Saya pelanggan surat kabar Pikiran Rakyat. Rubrik favorit saya biasanya gak jauh dari traveling, wisata, dan budaya. Seminggu satu kali ada rubrik yang memuat puisi. Kalau dulu sih nama rubriknya seingat saya Khazanah. Sekarang ganti, namanya jadi Pertemuan Kecil. Biasanya ada 4-5 puisi yang ditampilkan dan terbit pada hari Minggu.
Saya selalu baca puisi-puisinya. Saya suka baca puisi, gak bisa nulis puisi. Padahal ada banyak emosi yang ingin saya tumpahkan jadi puisi. Tapi...selalu gagal. Kurang latihan sih, juga kurang baca. Tabungan kosakata saya juga menyedihkan. Ah ya sudahlah. Kita bagi-bagi peran ya. Ada yang membuat puisi, ada yang membaca puisi. Saya yang kedua.
Ngomong-ngomong, di koran Pikiran Rakyat rubrik Pertemuan Kecil tanggal 7 Februari 2016 ada dua buah puisi yang menarik sekali. Dibuat oleh orang yang nama pertamanya sama dengan nama saya. Puisinya tentang perempuan-perempuan Sunda (Bandung): Dewi Sartika dan Inggit Garnasih.
Dewi Sartika adalah wanita asal Bandung yang berbeda dengan kaumnya pada zamannya. Ia merintis sekolah khusus perempuan, ia mengajarkan keahlian yang pada waktu itu tabu untuk diajarkan ke rakyat biasa kecuali kaum menak, dan Dewi Sartika menikah dengan pria pilihannya sendiri. Peristiwa Bandung Lautan Api dan kedatangan tentara Jepang memaksa Dewi Sartika mengungsi keluar kota Bandung, ke Ciamis.
Sementara itu Inggit Garnasih adalah istri presiden pertama RI, Soekarno. Wanita ini yang mendampingi dan mengantar Soekarno membuka jalan kemerdekaan. Inggit yang menyuplai buku dan surat kabar untuk Soekarno ketika ia dipenjara. Inggit yang membiayai aktivitas Soekarno sebagai aktivis. Inggit yang menemani Soekarno ketika ia diasingkan. Soekarno dan Inggit sepakat bercerai, Soekarno ingin berpoligami, Inggit menolak dipoligami. Keduanya berpisah baik-baik.
Dewi Sartika dan Inggit Garnasih, wanita-wanita perkasa dari Bandung. Lebih banyak tentang Deewi Sartika dapat membaca buku Biografi Dewi Sartika berjudul Sang Perintis, Raden Dewi Sartika, ditulis oleh Yan Daryono. Mengenai Inggit Garnasih dapat menyimak kisahnya di buku berjudul Kuantar ke Gerbang ditulis oleh Ramadhan K.H. Saya sudah melahap habis kedua buku tersebut. Sangat saya rekomendasikan, terutama kalau kamu perempuan. Supaya kamu berhenti meributkan tentang betapa istimewanya perempuan lain hanya karena mereka berpenampilan lebih buruk atau lebih cantik dari kamu.
Saya salin di sini puisinya. Penulis puisi-puisi bernama Nurul Maria Sisilia.
Teman Sebangku
: Dewi Sartika
kau titipkan keresahan tak berkesudahan selepas kau pergi
dari pengasingan, Dewi.
padahal seharusnya kita masih bisa bertemu
dan mengurai kerisauan ini sekali lagi.
setiap pagi setelah bangun tidur
di kepalaku berjejalan bocah-bocah putus sekolah
menuruni bukit menuju pasar, perempuan buta aksara
yang memanggul kayu,
serta jalan berbatu yang mereka tempuh dengan peluh.
kekhawatiran yang panjang itu mestinya masih bisa kita selesaikan
dalam sebuah perbincangan di sebuah bangku taman,
di sudut kegelisahan kita
sekali lagi.
lalu kau mengajari aku cara menulis surat pada dunia
sambil sama-sama bertukar rencana tentang perubahan, saling menyeka tangis
dan saling memupuk harapan.
Perempuan yang Menanam Cinta di Dadanya
: Inggit Garnasih
fajar baru saja singgah
dan perempuan itu masih menyimpan wajah kekasih
yang datang mengetuk pintu waktu beberapa purnama lalu
ia merasa musim kini tambah layu dan
kakinya seperti memijak muasal perjalanan
menuju Banceuy dan Sukamiskin.
kepulangannya kali ini menjadi hujan yang turun membasahi
sedemikian jauh perjalanan terjal.
terlanjur tumbuh jutaan kembang di antara aroma tanah basah
kampung halaman dan
kenyerian yang tak lagi ia kenal
waktu pelan-pelan menjauh bersama bertahun perpisahan dengan kekasih.
cinta yang terempas dan seorang perempuan muda
yang akan menjahit bedera pusaka.
gerbang telah tertutup dan air matanya telah mengering sempurna
kini ia pulang membawa cinta yang masih ia tanam
di dadanya.
0 komentar:
Posting Komentar