft tulisan di pinggir sungai begini. Coba ini terjadi setiap hari :D

Keesokan paginya, anak-anak udah main air lagi. Ya, selama di sana mereka terus-menerus main air. Ya main air di sungai atau mandi hujan. Karena selama kami di sana hujan turun nyaris tiada henti. Alhamdulillah anak-anak sehat walopun terus-terusan main air.

Padahal kata suami kalau mau ke Tanakita buat main flying fox, trekking ke danau, atau aktivitas lainnya juga ayo aja. Tinggal jalan kaki atau naik mobil sekitar 10 menitan. Tapi mereka udah betah banget main di sungai. Saya dan suami pun rasanya memang lebih suka bermalas-malasan selama di sana :D

Siang harinya kami dikasih tau kalau ada crew salah satu rumah produksi untuk tv swasta yang sedang membuat program acara jalan-jalan dan butuh anak kecil untuk bermain di sungai. Keke dan Nai ditawari dan mereka mau. Tapi ditunggu sekian lama, para crew baru datang sore hari. Terlalu sore untuk main air. Anak-anak sih mau aja, tapi kan kami harus pulang.

tanakita 
Nonton yang lagi syuting sambil nunggu hujan reda lalu pulang

Pukul 6 sore kami pulang. Dan, sampai rumah pukul 2 dinihari, dong! Itulah kenapa saya gak suka naik mobil kalau ke Sukabumi. Suka macet dan kali ini kami mengalami kemacetan yang luar biasa parahnya. Alhasil , hari Senin anak-anak gak pada sekolah. Kecapean walopun di mobil mereka juga banyak tidur hehehe.

Oiya, kayaknya kalau ke Tanakita lagi, saya mau pilih yang Riverside aja kalau bisa (alias kalau lagi gak ada tamu). Abis suka dengan suasana sunyinya. Anak-anak juga gak bermasalah, tuh, walopun selama di sana gak internetan. Karena yang penting ada kegiatan pengganti yang lebih asik dari main gadget. Malah berlibur cuma semalam rasanya kurang banget buat kami semua :)

Tanakita

www.tanakitacamp.com

Lokasi: Situgunung, Kadudampit, Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat

Reservasi: Jl. Lamandau IV No.17, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12130 Phone +6221 7200469, Fax +6221 7269761, tanakita@rakata.co.id
 
Share:

Melrimba Garden - Camping Diantara Hamparan Bunga

Melrimba Garden, Puncak
Melrimba Garden - Camping Diantara Hamparan Bunga. Camping di dalam kebun bunga itu sangat memanjakan mata.

Suami: "Coba cek Melrimba Garden, Bun."
Saya:: "Buat?"
Suami: "Katanya di sana ada penginapannya juga. Mau ngamati migrasi burung juga di sana viewnya bagus."
Saya: "Sebentar ... di cari dulu, ya."

Awalnya kami berencana menginap di Puncak Pass Resort. Tapi karena suami minta cek ke Melrimba, saya pun mulai mencari infonya di Google. Kami belum pernah ke Melrimba Garden sebelumnya. Kalau sekadar lewat, sih, udah beberapa kali. Selama ini, saya taunya Melrimba Garden adalah kebun bunga dan juga resto. Baru tau kalau di sana juga ada camp area.

 
Seperti ini tendanya, bisa untuk 4 orang. Tidur beralaskan matras 


Setelah menelpon Melrimba untuk menanyakan harga dan lainnya, kami putuskan untuk menginap di sana. Dengan rate Rp1.250K per tenda, kami mendapatkan 4 x lunch/dinner, 4 x breakfast/snack, 4 buah sleeping bag, 2 ikat kayu bakar untuk api unggun, tempat barbeque, dan segalon air mineral. Fasilitas lainnya adalah listrik di dalam tenda untuk mencharge handphone tapi gak ada lampu. Kamar mandi umum dengan shower panas dan dingin.

Kami memilih paket dinner daripada lunch karena sepertinya lebih enak mencari makan siang kalau memang ingin makan di luar. Pilih breakfast karena yakin banget kalau pagi pasti malas keluar Melrimba hanya sekadar untuk cari makan hehehe. Kami juga bawa sleeping bag sendiri walaupun di sana sudah disediakan. Khawatir sleeping bag yang disediakan kurang bisa menahan dingin. Atau paling tidak sleeping bag yang kami bawa bisa dijadikan bantal :)

Tujuan pertama kami adalah bukit gantole dan kembali merasa di php sama burung raptor. Kami kembali gagal melihat migrasi burung raptor. Dari bukit gantole, check in dulu di Melrimba Garden. Jaraknya bukit gantole dengan Melrimba Garden sangat dekat. Gak sampai 10 menit sudah sampai.

