Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) di Gambung merupakan tujuan kami. Perkebunan teh Gambung, begitu menyederhanakan nama tempat tersebut. Atau Gambung, menyebut satu kata itu saja cukup sudah.
Gambung terdengar hening. Padahal ia berada pada sisi punggung tujuan wisata teramai di Bandung, yaitu Ciwidey. Gambung yang saya tahu adalah perkebunan teh di Bandung Selatan. Udaranya sejuk, pemandangan alamnya indah, dan lokasinya di kaki Gunung Tilu.
Tapi apa dan bagaimana lalu siapa orang yang berada di balik munculnya perkebunan teh di Gambung, saya tidak tahu.
Rudolf Eduard Kerkhoven adalah sosok dibalik perkebunan teh dan kina di Gambung.
Preanger Planters di Bandung
Rudolf Eduard Kerkhoven adalah sosok dibalik perkebunan teh dan kina di Gambung.
Bicara perkebunan teh di Bandung, sejarahnya panjang. Ada beberapa Preanger Planters yang namanya tersohor. Preanger = Priangan. Lidah orang Belanda gak bisa menyebut Priangan, lafal yang keluar adalah Preanger. Preanger planters = juragan kebon teh, pemilik perkebunan teh dan kopi di daerah Priangan (Jawa Barat, Sunda).
Kita mengenal satu nama besar terkait perkebunan teh dan kopi di Priangan, namanya sangat populer: K.A.R Boccsha. Tentu saja namanya tidak akan terlupakan, lha wong dijadikan nama peneropongan bintang di Lembang sana, Peneropongan Bosscha. Nama jalannya juga ada di Bandung, Jalan Bosscha. Nama lengkapnya juga terpatri di Gedung Fisika ITB, sebagai salah satu penyumbang dana terbesar berdirinya kampus pertama di Bandung.
Kita mengenal satu nama besar terkait perkebunan teh dan kopi di Priangan, namanya sangat populer: K.A.R Boccsha. Tentu saja namanya tidak akan terlupakan, lha wong dijadikan nama peneropongan bintang di Lembang sana, Peneropongan Bosscha. Nama jalannya juga ada di Bandung, Jalan Bosscha. Nama lengkapnya juga terpatri di Gedung Fisika ITB, sebagai salah satu penyumbang dana terbesar berdirinya kampus pertama di Bandung.
Bosscha adalah juragan teh yang perkebunannya ada di Pangalengan. Namanya Malabar. Luasnya berhektar-hektar. Meraup keuntungan banyak dari kebun teh dan kopinya, Bosscha yang latar pendidikannya astronomi ini sering menyumbang uangnya ke segala macam sektor di Bandung, paling banyak ke pendidikan sih, bisa jadi karena dia suka sekali dengan ilmu pengetahuan. Berbekal jaringan sesama pengusaha perkebunan teh dan kopi yang kuat, senang bergaul, statusnya yang filantropis, dan konon orangnya baik hati, Bosscha dikenal dan disukai banyak orang pribumi dan Belanda.
Bosscha: jasanya tercatat dan tersebar luas, jejaknya terekam dan diingat orang.
Beda dengan R.E Kerkhoven, orang Belanda yang membuka perkebunan teh di Gambung. Kerkoven ini penyendiri, lebih senang membaca buku ketimbang nongkrong di restoran khusus Belanda di Braga, hidupnya sangat sederhana. Duitnya banyak juga kok, sama kayak Bosscha. Tapi Kerkhoven lebih senang diam di rumah, ngecek kebon tehnya, membaca buku, berburu, atau bercengkrama dengan babunya. Makanya kita gak banyak mendapat catatan tentang Kerkhoven.
Kerkhoven: jejak perjuangannya hanya terekam seluas perkebunan teh Gambung.
Sebenarnya mereka masih saudara lho. Kerkhoven itu pamannya Bosscha. Dan Bosscha ini jabatannya administratur perkebunan teh Malabar. Cuma ya gitu sih lama-lama Bosscha mengambil alih tampuk kepemilikan kebun teh Malabar dari Kerkhoven.
Sebenarnya mereka masih saudara lho. Kerkhoven itu pamannya Bosscha. Dan Bosscha ini jabatannya administratur perkebunan teh Malabar. Cuma ya gitu sih lama-lama Bosscha mengambil alih tampuk kepemilikan kebun teh Malabar dari Kerkhoven.
