Golden sunrise di Sikunir. Cantik, ya? :)
Begitu mobil yang dikendarai suami terlihat memasuki terminal, saya dan anak-anak bergegas menghampiri. Lumayan lama juga kami menunggu. Perjalanan dari terminal Dieng dan sebaliknya memang terlihat macet sekali. Sangat berbeda dengan sehari sebelumnya saat kami akan melakukan pendakian. Jalanan masih terasa cukup lengang saat itu. Setelah semua barang masuk mobil, kami pun berpamitan dengan mas Ivan. Perjalanan kami selanjutnya menuju desa Sembungan untuk melihat golden sunrise Sikunir.
[Silakan baca: Sunrise di Gunung Prau da Turun Gunung via Jalur Dieng]
Makan Malam di Desa Sembungan
Dari terminal Dieng menuju desa Sembungan sebetulnya gak terlalu jauh. Tapi, kami sempat berputar-putar karena nyasar. Mengandalkan GPS juga tumben gak berhasil. Tetap nyasar dan akhirnya bertanya dengan penduduk sekitar, deh.
Tip: Jangan mendadak kalau ingin mencari homestay di SikunirKami termasuk yang rada mendadak ketika mulai mencari homestay. Kebiasaan menunda-nunda hehehe. Selain itu, kami sempat berusaha mencari sendiri dulu. Tapi, berkali-kali googling nomor telpon berbagai homestay di Sikunir, sepertinya gak ada satupun nomor telepon yang langsung ke homestay yang dituju. Semua nomor telpon perantara.
Karena gak juga dapat nomor telpon homestay, barulah saya minta tolong Idah Ceris, blogger asal Banjarnegara. Rada mepet minta tolongnya. Untung masih dapat homestay. Meskipun homestay yang kami inginkan sudah full tapi dapat homestay lain yang nyaman juga. Waktu itu saya pesan ke Idah minta tolong cariin homestay yang bisa masuk mobil dan kamar mandi di dalam dengan fasilitas water heater.
Homestay Cebong Indah, tempat kami menginap. Ada masjid besar dan bertingkat tepat di seberangnya. Harga kamar per malam, IDR300K. Ada sih yang seharga IDR250K, tapi kamar mandi di luar. Kalau kamar yang lebih besar, saya kurang tau berapa harga per malamnya.
Kami tiba di Sikunir menjelang maghrib. Kamar yang kami tempati tidak terlalu besar. Hanya muat 1 kasur berukuran king size dengan menyisakan sedikit space untuk meletakkan tas. Tepat di depan homestay, ada masjid. Jadi, kalau mau sholat tinggal nyebrang aja. Di homestay ini juga ada kamar lain yang lebih luas. Kalau bawa keluarga besar sepertinya bisa menyewa kamar yang lebih luas itu. Lumayan bisa banyak masuknya.
Tidur, mandi, atau makan dulu, ya? Ketiganya menggoda di saat bersamaan. Kasur empuk dengan selimut yang tebal benar-benar nyaman buat beristirahat. Tapi, rasanya pengen banget bebersih badan. Sejak berangkat, kami belum mandi hehehe. Perut juga mulai protes karena belum diisi sejak siang.
Kami pun memutuskan lebih baik makan malam dulu. Di desa Sembungan tidak banyak penjual makanan, malah kayaknya kami hanya menemukan 1 tempat saja. Tidak juga menawarkan banyak pilihan menu, hanya nasi goreng dan ayam goreng. Kami memesan 4 porsi nasi goreng dan 2 potong ayam goreng. Lokasinya tidak jauh dari homestay. Cukup jalan kaki, 5 menit saja sudah sampai.
Saat kami makan malam, di luar masih ramai. Tidak hanya karena banyaknya pengunjung ke desa tersebut. Tapi penduduknya juga masih beraktivitas. Beberapa anak kecil terlihat berlarian ke sana-kemari menuju masjid sekitar. Seneng lihatnya, deh.
"Tapi nunggu ya, Bu. Lagi banyak yang beli," kata ibu penjual nasi goreng sambil menggoreng nasi.
Lumayan lama juga kami menunggu hidangan disajikan. Pembelinya pada malam itu sebetulnya gak banyak juga. Tapi ibunya lupa kalau kami sudah pesan dari tadi. Eyaampuuunn ... Kami pun ngakak setelah ibunya bilang lupa hehehe
Seporsi nasi goreng seharga 13 ribu rupiah dan ayam goreng seharga 16 ribu rupiah. Menurut Sabahat Jalan-Jalan KeNai termasuk mahal, gak? Hmmm ... Mahal atau murah memang relatif, ya. Tapi kalau menurut kami harganya gak beda sama harga nasi goreng dok dok yang biasa kami beli di rumah. Padahal dalam pikiran kami kalau di Jawa Tengah dan sekitarnya biasanya lebih murah harga makanan dan miumannya. Ternyata sama aja.
