Inggit Garnasih nama perempuannya. Tahun ini, jika ia masih hidup, Bu Inggit berusia 128 tahun. Momentum tersebut diperingati dengan Napak Tilas yang diselenggarakan oleh Museum Sri Baduga dan API BANDUNG pada bulan Februari 2016.
Saya tentu saja tidak mau melewatkan acara ini. Bersama Nabil dan Indra, kami menjadi tiga dari sekitar 60 peserta napak tilas jejak Inggit Garnasih di Bandung. Kalangan peserta beragam. Dari anak SMA sampai dengan peserta umum seperti saya.
Saya tentu saja tidak mau melewatkan acara ini. Bersama Nabil dan Indra, kami menjadi tiga dari sekitar 60 peserta napak tilas jejak Inggit Garnasih di Bandung. Kalangan peserta beragam. Dari anak SMA sampai dengan peserta umum seperti saya.
Jejak pertama saya lihat di rumah Bu Inggit. Mengitari rumah yang sekarang menjadi museum Inggit Garnasih, saya berharap bisa melihat benda-benda tempo dulu di sana. Tapi tidak ada. Jendela dan pintu rumahnya saja sudah berubah. Status rumahnya lah, sebagai rumah Inggit dan foto-foto perjalanan sejarah Inggit Garnasih dan Soekarno, yang membuat rumah ini istimewa.
Menginjak rumah Inggit, saya jadi membayangkan ruangan Soekarno berdiskusi dengan teman-temannya. Ruangan di mana Soekarno menulis ide-idenya. Semangat revolusi kemerdekannya.
Lebih lengkap tentang Inggit dan Soekarno dapat kamu baca dalam buku berjudul Kuantar ke Gerbang. Sub judul buku ini adalah Kisah Cinta Ibu Inggit dan Bung Karno. Saya sudah membacanya waktu masih duduk di bangku perkuliahan. Saya belum menikah waktu itu jadi tidak tahu rasanya suami minta poligami. Tapi mengetahui pengorbanan Inggit, saya rasa tidak satu pun istri-istri Soekarno, setelah ia menjadi presiden, yang layak untuk bersanding di level yang sama dengan Inggit.
Inggit yang kehujanan sepulang dari menegok Soekarno di Penjara Sukamiskin. Inggit yang berjalan kaki belasan kilometer bolak-balik dari rumahnya di Ciateul sampai ke Penjara Sukamiskin karena tidak punya uang. Inggit yang dimarahi sipir penjara. Inggit yang membuat strategi menjenguk Soekarno supaya tidak diikuti mata-mata pemerintah Hindia Belanda. Inggit yang mandiri, berdiri di kaki sendiri. Inggit yang memotivasi Bung Karno. Wanita yang satu ini memang istimewa.
Mungkin sudah ditarkdirkan ya, wanita sekelas Inggit yang sanggup menemani seorang Soekarno.
Lebih lengkap tentang Inggit dan Soekarno dapat kamu baca dalam buku berjudul Kuantar ke Gerbang. Sub judul buku ini adalah Kisah Cinta Ibu Inggit dan Bung Karno. Saya sudah membacanya waktu masih duduk di bangku perkuliahan. Saya belum menikah waktu itu jadi tidak tahu rasanya suami minta poligami. Tapi mengetahui pengorbanan Inggit, saya rasa tidak satu pun istri-istri Soekarno, setelah ia menjadi presiden, yang layak untuk bersanding di level yang sama dengan Inggit.
Inggit yang kehujanan sepulang dari menegok Soekarno di Penjara Sukamiskin. Inggit yang berjalan kaki belasan kilometer bolak-balik dari rumahnya di Ciateul sampai ke Penjara Sukamiskin karena tidak punya uang. Inggit yang dimarahi sipir penjara. Inggit yang membuat strategi menjenguk Soekarno supaya tidak diikuti mata-mata pemerintah Hindia Belanda. Inggit yang mandiri, berdiri di kaki sendiri. Inggit yang memotivasi Bung Karno. Wanita yang satu ini memang istimewa.
Mungkin sudah ditarkdirkan ya, wanita sekelas Inggit yang sanggup menemani seorang Soekarno.
Pertama kali Soekarno datang ke Bandung, ia menumpang (ngekos) tinggal di salah satu kamar di rumah Inggit dan suaminya, Sanusi, yang kala itu masih berstatus istri Sanusi. Meski dimulai dengan hubungan yang sembunyi-sembunyi, Sanusi toh akhirnya merestui hubungan Inggit dan Soekarno dan angkat kaki dari rumah tersebut.
Drama percintaan Inggit - Soekarno ini entah kenapa kok terlalu visioner ya buat saya. Terjadi di tahun 1930an tapi citarasa percintaannya seperti di tahun 80-90-bahkan kekinian... ah ya perselingkuhan memang tema yang abadi sih...
Di rumah Inggit, Soekarno rajin berkumpul dengan teman-temannya dan berdiskusi hingga larut malam. Inggit yang menyuguhi para tamu Soekarno dengan teh, kopi, cemilan. Bapak yang belum jadi presiden kita itu masih jadi anak kuliahan. Belum bekerja. Tidak dikirim uang dari kampung halaman. Mana lah dia punya uang kalau bukan Inggit yang menyediakan.