Tur ke Gambung ini dilakukan dalam rangka mengenalkan R.E Kerkhoven sebagai salah satu juragan (bos, pemilik) perkebunan teh di Priangan.
Sekitar sebulan lalu terbit buku yang berjudul "Sang Juragan Teh". Buku ini menceritakan tentang kehidupan Kerkhoven. Semacam buku biografi namun tidak sepenuhnya kisah nyata karena didalamnya bertabur fiksi.
Terbit pertama kali dalam bahasa Belanda tahun 1992 berjudul "Heren Van de Thee", penulis mendapat ilham membuat buku tersebut dari surat-surat dan dokumen Kerkhoven dan keluarganya yang ia baca. Hella S Haasse (Hela Has, gitu bacanya) merangkai jalinan fakta dari surat tersebut dan memilinnya dengan fiksi yang ia ciptakan sendiri. Lahirlah buku Sang Juragan Teh.
Terbit pertama kali dalam bahasa Belanda tahun 1992 berjudul "Heren Van de Thee", penulis mendapat ilham membuat buku tersebut dari surat-surat dan dokumen Kerkhoven dan keluarganya yang ia baca. Hella S Haasse (Hela Has, gitu bacanya) merangkai jalinan fakta dari surat tersebut dan memilinnya dengan fiksi yang ia ciptakan sendiri. Lahirlah buku Sang Juragan Teh.
(Baca juga : Gambung dan Kisah Masa Lalu Sang Juragan Teh)
Sebelum terbit dalam bahasa indonesia, buku ini diterjemahkan dalam bahasa inggris. Tapi tenang saja, Gramedia mengutus langsung penerjemahnya untuk menyalin bukunya dari sumbernya, edisi Bahasa Belanda.
"Kalau buku dalam edisi bahasa inggris banyak detail yang dihilangkan. Kalau versi yang bahasa indonesia ini saya tetap setia mengacu pada teks edisi bahasa belandanya," ujar Dinniarti Pandia dan Meggy P Soedjatmiko, penerjemah sekaligus editor buku Sang Juragan Teh, pada diskusi buku Sang Juragan Teh di Gambung. Berdua mereka ikutan juga tur ke Gambung, bersama dengan saya dan 30 orang lainnya.
Tur Sang Juragan Teh di Gambung
Ngomong-ngomong, acara tur ini singkat saja. Dipandu Maman Sulaeman dari divisi agrowisata PPTK Gambung, kami diajak jalan-jalan menyisir bagian perkebunan teh di tepinya lalu masuk ke areal hutan, melihat makan R.E Kerkhoven berserta Jenny, istrinya. Ada dua makam lainnya namun tidak terpahat di nisan namanya siapa. "Kemungkinan guru pianonya," kata Jus, pegiat komunitas Balad Junghun.
Di bawah Pohon Rasamala, jasad perintis perkebunan teh di Gambung itu bersemayam. Pembaringan yang sepi.
Hutan yang kami masuki tidak lebat-lebat amat. Pohonnya tinggi-tinggi dan berjarak satu sama lain. Sinar matahari tidak leluasa menerobos berkas-berkas daunnya. Sejuk, lembab, dan terasa ada aura lain di situ yang entah kenapa menyenangkan sekaligus menyedihkan. Yang terakhir ini mungkin cuma perasaan saya sih.
Hutan yang kami masuki tidak lebat-lebat amat. Pohonnya tinggi-tinggi dan berjarak satu sama lain. Sinar matahari tidak leluasa menerobos berkas-berkas daunnya. Sejuk, lembab, dan terasa ada aura lain di situ yang entah kenapa menyenangkan sekaligus menyedihkan. Yang terakhir ini mungkin cuma perasaan saya sih.
Salah satu sudut kebun teh di Gambung kaki gunung Tilu sedikit ramai karena kami, para peserta tur "Sang Juragan Teh". Kami berfoto, ngobrol, tertawa, dan menyimak uraian dari Pak Maman. 'Penghuni' di situ mungkin senang ya karena tempatnya jadi agak ramai. Biasanya pasti hening dan mungkin mereka kesepian.
(Baca juga : Produk Teh Gambung, Petunjuk Arah, Dan Biaya Kunjungan)
Saat kami semua berjalan ke arah kantor Pusat Penelitian Perkebunan Teh dan Kina, kami meninggalkan hutan dan segala keheningannya di sana. Saya membalikkan pandangan sebentar ke arah hutan, memberi salam pada Kerkhoven atau entah siapa di sana dan berucap pelan "sampai ketemu lagi, semoga kalian senang ya kami kunjungi".