Nasi goreng, IDR13K.
Ayam goreng, IDR16K
Setelah makan, kami langsung kembali ke homestay. Di depan homestay, saya melihat mobil yang di dalamnya ada beberapa perempuan muda sedang menanyakan penginapan yang kosong. Dari hasil menguping, rupanya mereka sedang bingung karena gak ada satupun homestay yang kosong. Tuh, jangan mepet kalau mau pesan kamar di desa Sembungan, ya.
Di luar desa Sembungan juga ada beberapa homestay. Tetapi karena Sikunir berada di Desa Sembungan, jadi memang paling nikmat mencari homestay di sini.Perut udah kenyang, saatnya bebersih badan. Enak banget, deh, mandi air hangat setelah hampir 2 hari gak mandi hihihi. Tapi, begitu keluar dari kamar mandi langsung berasa dingiiiiinnn ... Buru-buru naik ke kasur dan selimutan. Brrrr ....
Kami hanya menyewa 1 kamar saja. Dempet-dempetan berempat di 1 kasur ukuran king size. Tapi, jadinya hangat. Kalau badan cape begini, gak berasa sempit. Begitu rebahan di kasur langsung tidur dengan nyenyak. Kalau gak pasang alarm kayak udah bablas kesiangan.
Macet di Sikunir
Kami disarankan mulai jalan menuju Sikunir pukul 04.00 wib. Diperkirakan sampai puncak Sikunir sekitar 45 menit dengan kecepatan normal, ya. Bukan yang kura-kura kayak saya hahaha. Tapi kata suami setelah adzan subuh aja. Suami sangat yakin masih bisa mengejar sunrise setelah subuh karena lokasi homestay yang lumayan dekat dengan pintu masuk Sikunir.
Ada 3 alternatif menuju pintu masuk Sikunir, yaitu menggunakan kendaraan pribadi, naik ojek, atau jalan kaki. Membawa kendaraan pribadi sangat tidak disarankan oleh penduduk di sana. Alasannya, parkiran udah penuh. Bakal susah banget cari parkir. Kami pun memilih berjalan kaki.
Ketika suami memutuskan untuk berjalan kaki, saya sempat khawatir gak bisa jalan. Masih inget aja waktu pertama kali naik gunung, keesokannya saya ngesot karena kaki rasanya pegal banget hahaha. Tapi kali ini alhamdulillah, gak berasa pegal sama sekali.
Enak juga berjalan kaki menuju pintu masuk Sikunir. Udaranya masih terasa sangat segar dengan langit yang cerah terlihat bintang. Coba di perkotaan kayak begitu, ya. Betah banget, deh. Cuma harus hati-hati aja karena lumayan banyak ojek motor yang mondar-mandir mengantar pengunjung.
Tip: Kalau memilih berjalan kaki, sebaiknya bawa senter. Penerangan di dekat danau agak minimJalan menuju bukit Sikunir sudah aspal. Untuk Sahabat Jalan-Jalan KeNai yang merasa lapar atau haus, di area pintu masuk banyak penjual makanan dan minuman. Bahkan terlihat beberapa bangunan permanen yang sedang dibangun. Sepertinya, dengan makin banyaknya wisatwan yang ke sana, mulai terlihat pembangunan di area bukit Sikunir.
Tip: Tetap gunakan alas kaki serta pakaian yang nyaman untuk kegiatan outdoor karena begitu mulai mendaki, jalurnya sempit dan licin.Maceeeett paraaahhh ...
Seperti ini keramaian di Sikunir. Banyak banget pengunjungnya sampe susah bergerak. Maceeett ...
Ternyata di gunung atau bukit pun bisa macet bahkan macet parah. Bahkan untuk pendaki kura-kura macam saya pun kemacetan ini ngeselin karena sering banget berhenti. Jalur menuju uncak Sikunir itu sempit dan licin. Sepanjang pendakian, saya berharap jangan sampai ada yang terpeleset. Takut kayak efek domino gitu, satu jatuh trus yang lain juga. Masalahnya, di pinggirnya jurang. Kan, bikin deg-degan banget.