Drama percintaan Inggit - Soekarno ini entah kenapa kok terlalu visioner ya buat saya. Terjadi di tahun 1930an tapi citarasa percintaannya seperti di tahun 80-90-bahkan kekinian... ah ya perselingkuhan memang tema yang abadi sih...
Di rumah Inggit, Soekarno rajin berkumpul dengan teman-temannya dan berdiskusi hingga larut malam. Inggit yang menyuguhi para tamu Soekarno dengan teh, kopi, cemilan. Bapak yang belum jadi presiden kita itu masih jadi anak kuliahan. Belum bekerja. Tidak dikirim uang dari kampung halaman. Mana lah dia punya uang kalau bukan Inggit yang menyediakan.
Aktivitas politik Soekarno makin garang. Dia kian kritis terhadap pemerintah. Soekarno dipenjara, Inggit rajin menjenguknya. Sadar kalau lawan politiknya ini cerdas, arus informasi dan ilmu literatur terhadap Soekarno diputus oleh pemerintah Hindia Belanda. Inggit tak putus akal. Ia berpuasa tiga hari lamanya supaya badannya mengurus dan diam-diam bisa ia sisipkan paling banyak tiga buku atau surat kabar ke dalam pakaiannya saat menengok suaminya itu.
Dari banyak foto yang terpajang di Museum Inggit Garnasih, satu foto yang paling menyentuh saya adalah foto Soekarno dan Inggit yang sedang bersalaman setelah lama mereka tidak bertemu usai perceraian.
Mereka memutuskan berpisah baik-baik ketika Soekarno ingin menikahi Fatmawati. Wajah Soekarno yang dalam foto itu entah kenapa buat saya terlihat seperti orang yang berterima kasih, mengiba karena jasa Bu Inggit. Juga raut muka Inggit yang seperti bertemu cinta lama yang hilang. Duh sedih!
Kembali ke rumah Bu Inggit, di halaman rumah saya dan semua peserta menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum berangkat ke jejak Inggit berikutnya. Saat sedang khusyuk bernyanyi, saya melirik poster bu Inggit di sebelah saya. Tampak ia sedang berpose standar, berdiri menghadap kamera. Pengorbanan wanita ini banyak sekali ya. Jalan hidupnya jauh berbeda dengan gadis kebanyakan di zamannya. Inggit, menurut saya, adalah orang yang keras kepala. Tahu mau ngapain dengan hidupnya. Saya yakin banyak wanita lain yang mencibir Inggit. Dia bercerai tiga kali. Dia yang menghidupi Soekarno. Sedikit ruang untuk saling mendukung sesama wanita pada waktu itu.
Dari rumah Inggit, kami beranjak ke Monumen Penjara Banceuy. Lokasi sel penjara Soekarno - Gedung Landraad - dan berakhir di pemakaman Inggit Garnasih di Caringin.
Kami berangkat menumpang bis ukuran maksimum. Saya sedang menjadi turis di kota sendiri :D Selama di jalan, seorang pemandu dari Museum Sri Baduga bercerita. Ibu-ibu, saya lupa namanya, gaya ceritanya persis nasib museum-museum kebanyakan di negeri ini: membosankan. Sama dengan guru sejarah saya waktu sekolah dulu: menjemukan.
Saya nunggu kapan Akang-akang pemandu yang lebih muda bercerita. Sebenarnya bukan masalah umur sih, tapi gaya ceritanya. Gaya cerita dari para pemandu dari API BANDUNG lebih enak didengar. Semangat gitu orang-orangnya, berapi-api, kelihatan sangat mencintai topik yang dia ceritakan dan membaca buku-buku yang berkaitan dengan yang ia bicarakan. Kalau si Ibu-ibu dari Museum Sri Baduga itu mah kelihatan sekadar memenuhi kewajiban saja sebagai pegawai negeri, garing.
Oke kita ngomongin Inggit lagi. Inggit Garnasih selama jadi istri Soekarno selalu mengikuti ke mana pun suaminya pergi. Tidak banyak mengeluh, tidak banyak menuntut. Inggit merupakan istri, teman, sahabat, dan lawan diskusi, sekaligus motivatornya Soekarno. "Aku memberikan cinta, kehangatan, hormat, ketulusan. Aku tenggelamkan diriku pribadi, aku hilangkan kepentinganku sendiri. Aku mengabdinya" (Inggit Garnasih, Kuantar ke Gerbang)
Napak tilas jejak Soekarno di Bandung adalah juga menyusuri jejak Inggit Garnasih. Buku Kuantar sampai ke Gerbang bukan hanya biografi kehidupan Inggit semasa menjadi istri Soekarno, tapi juga roman sejarah. Rasanya komplit sekali: membaca bukunya sudah, napak tilasnya juga sudah, ziarah ke makamnya sudah.
Terima kasih, Museum Sri Baduga.
Terima kasih, API BANDUNG.
Terima kasih, Bu Inggit.
