Pendakian gunung Prau via Patak Banteng ini bagi kami memiliki kesan tersendiri :D
Saya: "Nanti mendaki via jalur apa, Yah?"
Suami: "Lewat Patak Banteng aja. Tapi, tanya dulu sama porternya dia sanggupnya bawa anak-anak lewat mana. Kata temen lewat Patak Banteng itu pendakian kaki ketemu dada dada."
Saya: "Maksudnya kaki ketemu dada?"
Suami: "Beberapa titik kemiringannya lumayan jadi langkahnya kaki ketemu dada. Trus juga kalau musim hujan disarankan jangan lewat sana karena licin."
Saya: "Gitu, ya?"
Suami belum pernah mendaki gunung Prau. Sehingga, keputusan memilih jalur pendakian kami serahkan kepada porter. Pendakian gunung Prau ada beberapa jalur. Setidaknya ada 2 jalur yang saya ingat, yaitu Patak Banteng dan Dieng Kulon.
Jalur Patak Banteng menjadi jalur favorit para pendaki gunung Prau karena jarak tempuhnya yang pendek, yaitu sekitar 2-3 jam. Tapi, jalur ini juga paling terjal dan curam. Kalau musim hujan, sangat licin.Perjalanan menuju Patak Banteng
Seperti yang sudah diceritakan sebelumnya, kami baru berangkat menjelang pukul 00.00 wib gara-gara urusan tongsis. Tidak sulit untuk membangunkan Keke dan Nai. Mereka langsung berganti pakaian, masuk ke mobil, lalu melanjutkan tidur.
(Silakan baca: Persiapan Pendakian Gunung Prau Bersama Anak)
Saya masih cemas ...
Khawatir akan mengalami macet total. Google maps masih sesekali saya lihat sampai akhirnya saya pun gak kuat menahan ngantuk. Saya mulai terbangun ketika mulai masuk tol Cipali. Kendaraan dalam keadaan berhenti. Kata suami, sepanjang perjalanan tadi lancar jaya dan baru macet menjelang masuk tol Cipali. Hufft! Semoga gak lama, begitu pikir saya dan kemudian melanjutkan tidur kembali :D
Saya kembali terbangun ketika mobil berhenti di rest area Palikanci. Subuhan dulu di sana. Dan, toiletnya sangat antre, sodara-sodaraaa ...! Cuma ada 4 toilet di sana. 2 untuk perempuan dan 2 untuk laki-laki. Menurut
Antreannya mengular panjang, mana kalau pagi banyak juga yang jam biologis menuntut untuk lebih dari sekadar pipis. Kalau aja Nai gak kebelet pipis, kayaknya sama memilih untuk cari tempat lain aja, deh. Positifnya, sih, suami jadi ada waktu untuk tidur sejenak. Dia kan belum tidur sama sekali. Saya sempat khawatir juga mana kami mau naik gunung. Tentu butuh stamina yang cukup.
Sarapan di RM Ibu Jamila, Brebes
Sate kambing muda, IDR45K/10 tusuk
Menu yang lain lupa lagi harganya :D
Sekitar pukul 07.30 wib, kami sampai Brebes. Saatnya sarapan. Gak sulit mencari sarapan di sini asalkan Sahabat Jalan-Jalan KeNai suka dengan menu daging kambing. Sepanjang jalan berderet restoran yang menjual menu daging kambing muda. Silakan pilih aja mau makan di restoran mana, semuanya sama.
Kami pesan 20 tusuk sate kambing, 1 porsi tongseng kambing, dan 1 porsi gulai. Butuh waktu sekitar 30 menit menunggu hidangan disajikan, termasuk untuk minumannya. Semua yang kami pesan, kecuali gulai ternyata pedas. Padahal kami sudah bilang jangan pakai pedas. Tapi, untuk sate menggunakan kecap pedas. Sedangkan untuk tongseng walaupun gak ada taburan rawit, tapi kuahnya memang sudah pedas. Yang kasihan Nai, karena dia gak kuat makan pedas. Akhirnya hanya bisa makan gulai padahal dia gak terlalu suka gulai, sukanya sate atau tongseng.