Sekitar 2/3 pendakian ada tanah lapang. Para pengunjung banyak menyebutnya puncak 1. Kami memilih cukup sampai di sini aja pendakiannya. Itupun terpaksa berpencar saking ramenya pengunjung. Kalau mau sampe puncak 2 masih harus mendaki sekali lagi. Tapi melihat banyaknya yang mendaki dan langit yang mulai terlihat terang, mendingan gak usah melanjutkan pendakian, deh. Gak bisa ngebayangin juga di atas bakal serame apa kalau kayak gitu.
Baru juga saya dapat ruang untuk duduk, tau-tau ada seorang pengunjung yang pingsan. Oleh warga setempat langsung digendong di punggung untuk dibawa turun. Kelihatan sekali yang menggendong gerakannya lincah bagai kancil. Menerobos pengunjung yang membludak kayak gitu.
Melihat matahari terbit dari yang cuma setitik dan lama-lama membesar. Menakjubkan!
Walaupun gak sampe puncak, tapi sunrise di Sikunir tetap terlihat sangat indah. Warnanya keemasan sehingga disebut golden sunrise. Pantas saja dibilang golden sunrise. Beruntung sekali, saya diberi kesempatan melihat salah satu maha karya Allah SWT ini. Alhamdulillah.
Saya gak langsung beranjak setelah matahari terbit. Sempat ngobrol-ngobrol sejenak dengan sepasang orang tua di sebelah saya. Dari ceritanya, mereka ternyata sudah mendaki Sikunir sehari sebelumnya. Tapi puncak kepadatan terjadi saat itu sehingga mereka terpaksa turun lagi saking padatnya. Wuiihhh! Perasaan saat aja udah macet banget. Bener-bener gak ngebayangin sehari sebelumnya itu seperti apa ramainya.
Mereka pun memutuskan kembali ke Semarang dan balik lagi ke Sikunir lagi tengah malam. Tidur sejenak di parkiran pintu masuk Sikunir, kemudian mulai mendaki sekitar pukul 2 dinihari supaya dapat spot foto yang bagus. Wah pukul 2 mah kami masih tidur nyenyak, mereka udah mendaki hahaha.
Nai dan ayahnya memilih mojok. Gak melihat sunrise :D
Setelah berpencar, saya menghampiri Nai dan ayahnya. Untung aja Keke duluan yang nyamperin saya. Kalau gak, saya bakal bingung nyari dimana suami dan anak-anak. Nai dan ayahnya gak ikut menikmati sunrise. Terlalu penuh pengunjungnya sehingga memilih area di pojokan buat ngopi dan sarapan pop mie.
Tip: Di atas bukit Sikunir ada beberapa penjual minuman hangat seperti kopi, teh, dan lainnya juga mie instan. Tapi, kalau kami tetap bawa sendiri. Biar gak jajan hahaha. Bahkan area untuk sholat pun katanya sih ada (tapi saya gak tau di mana area untuk sholatnya)
Setelah ngopi dan sarapan, kami mengelilingi area sekitar. Tapi tetap gak ingin naik ke puncak. Udah cukup lah ngos-ngosannya. Lagian, di area itu aja pemandangannya udah indah banget, kok. Setelah puas foto-foto dan terlihat mulai kosong, kami pun turun. Memang sengaja turun agak siang untuk menghindari macet.
Ternyataaaaa ... Setelah beberapa menit berjalan, masih juga ketemu macet. Mending nunggu lagi, lah daripada ikutan macet. Itupun setelah lumayan lama kami menunggu, masih juga macet. Akhirnya, kami memutuskan untuk turun. Gak tau deh jam berapa itu macetnya terurai.
Masih maceeettt ... Di depan itu jalurnya menyempit, mana pinggirnya jurang. Jadi mending duduk manis aja dulu nunggu macet terurai
Di tengah kemacetan dihibur dengan musik. Silakan yang mau nyawer :)
Sarapan di Desa Sembungan
Desa Sembungan berada di ketinggian 2.100 meter di atas permukaan laut. Dengan ketinggian ini membuat desa Sembungan menjadi desa tertinggi di pulau Jawa
Pemandangan di telaga cebongan. Banyak tanaman kentang dan carica di sekelilingnya
Luas desa Sembungan hanya sekitar 37 ha. Mata pencaharian penduduknya adalah petani. Sepanjang mata memandang banyak terdapat tanaman kentang dan carica yang memang menjadi komoditi utama. Di desa ini juga ada telaga yang dikenal dengan nama telaga cebongan. Disebut begitu karena kalau dilihat dari atas bentuk telaganya seperti kecebong.