Banyak anak-anak sekolah yang ikutan napak tilas ini. Bakal lebih besar exposurenya kalau sebelum acara dimulai, panitia memberi kami hashtag untuk kami cantumkan saat kami pasang status di Facebook, Twitter, atau Instagram. Zaman sekarang hashtag itu penting sebagai kata kunci :D #NapakTilasInggitGarnasih #InggitGarnasih #MuseumSriBaduga dan sejenisnya. Anak muda pasti gak jauh-jauh dari media sosial, sayang kalau tidak dimanfaatkan.
Oiya, Museum Inggit Garnasih dapat kamu kunjungi di Jl. Inggit Garnasih no. 8 Bandung. Jalan ini lebih dikenal dengan nama Jalan Ciateul. Letaknya tidak jauh dari Terminal Kebon Kalapa.
Mereka memutuskan berpisah baik-baik ketika Soekarno ingin menikahi Fatmawati. Wajah Soekarno yang dalam foto itu entah kenapa buat saya terlihat seperti orang yang berterima kasih, mengiba karena jasa Bu Inggit. Juga raut muka Inggit yang seperti bertemu cinta lama yang hilang. Duh sedih!
Kembali ke rumah Bu Inggit, di halaman rumah saya dan semua peserta menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum berangkat ke jejak Inggit berikutnya. Saat sedang khusyuk bernyanyi, saya melirik poster bu Inggit di sebelah saya. Tampak ia sedang berpose standar, berdiri menghadap kamera. Pengorbanan wanita ini banyak sekali ya. Jalan hidupnya jauh berbeda dengan gadis kebanyakan di zamannya. Inggit, menurut saya, adalah orang yang keras kepala. Tahu mau ngapain dengan hidupnya. Saya yakin banyak wanita lain yang mencibir Inggit. Dia bercerai tiga kali. Dia yang menghidupi Soekarno. Sedikit ruang untuk saling mendukung sesama wanita pada waktu itu.
Dari rumah Inggit, kami beranjak ke Monumen Penjara Banceuy. Lokasi sel penjara Soekarno - Gedung Landraad - dan berakhir di pemakaman Inggit Garnasih di Caringin.
Kami berangkat menumpang bis ukuran maksimum. Saya sedang menjadi turis di kota sendiri :D Selama di jalan, seorang pemandu dari Museum Sri Baduga bercerita. Ibu-ibu, saya lupa namanya, gaya ceritanya persis nasib museum-museum kebanyakan di negeri ini: membosankan. Sama dengan guru sejarah saya waktu sekolah dulu: menjemukan.
Saya nunggu kapan Akang-akang pemandu yang lebih muda bercerita. Sebenarnya bukan masalah umur sih, tapi gaya ceritanya. Gaya cerita dari para pemandu dari API BANDUNG lebih enak didengar. Semangat gitu orang-orangnya, berapi-api, kelihatan sangat mencintai topik yang dia ceritakan dan membaca buku-buku yang berkaitan dengan yang ia bicarakan. Kalau si Ibu-ibu dari Museum Sri Baduga itu mah kelihatan sekadar memenuhi kewajiban saja sebagai pegawai negeri, garing.
Oke kita ngomongin Inggit lagi. Inggit Garnasih selama jadi istri Soekarno selalu mengikuti ke mana pun suaminya pergi. Tidak banyak mengeluh, tidak banyak menuntut. Inggit merupakan istri, teman, sahabat, dan lawan diskusi, sekaligus motivatornya Soekarno. "Aku memberikan cinta, kehangatan, hormat, ketulusan. Aku tenggelamkan diriku pribadi, aku hilangkan kepentinganku sendiri. Aku mengabdinya" (Inggit Garnasih, Kuantar ke Gerbang)
Napak tilas jejak Soekarno di Bandung adalah juga menyusuri jejak Inggit Garnasih. Buku Kuantar sampai ke Gerbang bukan hanya biografi kehidupan Inggit semasa menjadi istri Soekarno, tapi juga roman sejarah. Rasanya komplit sekali: membaca bukunya sudah, napak tilasnya juga sudah, ziarah ke makamnya sudah.
Terima kasih, Museum Sri Baduga.
Terima kasih, API BANDUNG.
Terima kasih, Bu Inggit.
Banyak anak-anak sekolah yang ikutan napak tilas ini. Bakal lebih besar exposurenya kalau sebelum acara dimulai, panitia memberi kami hashtag untuk kami cantumkan saat kami pasang status di Facebook, Twitter, atau Instagram. Zaman sekarang hashtag itu penting sebagai kata kunci :D #NapakTilasInggitGarnasih #InggitGarnasih #MuseumSriBaduga dan sejenisnya. Anak muda pasti gak jauh-jauh dari media sosial, sayang kalau tidak dimanfaatkan.
Oiya, Museum Inggit Garnasih dapat kamu kunjungi di Jl. Inggit Garnasih no. 8 Bandung. Jalan ini lebih dikenal dengan nama Jalan Ciateul. Letaknya tidak jauh dari Terminal Kebon Kalapa.
0 komentar:
Posting Komentar