Selesai makan, kami melanjutkan perjalanan dan gak lama kemudian terkena macet hingga jembatan bulakamba. Setelah itu perjalanan lancar. bahkan lengang di daerah Buwaran dengan jalan yang berkelok-kelok. Pemandangan di kiri kanannya adalah hutan. *saya agak sedikit mual karena perut mulai lapar belum makan siang hehehe*
Berhenti dulu di masjid Kalibening untuk Dzuhur. Masjidnya besar dan sangat bersih. Rasanya sangat ingin tidur-tiduran sejenak di masjid yang bersih itu sambil meluruskan punggung yang pegal. Tapi ... tapi ... gak ada air di toilet dan tempat wudhu! Padahal sungai besar mengalir dengan deras di dekat masjid, mungkin itulah kenapa dinamakan Kalibening, ya. Gak ada satupun penjaga masjid di sana. Warung pun gak ada. Tapi sekitar 300 meteran dari masjid ternyata ada Alfamart *Ya, mana kita tau kalau di kemudian di depan bakal ada minimarket hehehe*
Bertemu dengan Porter di Kecamatan Batur
Sekitar pukul 14.00 wib kami pun sampai di Kecamatan Batur. Kami memang janjian ketemuan di sana dengan porter. Namanya mas Ivan, temen Idah (www.ceriswisata.com). Suami saya dan mas Ivan langsung bergegas untuk cek perlengkapan dan packing. Saya dan anak-anak mencari makan siang.
Mie ayam ceker, samping kecamatan Batur. Lupa berapa harga per porsinya tapi yang pasti murah banget :D
Tidak sulit mencari makan siang di dekat kecamatan Batur karena lokasinya yang sangat dekat dengan pasar. Pilihannya beragam. Saya dan anak-anak memilih yang terdekat aja. Mie ayam ceker yang berjualan di trotoar. Setelah segala urusan selesai kami pun melanjutkan perjalanan menuju Patak Banteng.
Pendakian Gunung Prau via Patak Banteng
Mulai mendaki! :)
Basecamp Patak Banteng terlihat ramai. Antrean cukup panjang di bagian perizinan. Tapi gak butuh waktu lama, urusan izin sudah selesai. Hampir pukul 16.30 wib kami baru mulai pendakian.
Suami saya pernah bilang kalau mendaki sebaiknya jangan malam hari. Memang sih lebih adem, tapi bisa rebutan oksigen sama pohon. Lagipula, malam hari sebaiknya digunakan untuk beristirahat.Tapi, saat itu kami tidak punya pilihan. Mau menunda pendakian, sama aja dengan merubah total rencana perjalanan. Kami masih ada agenda lain setelah mendaki Prau. Dengan pertimbangan kalau Prau adalah gunung pendek, kami pun tetap mendaki di sore hari. Mendaki santai aja, sih, karena saya tipe pendaki kura-kura hahaha. Tapi, Insya Allah, gak akan sampai larut malam tiba di puncak.
Dari basecamp menuju pos 1, 'cobaan' sudah dimulai. Menaiki lebih dari 100 anak tangga bikin saya mulai ngos-ngosan. Mendaki atau turun dengan jalan tangga atau berbatu sebetulnya lebih nyebelin dibandingkan jalan tanah, lho.
View setelah melewat anak tangga. Cantik banget, ya. Beruntung sekali masayarakat di sini yang bisa setiap saat melihat serta menikmati pemandangan secantik ini.
Ketika sedang menuju pos 1, ada sejumlah pendaki muda yang kebingungan mencari air. Katanya, mereka gak bawa air sama sekali. Lha, kok bisa? Kenapa juga gak beli dulu saat di basecamp? Padahal di basecamp banyak warung.
Kami gak tau di mana mencari air karena taunya kalau di Prau memang gak ada sumber mata air. Dan, ternyata dari pos 1 sampai pos 2 masih ada beberapa warung kecil. Para pendaki bisa makan atau sekadar beli minum. Tapi sebaiknya, sih, udah siap dari awal. Siapa tau warungnya lagi tutup atau kehabisan stok. Masa' harus turun lagi ke basecamp?