Sayang tempat-tempat peninggalan Kerkhoven udah pada gak ada. Jadi gak bisa melihat bentuk fisik Gambung tempo dulu kecuali ya pemandangan alamnya.
Sayang tempat-tempat peninggalan Kerkhoven udah pada gak ada. Jadi gak bisa melihat bentuk fisik Gambung tempo dulu kecuali ya pemandangan alamnya.
Kerkhoven dan Jenny memiliki lima anak. Meski saat itu statusnya lebih tinggi dari pribumi, mereka tidak menindas para pegawainya. Kita banyak membaca tentang kekejaman orang Belanda. Penindasan yang mereka lakukan pada para pegawainya, para pribumi, sangatlah keji.
Nah yang satu ini berbeda. Kerkhoven dengan pribumi berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Di salah satu foto yang saya lihat, Bertha - anak perempuan Kerkhoven- berfoto dengan pembantunya Babu Engko dengan pose yang jarang kita jumpai pada masanya. Orang Belanda duduk bersama berdampingan dengan Pribumi dengan posisi merangkul.
Anak juragan merangkul pembantunya, itu gak ada di tempat lain. Cuma Kerkhoven dan anak-anaknya yang kayak gitu. Baik banget yah. Tidak heran pribumi yang bekerja di perkebunan teh Gambung amat kehilangan saat Kerkhoven wafat. Kelima anaknya mudik ke Belanda. Usaha perkebunan diambil alih pemerintah.
Keturunan Kerkhoven pernah menyambangi Gambung, merekam jejak leluhurnya. "Saya gak tahu kalau dia masih kerabatnya Kerkhoven. Pas saya antar dia ke makam Kerkhoven, mata orangnya berkaca-kaca seperti mau menangis. Suasananya hening sekali waktu itu, saya gak berani nanya orangnya," cerita Pak Maman. Ia melanjutkan "barulah setelah dari makam, dia ngaku kalau dia masih keturunan Kerkhoven."
Mendengar cerita Pak Maman, saya iri dengan keturunan Kerkhoven. Saya berharap bisa tahu sejarah Janggawareng saya lebih dari sekadar nama. (Janggawareng = kakeknya buyut).
Ya bayangin aja kalau keturunan Kerkhoven ditanya: leluhur kamu siapa, kerjanya apa, tinggalnya di mana?
Keturunannya jawab apa ya. Mungkin jawabnya : leluhur saya kerja di pulau Jawa, Indonesia. Dia mengelola perkebunan teh di sana. Hidupnya di hutan dan orangnya sangat sederhana. Saya bersyukur memiliki leluhur sepertinya, saya belajar banyak dari cara hidupnya. Bulan depan saya akan berkunjung ke Gambung, napak tilas kehidupan leluhur saya.
Ya itu jawaban saya ngarang sih :D heuheuheuheu.
Membaca Bergiliran di Diskusi Buku "Sang Juragan Teh"
Jadi pelajaran sih buat saya, banyak-banyaklah mencatat! Kelak ketika saya wafat, keturunan saya bisa tahu sejarah leluhurnya yang mana adalah saya. Duh tapi saya gak bisa bayangin sih zaman 30 tahun ke depan kayak gimana. Saya harap sih tetap banyak hutan dan danau, masih banyak gunung dan tonggeret, air bersih makin mudah didapatkan gratis, dan pasar tradisional makin populer. Semoga Blogspot tetap ada dan masih laku supaya blog saya ini juga masih bisa diakes sampai kira-kira ratusan dan ribuan tahun ke depan dan dibaca cicit dan anak cucu cicit saya :D
Kerkhoven juga mengajarkan saya nilai sebuah kesederhanaan. Dia gak terpukau harta benda, Kerkhoven lebih senang menyendiri di hutan mengurus perkebunan, menjadi tua di antara pepohonan dan pegunungan. Sebenarnya dia mirip Junghuhn ya, orang yang mengenalkan Kina di Indonesia. Hanya saja Junghuhn jauh lebih penyendiri lagi. Mungkin kalau Kerkhoven tidak bertemu Jenny, nasibnya sama dengan Junghuhn.