Kemudian lanjut makan siang di resto Puncak Pass Resort. Selesai makan siang, rencananya mau lanjut ke taman bunga Cipanas. Tapi baru sampai parkiran udah putar balik. Kayaknya tempat wisatanya jauh dari parkiran. Males banget jalan kaki gara-gara perut kekenyangan. Anak-anak malah setelah makan siang, langsung tidur denga nyenyak di mobil. Mampir ke minimarket aja, lah. Beli aneka camilan. Sebetulnya di rumah udah siapin beberapa camilan bahkan daging buat barbeque, eh lupa dibawa!

Melrimba Garden, Puncak

Sesampainya di Melrimba Garden, saya rasanya ingin langsung tiduran. Udara yang sejuk, terlebih di camp area banyak pohon besar, rasanya membuat mata saya semakin mengantuk saja. Tapi emang susah kalau ajak anak-anak untuk bersantai. Mereka maunya bergerak terus *elus-elus perut yang kekenyangan dan ganjel mata yang ngantuk berat*.

 



Melrimba Garden dikenal sebagai taman bunga dan juga area bermain. Mata para pengunjung akan dimanjakan dengan banyaknya bunga cantik berbagai macam jenis. Untuk yang suka menanam bunga, di sana juga ada toko bunga. Saya langsung mengkhayal seandainya di rumah punya banyak tanaman bunga seperti ini. Bahagia banget kali, ya? Untuk yang hobi selfie, jangan lupa siapkan kamera dan pakaian yang cakep. Mau bergaya ala model atau gaya apapun juga boleh. Banyak spot bagus di sana :)

Melrimba Garden, Puncak 


Aktivitas pertama kami adalah bermain panahan. Pakai alat panah beneran. Keke ikut ekskul panahan di sekolah, jadi udah terbiasa dengan peralatan memanah. Kalau Nai, baru kali ini dia panahan menggunakan peralatan memanah sesungguhnya. Dulu pernah main panahan tapi masih pakai alat sederhana.

 



Selesai main panahan, Keke ingin main mountain bike. Nai? Dia ingin mengikuti kakaknya main sepeda. Bukan ikut main sepeda karena badannya masih kecil untuk main mountain bike yang disediakan. Tapi mengikuti kakaknya dari belakang sambil berlari. Dan itu artinya tugas saya untuk ngejar-ngejar mereka sambil sesekali berteriak kalau mereka udah mulai kejauhan hahaha! Suami tidak ikut karena haru angkut barang bawaan ke tenda. Lokasi camp area memang agak ke dalam. Sedikit jauh dari parkiran.

 
Saat nyasar, nemu kaktus yang tinggi begini. Coba nyasarnya gak sendirian, udah foto-foto dulu kayaknya :D

Awalnya, saya masih sanggup mengejar Keke dan Nai. Karena Keke sesekali berhenti ketika saya mulai berteriak supaya jangan terlalu mengayuh sepedanya. Lama-lama, saya makin ketinggalan. Mulai terengah-engah, mau teriak aja udah cape, gak ada tenaga lagi. Saya mencoba motong jalan, siapa tau bisa nyusul anak-anak. Eh, malah nyasar! Gak ketemu jalur sepedanya. Duh, anak-anak dimana? Menjadi cemas karena sudah mulai sore.

Karena gak juga ketemu, saya pun mulai berjalan ke tempat parkir. Pos mountain bike ada di sana. Tapi belum ada tanda-tanda sepeda yang disewa Keke parkir. Saya duduk di pinggir resto. Gak berapa lama kemudian, dari kejauhan saya lihat Keke datang, Tapi Nai mana? Mulai cemas, dong. Khawatir Nai juga ketinggalan kakaknya, lalu dia nyasar.

Saya langsung telpon suami, ternyata Nai lagi ada di tenda. Alhamdulillah, lega. Rupanya, Nai mulai kecapean juga ngejar kakaknya. Untungnya dia gak sok-sokan kayaknya bundanya yang coba memotong jalan tapi malah berakhir dengan kesasar. Nai minta dianter Keke ke tenda, kemudian Keke lanjut main sepeda sendirian.

Melrimba Garden, Puncak

Kami kembali berkumpul di tenda. Sore hari, mulai dingin udaranya dan perut jadi lapar. Bikin mie instant dulu aja, lah. Untuk makan malam, kami diberi 2 pilihan, yaitu diantar ke tenda atau langsung order di resto. Kami memilih makan di resto. Ingin tahu suasana restonya.