Setelah area perkebunan dilewati baru deh rasa deg-degan muncul. Jalur Patak Banteng memang terjal, licin dan sempit. Di kiri kanan adalah jurang. Yang bikin saya makin deg-degan adalah jarang seringkali ada pohon besar yang bisa saya jadikan pegangan.
Mulai gelap
Ketika mendaki gunung Gede, pohon besar menjadi andalan saya. Seringkali saya berpegangan dengan akarnya yang kokoh. Lah, di jalur Patak Banteng ini akarnya kebanyakan kayak serabut gitu. Mana makin gelap. Memang bawa senter, sih. Tapi tetep aja meraba-raba jalannya. Saya takut hihihi ...
Keke Manaaaa ...?
Diantara kami berempat, hanya saya yang mendaki seperti kura-kura. Tentu gak bisa juga meminta semuanya menyesuaikan dengan kecepatan saya. Itu artinya akan membuat yang lain jadi sering berhenti menunggu saya. Dan kadang menunggunya cukup lama.
Tip: Sebaiknya jangan berhenti terlalu lama. Ketika istirahat, suhu tubuh mulai dingin. Kalau sudah dingin suka jadi malas untuk bergerak lagi. Istirahat secukupnya sajaBiasanya kami bagi jadi 2. Keke melaju duluan dengan porter. Lagipula biar porter juga mendirikan tenda duluan, jadi begitu saya sampai di sana tinggal istirahat. Grup kedua adalah saya, suami, dan Nai. Suami tentu menemani saya dan Nai memilih untuk tetap dengan bundanya. Padahal dia sebetulnya juga kuat berjalan duluan.
Mas Ivan: "Nanti, begitu sampai puncak dari tugu lalu nyerong ke arah Sindoro."
Setelah dipastikan poin ketemuan, kami pun berpisah. Memang biasanya juga begitu, kalau sampai berpisah bikin janjian dulu ketemuan di titik mana. Kami pun melanjutkan pendakian dan saya gak sedikitpun terpikir bahwan akan terjadi drama di Puncak Gunung Prau. Pikiran dan perasaan saya saat itu hanya dipenuhi rasa deg-degan karena jalurnya yang licin dan sempit :D
Kami akhirnya menggunakan porter tambahan di pos 2. Seorang bapak tua yang akan membawakan tas Nai selama pendakian. Saya gak tau nama beliau, padahal selama pendakian beberapa kali ngobrol dengannya. Saya jadi tau kalau aktivitas sehari-harinya adalah penambang belerang. Kadang-kadang saja nyambi jadi porter. Kalau lihat fisiknya memang sudah renta tapi ternyata masih kuat, euy. Beberapa kali beliau ngobrol dicampur dengan bahasa Jawa yang bikin saya agak roaming. Mana saya lagi konsentrasi pula sama jalanan yang licin dan gelap. Jadi aja kadang saya suka telat nangkepnya hahaha.
Seperti pembicaraan yang satu ini ...
Porter: "Kalau lewat jalur ini pas lagi licin kayak gini, sering kejadian pendaki pada melorot, Mbak."
Saya: "Hah?! Melorot?"
Pikiran saya waktu itu adalah para pendaki berpegangan celana teman di depannya. Trus pas jatuh, celana temannya ketarik dan melorot. Duh! Ada-ada aja pikiran saya hahaha. Ternyata maksudnya melorot adalah pada jatuh karena tergelincir. Memang sih beberapa kali juga saya lihat pendaki terjatuh karena licin.
Tepat pukul 20.00 wib, saya pun tiba di Puncak Gunung Prau. Wuiihhh udah kayak pasar malam, uy! Rame bangeeeett! Tidak hanya meriah dengan tenda berwarna-warni, tapi juga ramai dengan suara-suara para pendaki. Ada yang tertawa tergelak-gelak, nyanyi-nyanyi, ngobrol dengan suara kencang volumenya, dan lain sebagainya.
Apa saya bakal bisa tidur nyenyak dengan suasana seramai ini, ya? *saya memang cukup sensitif dengan suara. Biasanya suka mudah terbangun karna suara atau malah susah tidur.*
Porter: "Tadi janjiannya di mana, Pak?"