Kerkhoven juga mengajarkan saya nilai sebuah kesederhanaan. Dia gak terpukau harta benda, Kerkhoven lebih senang menyendiri di hutan mengurus perkebunan, menjadi tua di antara pepohonan dan pegunungan. Sebenarnya dia mirip Junghuhn ya, orang yang mengenalkan Kina di Indonesia. Hanya saja Junghuhn jauh lebih penyendiri lagi. Mungkin kalau Kerkhoven tidak bertemu Jenny, nasibnya sama dengan Junghuhn.
Kembali ke Tur Sang Juragan Teh di Gambung, di akhir acara ada diskusi buku. Andrenaline Katarsis, pemerhati sejarah kolonial, yang menjadi narasumber diskusi meminta peserta untuk membacakan paragraf di halaman terakhir dari buku Sang Juragan Teh. Wah saya suka sekali dengan sesi yang terakhir ini. Membaca bersama, how romantic!
Pesertanya ada lebih dari 30 orang, satu orang membaca satu paragraf.
Pesertanya ada lebih dari 30 orang, satu orang membaca satu paragraf.
Untuk acara yang sumbernya dari sebuah buku, membaca buku bersama menjadi momen yang romantis. Kami seperti membangun rasa kedekatan secara bersama-sama, baik itu dengan penulis bukunya, tokoh-tokoh dalam bukunya, juga kedekatan kami sebagai pembaca meski membacanya hanya satu paragraf.
Pada acara diskusi, sebuah album foto keluarga Kerkhoven dilihat oleh kami secara bergiliran. Saya melihat foto kelima anak Kerkhoven, kegiatan mereka sehari-hari, foto rumah kayunya, pose sebelum berburu, aktivitas berkebun teh, dan masih banyak lagi. Tiga foto yang saya suka adalah foto Bertha merangkul Babu Engko, foto rumah Kerkhoven, dan foto paling terakhir di albumnya yang sangat menyentuh: Kerkhoven tua sedang duduk sendirian, sepertinya di ruang makan, menulis entah apa, mungkin surat untuk dikirim ke Belanda, buku harian, atau bisa jadi bon penjualan.
Kembali ke rumah, saya membawa tiga pak Teh Hitam produksi Perkebunan Teh Gambung. Kabut di langit Gambung menggantung saat kami beranjak pulang. Puncak Gunung Tilu sudah tak terlihat. Hari minggu yang menyenangkan. Nabil bisa bermain sepuasnya, saya dan Indra jalan-jalan, bertemu teman lama dan baru, bonusnya jadi tahu sejarah yang ada di perkebunan teh Gambung.
Muncul keinginan di hati saya sih, pengen hidup kayak Kerkhoven. Punya kebon, punya rumah kayu di kaki gunung. Saya gak sama dengan Jenny, InsyaAllah saya gak akan bunuh diri. Hidup di perkebunan tepi hutan memang tidak mudah, tapi hidup terlalu ramai di kota pun terasa menyesakkan. Tiap hari selalu ada kebutuhan materi yang harus dipenuhi. Kalau tinggal jauh dari sumber materi dunia, rasanya jauh lebih tenang.
Tinggal di desa pegunungan. Tidak ada smartphone, tidak ada tv kabel. Hanya ada cangkul dan senapan, gerobak dan sepatu boot. Tanam sayuran dan pelihara ikan. Kalau lapar tinggal metik dan mancing. Lebih banyak mendengar suara daun yang berguguran, lebih sering menyimak suara burung yang berbicara. Duh...damai banget ya...
Tinggal di desa pegunungan. Tidak ada smartphone, tidak ada tv kabel. Hanya ada cangkul dan senapan, gerobak dan sepatu boot. Tanam sayuran dan pelihara ikan. Kalau lapar tinggal metik dan mancing. Lebih banyak mendengar suara daun yang berguguran, lebih sering menyimak suara burung yang berbicara. Duh...damai banget ya...
Kalau Kerkhoven sekarang masih hidup, mungkin dia sedang duduk di teras rumahnya sambil mendengar alunan musik Blur. "Modern life is rubbish", begitu nyanyian Blur didengungkan. Kerkhoven mengiyakan.
Makam R.U Kerkhoven |
Melihat sumber mata air yang memenuhi kebutuhan air di Gambung, airnya dari Gunung Tilu |
Rumah kayu Kerkhoven di Gambung. Rumahnya sekarang udah gak ada |
Mau motret album fotonya, tapi salah fokus :D |
Teh Putih, produk teh premium perkebunan teh Gambung |
Foto : Indra Yudha Andriawan
Teks : Nurul Ulu Wachdiyyah
0 komentar:
Posting Komentar