Usai maghrib, kami berjalan kaki menuju resto. Agak gelap jalannya, makanya kami dikasih senter besar dan juga walkie talkie. Walkie talkie dipinjamkan selama kami di sana. Fungsinya untuk memanggil crew Melrimba Garden bila ingin membutuhkan sesuatu. Senter bisa dipakai juga untuk menerangi tenda. Tapi, tengah malam juga sudah mulai redup. Gak masalah, karena di luar area ada lampu. Lagian gelap juga gak apa-apa, malah (seharusnya) jadi lebih nyenyak tidurnya :D




 


Restonya yang terdiri dari 2 lantai ini tidak terlalu besar tapi terasa nyaman makan di sana. Walopun makan di resto, kami tidak punya pilihan lain selain makan nasi timbel dan minum teh manis. Karena hanya menu itu yang ditawarkan dalam paket camping. Boleh saja memilih menu lain, tentunya ada charge tambahan. Biar irit, kami gak memilih menu lain. Makan yang disediakan di paket aja hehehe. Nasi timbelnya enak, tapi sayur asemnya sangat asin. Kebalikan dari sayur asem, teh manis hangatnya rasanya terlalu manis. 

 

http://www.jalanjalankenai.com/2015/11/melrimba-garden-camping-diantara-hamparan-bunga.html 


 
Anak-anak udah tidur. Dunia jadi milik kita berdua *eh :p*

Selesai makan, anak-anak tidur cepat. Segala camilan dan sosis yang rencananya mau dibakar di depan api unggun, gak kemakan sama sekali. Anak-anak sudah sangat mengantuk. Tinggal saya dan suami yang tidur larut malam. Sebetulnya ingin mengikuti anak-anak untuk tidur cepat. Tapi berisik banget karena lagi ada gathering di beberapa tenda sebelah. Mereka bikin games dan nyanyi-nyanyi. Setelah rombongan tersebut masuk ke tenda masing-masing, kami belum bisa tidur juga. Suara mobil dan motor yang lewat sangat kedengaran. Kami pikir camp area yang berada di dalam itu jauh dari jalan. Ternyata semakin malam, suara kendaraan semakin jelas terdengar. Ambil positifnya aja, deh.  Kami jadi bisa berduaan sepanjang malam untuk ngobrol hehehe. Walaupun semakin malam udaranya cukup menggigit, untung ada api unggun yang menghangatkan. Setelah seluruh kayu terbakar, kami pun mulai mausk tenda dan berusaha untuk tidur :)

 
Sarapan mie instan lagi sebelum sarapan di resto :) 


Untuk sarapan pagi, kami kembali memilih makan di resto. Hitung-hitung sekalian olahraga pagi. Paket menu sarapan adalah seporsi nasi goreng dan segelas teh untuk masing-masing. Belajar dari pengalaman semalam, kami minta teh hangat tanpa gula. Nasi gorengnya enak, sayangnya kami toidak tahu kalau ditaburi rawit. Nai jadi gak kuat makannya. Akhirnya dia order juice dan Keke juga ikutan.

 

 

Melrimba Garden, Puncak

Selesai makan, kami kembali beraktivitas. Gak perlu mandi dulu hehehe. Keke ingin main sepeda gunung lagi. Kali ini dia ingin ajak ayahnya. Sebetulnya ayahnya rada malas. Karena abis makan, kok, disuruh sepedaan hehehe. Tapi karena terus-terusan diminta, ayahnya gak kuasa menolak lagi.

Sambil nunggu Keke dan ayahnya sepedaan, saya dan Nai main di playground. Selesai bersepeda, bersama-sama menemani Nai main high rope. Semua permainan yang kami coba, standar keamanan di Melrimba Garden termasuk baik. Peralatannya juga bagus. Selesai main kami balik ke tenda. Buat mandi? Enggak, buat mancing yang lokasinya di seberang camp area. Tapi mampir ke toko bunga dulu sebelum memancing. Sekadar lihat aja, gak beli :D

 



Karena camping di sana, kami dapat 1 tiket gratis untuk mancing. Memancing di sini adalah aktivitas terlama dan terngantuk yang pernah kami lakukan. Mana gak dapet juga ikannya. Saya memilih balik ke tenda karena sakit kepala. Saya berharap kalau bisa tidur sejenak, mungkin pusing akan hilang. Ternyata gak bisa tidur sama sekali. Di sana kan tempat wisata juga, jadi ada aja pengunjung yang lewat. Suara-suara para wisatawan yang lewat membuat saya gak bisa beristiraha.