Suami: "Katanya, sih dari tugu trus nyerong ke arah Sindoro, Pak."
Porter: "Oh, kalau ke arah Sindoro berarti ke kanan."
Tapi sampe saya dan Nai kecapean, tetap aja gak menemukan tenda kami. Porter kami sempat bertanya ke porter lain untuk memastikan arah Sindoro. Porter lainnya pun membenarkan kalau nyerong ke arah Sindoro berarti ke kanan. Tapi, gak ketemu juga tendanya ...
Kami pun kembali ke tugu. Beberapa pendaki yang berada di dekat tugu mulai membantu kami. Ada yang memberikan pop mie, susu hangat, teh hangat, hingga tolak angin. Sebetulnya, di tas kami semua itu ada. Tapi, kami sangat berterima kasih dengan kebaikan mereka. Bahkan beberapa diantara mereka turut membantu pencarian, sisanya menemani saya dan Nai.
Tip: Setiap tas yang kami bawa selalu berisi peralatan pribadi termasuk sleeping bag dan makanan-minuman, termasuk di tas anak. Bawa makanan yang bisa langsung dimakan juga. Untuk berjaga-jaga bila sampai terpisah dari kelompok, setidaknya masing-masing dari kami masih bisa tidur karena ada sleeping bag dan masih bisa makan-minum. Paling tenda aja yang gak ada karena dibawa oleh porter.Para pendaki: "Nama porter dan anak Bapak siapa? Ciri-ciri tendanya bagaimana?"
Suami: "Porternya bernama Ivan. Anak saya namanya Keke. Tendanya warna orange. Vaude merk tendanya, tercetak di tendanya."
Saya: "Kelihatan rangka tendanya juga, Yah. Karena rangkanya kan di luar."
Mereka pun berpencar mencari. Porter hanya sebentar saja membatu pencarian karena mereka harus turun lagi. Selanjutnya, kami banyak dibantu oleh para pendaki. Suami pun ikut mencari. Saya, Naima, dan ditemani pendaki lain menunggu di tugu. Sesekali terdengar mereka berteriak memanggil nama Ivan. Tapi hasilnya nihil ... :(
Saya Mulai Menangis ...
Awalnya Nai yang lebih dulu menangis karena kedinginan dan lapar. Saya masih berusaha tenang dan mengajak Nai untuk sama-sama berdo'a semoga cepat ketemu ma Keke. Lagian katanya kalau ibunya sedih, anak juga bisa tambah sedih. Setelah minum susu hangat, teh hangat, dan pop mie yang juga hangat, tangisan Nai mulai berhenti. Giliran saya yang menangis *tepok jidat hahaha*
30 menit ... 1 jam ... Gak juga ada tanda-tanda ketemu sama Keke dan mas Ivan.
Lutut kiri saya mulai sakit karena udara dingin *emang problem saya akhir-akhir ini, nih*. Badan sih biasa aja. Memang dingin tapi gak sampai menggigil. Tapi yang bikin saya menangis adalah karena panik.
Saya: "Kalau gak ketemu juga, tidurnya gimana, Yah?"
Suami: "Nanti kita cari hutan trus tidur di sana?"
Saya: "Hah? Beneran harus tidur di hutan? Emang gak bisa tidur di sini?"
Suami: "Di sini dingin sama angin, Bun. Kalau di hutan setidaknya ketahan sama pohon anginnya. Lagipula sleeping bag kan ada, makanan juga ada."
Saya: "Huaaaaa ... Emang gak bisa dicari malam ini juga?"
Suami: "Ini juga cari. Tapi, kalau gak ketemu juga, sebaiknya tidur dulu. Setidaknya kalau besok kan terang, mau nyarinya lebih enak."
Saya mulai menangis. Tambah menangis ketika suami menegur saya yang hanya sedikit sekali makan. Ya, mana saya bisa makan kalau teringat anak. Ditambah panik pula. Walaupun ada rasa yakin kalau suami punya pengalaman untuk urusan ini, tetap aja saya takut membayangkannya. Tidur di sleeping bag memang hangat, pohon besar pun bisa menahan angin, tapi kalau ada semut yang masuk ke wajah saya
Suami: "Ya, sekarang Bunda makan dulu."