Gak dapat homestay? Camping aja di pinggir telaga cebongan
Sarapan mewah. Bukan karena makanannya tapi viewnya yang gak setiap saat saya dapatkan
Yup! Di pinggir telaga cebongan itu ada camp area. Makanya kami sebetulnya gak begitu khawatir kalau sampe gak dapat penginapan. Kan, udah bawa tenda jadi tinggal camping lagi aja. Kalau areanya penuh juga, berarti tidur di mobil. Tapiiiii ... kalau bisa memang dapat penginapan. Biar bisa mandi hehehe ... Di camp area juga ada MCK, sih. Cuma kan paling enak memang kamar mandi dalam. Bisa bebas berlama-lama mandi sampe puas.
Kami kesana pada awal Mei 2016. Ngobrol dengan penduduk sekitar dan pengunjung, katanya waktu yang paling bagus itu sebetulnya bulan Juli - Agustus. Saat musim kemarau dan suhu lagi dingin-dinginnya. Bisa dibawah 0 derajat. Di puncak suhu terdingin, tanaman terlihat membeku. Dan, itu katanya cantik banget karena terlihat putih seperti es. Asal kuat aja menghadapi dinginnya. Hmmm .... tapi sekarang Juli - Agustus aja masih hujan terus, ya? Kira-kira di sana masih dingin banget gak, ya?
Menunya sederhana, harganya murah banget. Lebih puas makan sarapan ini dibanding yang nasi goreng hehehe. Paling yang kurang adalah rasa pedas. Karena semua lauknya agak kemanisan bagi lidah saya
Kami menyempatkan diri untuk sarapan di salah satu warung sederhana dekat telaga. Warung yang benar-benar sederhana. Harga per porsinya pun murah. Seingat saya gak lebih dari 20 ribu rupiah. Tapi viewnya cakep banget. Terlihat perkebunan dan sawah. Jarang-jarang kan lihat yang kayak gitu.
Setelah kami kembali ke penginapan, langsung packing dan bebersih diri. Borong carica dulu yang ternyata kurang banget karena pada suka. Padahal perasaan udah beli banyak hehehe. Kebetulan homestay tempat kami menginap juga buka toko oleh-oleh. Jadi, untuk kami yang tipe malas mampir beli oleh-oleh, ini sangat memudahkan.
Beli beberapa oleh-oleh lain juga, termasuk beli mie ongklok, mie rebus khas Wonosobo. Gak sempat makan langsung di sana. Jadi, kami beli yang dalam bentuk kemasan. Setelah dicobain di rumah, kami kurang suka rasanya yang terlalu manis. Termasuk untuk selera suami saya yang lebih rasa manis dibandingkan saya. Kayaknya kalau makan mie ongklok lagi harus dikasih sambal yang banyak :)
Inilah pohon carica
Carica, ada juga yang menyebutnya pepaya gunung. Penampakan carica dari mulai daun, batang, hingga buah memang mirip pepaya. Disebut pepaya gunung mungkin karena tidak bisa tumbuh di sembarang tempat. Baru terlihat berbeda ketika carica dikupas, biji di dalamnya lebih mirip seperti markisa. Carica juga gak bisa dikonsumsi langsung seperti buah pepaya. Harus diolah terlebih dahulu karena kalau tidak bisa menyebabkan bibir dan lidah menjadi gatal.Sekitar pukul 11 siang, kami meninggalkan desa Sembungan. Perjalanan menuju rumah lumayan lancar. Sempat makan siang (yang kesorean), kalau gak salah di daerah Pemalang. Trus beli telor asin dulu di Brebes. Sayangnya lagi gak musim bawang merah. Cuma ada 1 toko yang jual bawang merah dan harganya lumayan tinggi. Sama aja kayak beli di pasar dekat rumah. Lanjut makan malam lagi di jalan tol. Baru deh sampe rumah dan langsung tidur nyenyak :D
Alhamdulillah, badan gak terlalu pegal-pegal keesokan harinya. Cuma males aja ngelihat pakaian kotor yang menumpuk hehehe
Makan siang yang kesorean di daerah Pemalang ini gak recommended. Cumi goreng tepung yang dingin dan masih berasa banget tepungnya. Sop buntut yang biasa banget. Ikan gurame bakar yang teralu kuat rasa jahenya. Ya, setidaknya perut kami terisi biar gak masuk angin karena telat makan.
Makan malam dulu di salah satu rest area. Nah, ini baru puas. Enaaaakk :)