Mau mandi juga malas, karena kamar mandinya dipakai juga untuk pengunjung umum. Camp area Melrimba Garden katanya bisa menampung untuk sekitar 100 tamu. Tapi, kamar mandinya (menyatu dengan toilet) hanya ada 2. Laki-laki dan perempuan tidak dipisah. Kalau siang, pengunjung umum bisa numpang ke kamar mandi itu juga. Kalau toilet aja di sekeliling area Melrimba juga ada.

Usai bermain, kami makan siang. Rencananya mau check out dulu lalu cari makan siang di luar. Tapi, lihat jalanan, kok, macet ajah. Kemungkinan pertama, macet karena jalan turun ditutup. Masih satu arus untuk yang naik. Tapi setelah lewat pukul 12, masih juga kelihatan gak ada pergerakan. Jadilah kami berjam-jam di resto Melrimba Garden. Tamu lain juga kelihatannya melakukan hal yang sama. Begitu terdengar sirene polisi yang artinya giliran yang turun jadi satu arah, banyak tamu termasuk kami bergegas ke kendaraan masing-masing. Untuk makan siang kali ini karena sudah gak termasuk paket jadi kami bayar lagi. Di postingan berikutnya, saya ceritain makanan dan minuman apa aja yang kami order.

 
Sebelum pulang main ATV dulu

Perjalanan gak terlalu lancar. Puncak memang masih jadi primadona untuk berwisata sehingga arus selalu padat walaupun sudah diberlakukan satu arah. Kami sampai rumah selepas maghrib. Langsung tidur aja, lah. Mandinya besok :p

Melrimba Garden

Jl Raya Puncak KM 87, Tugu Utara, Cisarua Bogor, West Java, Indonesia

Cell: +62 878 8114 0566

www.melrimbagarden.com

 
Share:

Seminar Digital GRATIS 100%

Paket TOUR Pilihan

Berlaku: 05 Feb 2019 s.d. 30 Mei 2019 JELAJAH 3 PULAU SERIBU (ONE DAY) *AV-D Mulai dai IDR 100.000

Berlaku: 21 Nov 2018 – 31 Mei 2019 BROMO ONE DAY TRIP *CT-D Mulai dari IDR 300.000

Berlaku: 04 Mei 2019 – 05 Mei 2019 PULAU TIDUNG 2D1N *AV.D Mulai dari IDR 350.000

Berlaku: 06 Apr 2019 – 30 Mei 2019 PULAU PARI 2D1N *AV.D Mulai dari IDR 360.000

Berlaku: 27 Mar 2019 – 31 Mei 2019 PULAU HARAPAN 2D1N (OPEN TRIP) *AVD Mulai dari IDR 370.000

Berlaku: 02 Jul 2018 – 30 Mei 2019 PULAU AYER ODT *AV.D Mulai dari IDR 399.000

Berlaku: 01 Agu 2018 – 30 Mei 2019 PULAU PARI 2D1N *AV.D Mulai dari IDR 809.000

Berlaku: 02 Jul 2018 – 30 Mei 2019 PULAU PARI 2D1N *AV.D Mulai dari IDR 809.000

Berlaku: 13 Jun 2019 – 20 Jun 2019 8D7N CONSORSIUM CHINA VIETNAM BY SJ APR-JUN *TX Mulai dari IDR 7.980.000

Berlaku: 29 Apr 2019 – 03 Mei 2019 5 HARI 3 MALAM KOREA NAMI ISLAND *TX Mulai dari IDR 8.900.000

Berlaku: 05 Feb 2019 s.d. 30 Mei 2019 5 HARI 3 MALAM HAINAN ISLAND HARI SABTU STARTING JAKARTA JUN *TX Mulai dari IDR 4.650.000

Berlaku: 05 Mei 2019 – 08 Mei 2019 4 HARI 3 MALAM BANGKOK PATTAYA *TX Mulai dari IDR 5.500.000

Berlaku: 14 Mei 2019 – 18 Mei 2019 5D THAILAND MALAYSIA SINGAPORE *TX Mulai dari IDR 5.800.000

Berlaku: 01 Nov 2019 – 04 Nov 2019 MOTOGP GRAND PRIX OF MALAYSIA SEPANG INTL CIRCUIT 4D3N *TX Mulai dari IDR 5.900.000

Berlaku: 13 Jun 2019 – 20 Jun 2019 8D7N CONSORSIUM CHINA VIETNAM BY SJ APR-JUN *TX Mulai dari IDR 7.980.000

Berlaku: 12 Mei 2019 – 16 Mei 2019 5 HARI 3 MALAM KOREA NAMI ISLAND Mulai dari IDR 9.000.000

Jadi Agen Sekarang Gratis!

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Recent Posts

Unordered List

Pages

Theme Support