Saya: "Gak mau!!"
Suami: "Nanti kalau Bunda gak makan malah sakit. Jadinya bikin masalah baru."
Saya: "Pokoknya gak mauuuuu!!"
Suami: "Tuh, Bunda emang gitu, sih. Kalau udah ngambek suka keras kepala."
Saya: "Pokoknya Bunda maunya sama Keke!!"
Suami: "Iya, ini kan lagi dicari, Bun. Bunda tenang aja dulu."
Saya: "Bunda kasihan sama Keke. Kalau kita tidur di hutan, trus dia tidur sendiri di tenda. Kalau dia gak bisa tidur karena nungguin kita, gimana?"
Suami: "Gak mungkin, Bun. Keke tuh paling jam segini udah tidur. Dan, Bunda tau sendiri kalau Keke udah tidur itu nyenyak. Udah tenang aja. Memang susah juga cari gelap-gelapan gini."
Duh, Sahabat Jalan-Jalan KeNai jangan ikutin kelakuan saya, ya. Saya termasuk yang rese saat itu hahaha. Bener banget kata suami saya, kalau lagi begini yang dibutuhkan adalah sikap yang tenang. Saya memang seharusnya makan supaya jangan sakit dan menambah masalah baru. Tapi, ibu-ibu pasti pada ngerti kenapa saya gak mau makan. Kalau keinget sama anak memang suka jadi gak enak makan *alesyaaaann hahaha* Nai yang tadinya nangis, malah jadi dia yang elus-elus punggung saya wkwkwkw ...
Saya: "Yah ... Ayah udah cari ke seberang sana belum?"
Suami: "Seberang mana?"
Saya lalu menunjuk ke arah seberang dimana terlihat titik kecil tenda (yang sepertinya) berwarna orange. Lokasinya tidak berbaur dengan keramaian.
Suami: "Jauh banget itu, Bun."
Saya: "Ya, kali memang di situ. Gak ada salahnya coba cari ke sana, Yah."
Nai: "Iya, Yah. Coba lihat ke sana."
Tapi, suami saya gak juga mencari ke sana. Memang kelihatannya lokasinya jauh dari tempat kami berada. Udah gitu terpisah dari keramaian pula.
Saya sebetulnya mulai putus asa. Mulai ada rasa marah sama mas Ivan karena susah dicari. Saya pun mulai berteriak ...
"KEKEEEE ...!!!"
Saya sengaja berteriak memanggil nama Keke karena setiap kali kami memanggi nama Ivan, selalu aja ada yang nyahut "Ya, ada apa?" Kata salah seorang pendaki, kadang suka ada yang usil. Yang dipanggil nama siapa, dia ikutan nyahut padahal itu bukan namanya. Tapi ada juga yang nyahut karena namanya sama. Sepertinya Keke nama yang jarang saat itu, karena setiap kali saya berteriak nama Keke gak ada satupun yang nyahut.
Saya: "Kenapa sih porternya gak nyari!"
Suami: "Mungkin nunggu Keke tidur dulu, Bun."
Saya: "Emang gak bisa ajak Keke untuk cari! Trus mau cari jam berapa kalau nunggu Keke tidur dulu?"
Suami: "Paling sebentar lagi. Keke kan tidurnya cepat."
Saya: "Trus, Keke ditinggal? Kalau dia bangun, trus gak ada siapa-siapa gimana?"
Suami: "Keke kalau udah tidur jarang banget bangun."
Saya pun masih melanjutkan ngomel-ngomel sambil nangis ...
2 Jam kemudian ...
Para pendaki: "Pak, ini ada porter yang katanya mencari rombongannya. Jangan-jangan porter Bapak."
Mas Ivan: "Oalaaahh! Ternyata, di sini, toh."
(Besoknya Nai cerita kalau 'Oalah' adalah the best part yang dia dengar saat itu. Karena berarti masalah sudah selesai hahaha. Sekarang, setiap kali ada yang bilang 'oalah' kami suka spontan ketawa hehehe)
Suami saya bilang kalau dia ikut instruksi. Dari tugu nyerong ke arah Sindoro dan semua porter mengarahkan ke kanan. Mas Ivan pun bilang kalau dia seharusnya bilang akan mendirikan tenda di area 'abcd' (saya lupa nama areanya). Kalau menyebut nama area itu, semua porter pasti tau, begitu menurut Mas Ivan. Dan, ternyata untuk menuju ke tenda, dari tugu lalu menyerong ke kiri. Pantes aja! :D
Setengah kekesalan saya langsung lenyap berganti rasa lega karena akhirnya ketemu juga. Gak jadi tidur di hutan tanpa tenda. Dan, ketemu sama Keke lagi. Berkali-kali kami, mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada para pendaki yang membantu kami. Saya lupa menanyakan nama-nama mereka, yang jelas mereka adalah para pendaki muda yang tinggal di sekitar sana. Masih banyak pendaki yang peduli. Terima kasih banyak.
Keke tidak ikut bersama porter karena udah tidur. Benar kata suami, porternya memang menunggu Keke tidur dulu. Gak lama setelah tenda didirikan Keke pun tidur.
Senangnya bisa tidur di tendaaa! :D
Kekesalan saya langsung lenyap seluruhnya setelah melihat tenda kami. Mas Ivan pinteran pilih area, uy! Menurutnya, area yang dia pilih ini viewnya cakep kalau pagi. Gunung Sumbing dan Sindoro akan tampak megah tidak jauh dari tenda kami.
Kalau malam memang tidak terlihat kemegahan kedua gunung tersebut. Entah karena mendung atau apa. Bintang di langit pun kurang terlihat bertaburan. Tapi, yang pasti area yang dipilih mas Ivan ini sepi. Saat saya sampai di sana hanya ada 3 tenda saja. Tenda kami, mas Ivan, dan tenda pendaki lain. Sangat berbeda dengan kemeriahan 'pasar malam' yang baru saja saya rasakan. Tidak ada keramaian gelak tawa, gonjrang-gonjreng gitar, nyanyi-nyanyi, dan lain sebagainya. Hanya terasa sunyi di area itu. Saya bakalan bisa tidur nyenyak kalau sepi kayak begini. Senangnyaaaa ...
Langsung makan banyak hehehe
Keke baru saja bangun ketika kami sampai di tenda. Tapi, gak lama kemudian dia tidur lagi. Sedangkan saya, langsung makan dengan lahap dan banyak. Rasa lapar yang tadi sempat menghilang karena sedih, mendadak muncul. Saya sangat lapar hahaha.
Saya: "Yah, kalau dipikir-pikir ... Sepertinya ini area yang Bunda tunjuk pas di tugu, deh. Yang cuma ada titik kecil trus Ayah bilang jauh banget kalau sampe bikin tenda di sana. Itu kan tugu."
Saya menunjuk area 'pasar malam' yang kali ini tampak dari kejauhan. Udah gitu, menurut mas Ivan dan Keke, mereka sempat mendengar ada teriakan memanggil nama Keke. Tapi, gak dengar teriakan nama Ivan. Jadi, sempat gak terpikir kalau itu untuk mereka. Malah Keke memilih tidur hahaha ... Teriakan saya memang mantap, karena yang manggi Keke memang cuma saya hahaha.
Suami: "Lha, ini tongsis, Bun."
Tongsis yang dicari, ternyata diam manis di ransel suami. Jadinya, tongsis penghambat perjalanan, dong? Eits, belum tentu. Tunggu cerita selanjutnya, ya. Karena setelah tongsis ditemukan, saya memilih tidur di tenda yang hangat. Nge-charge tenaga supaya bisa lihat sunrise dan turun gunung :)
[Silakan baca: Persiapan Pendakian Gunung Prau Bersama Anak]
Note: Foto-foto pendakian Gunung Prau lainnya ada di akun Steller saya (JalanJalanKeNai). Follow, ya :)
0 komentar:
Posting Komentar