Di kejauhan kabut tipis masih berbayang. "Harusnya sudah di sini jam 6 pagi kalau mau ngerasain kabut mah, Neng," kata sopir angkot jurusan Cikole - Lembang yang duduk di samping saya. Di penghujung musim liburan itu, saya pergi menuju sebuah tempat bernama Balitsa yang terletak di Cikole, Lembang. Dari rumah saya menumpang angkot sebanyak 2x, angkot terakhir yang saya tumpangi kuning warnanya, disopiri seorang bapak-bapak yang senang bicara :D
Hari masih terlalu pagi. Tidak ada kemacetan ke arah Lembang, begitu juga sebaliknya. Jalanan lengang. Duduk di tepi jendela angkot, saya memandang kabut yang menggantung di tebing-tebing perbukitan. Jalan berkelok-kelok, 'seperti cacing' kalau kata Nabil anak saya.
Sedikit sesal karena kesiangan, padahal sudah janji pada Malia akan datang pukul 6 pagi karena ingin memotret kabut Lembang. Rencana gagal total. Saya tiba di Cikole pukul 8.
Hari minggu (17/7/2016) saya mencicipi akhir pekan rasa masa lalu di Lembang. Bersama dengan Komunitas Lembang Heritage saya melihat dua sudut wajah Lembang: Balitsa dan Sindang Reret.
Sebanyak 95% kawasan yang dijelajahi adalah Balitsa. Saya tidak punya bekal pengetahuan apapun tentang Balitsa, kecuali tiga hal.
Pertama, restoran milik Ibu saya lokasinya ada di sebrang Balitsa, modal penasaran saja karena ingin tahu ada apa sih di dalamnya. Kedua, berkali-kali saya lihat di newsfeed Instagram dengan keyword #balitsa dan pemandangan pepohonan berderet rapi itu bagus sekali, elok nian, pengen lihat aslinya ehehehe. Ketiga, mau jalan-jalan dengan Nabil, sudah lama gak bawa anak kecil ini jalan kaki agak jauh dan lama di sisi kota.
Balitsa merupakan singkatan Balai Penelitian Tanaman dan Sayuran. Di dalamnya terdiri dari beberapa bangunan, lahan perkebunan, dan pepohonan. Wilayah Balitsa seluas 50 Ha, membentang dari kaki Gunung Putri hingga kaki Gunung Tangkubanparahu. Letaknya lebih tinggi dari jalan raya. Jadi ya harus nanjak dikit-dikit gitu deh.
Dahulu Balitsa dihuni seorang meneer Belanda bernama Van De Root, ahli botani khusus tanaman sayuran. Bukan hanya ia tinggal di Balitsa, tapi dia juga bekerja. Kerja dan tinggal di satu lahan yang sama.
Kalau zaman sekarang pekerjaan kayak yang Van De Root lakukan itu istilahnya WAHD: 'work at home dad'. Tapi De Root tidak punya keturunan. Ganti istilah kalau begitu. Lebih cocok disebut SOHO: small office home office. Eh tapi Balitsa luas tanahnya 50 hektar. Big office home office dong namanya hehehe :D
Sama sekali gak terpikir oleh saya kalau para tuan tanah juragan perkebunan tempo dulu itu sudah mempraktekkan gaya 'kerja dari rumah' jauh sebelum abad Google, smartphone, dan Internet tiba. Sekarang kan ramai muncul profesi baru yang kerjanya dilakukan di rumah. Baru kepikiran sekarang deh kalau Kerkhoven, Junghuhn, Bosscha, dan sekarang De Root kerjanya juga dari (wilayah) rumah. Pemilik perkebunan zaman sekarang tinggalnya di mana ya, di kebunnya atau di perkotaan ya…
Ah kembali ke Balitsa.
Balitsa ini kerjanya ngapain aja? Itu juga pertanyaan yang berkelebat di pikiran saya sejak pertama kali mendengar namanya.
Kalau orang-orang dengan latar pertanian dan perkebunan pasti tahu ya Balai Penelitian Tanaman dan Sayur ini apa kerjanya (selain meneliti :D). Tapi kayaknya mereka juga menciptakan inovasi pangan khusus sayuran.
Pemandu Lembang Heritage, Malia Albinia, memberitahu kami sekilas tentang pekerjaan Balitsa. "Kalau butuh tanaman Paria tapi Parianya tidak pahit, bisa kontak Balitsa." Berarti kegiatan orang-orang di Balitsa ini semacam rekayasa genetis gitu kali ya? Kayak menanam Stroberi tapi rasanya mirip buah Pisang :D
Pemandu Lembang Heritage, Malia Albinia, memberitahu kami sekilas tentang pekerjaan Balitsa. "Kalau butuh tanaman Paria tapi Parianya tidak pahit, bisa kontak Balitsa." Berarti kegiatan orang-orang di Balitsa ini semacam rekayasa genetis gitu kali ya? Kayak menanam Stroberi tapi rasanya mirip buah Pisang :D
Di Balitsa Malia mengajak kami melihat makam istri Van De Root, makam Van De Root sendiri, dan gedung utama Balitsa. Sedikit sih titik yang kami kunjungi tapi selama acaranya Malia cerita banyak hal. Gak hanya tentang Balitsa tapi juga asal-usul kampung-kampung dan bangunan sekitar Balitsa. Misalnya Cikole, Cibogo, Cibedug, Hotel Tangkubanparahu, Vila Elman, dan masih banyak lagi.
Menarik sekali mengetahui bagaimana cara Malia -yang pada hari itu membawa tape ketan dan membaginya cuma-cuma- mendapat banyak informasi tentang sejarah Lembang. Dia gak cuma baca buku-buku sejarah. Ibu dua anak yang juga hobi mengkliping artikel-artikel bertema sejarah dan budaya dari surat kabar ini sering ngobrol dengan nenek-nenek dan kakek-kakek yang ia temui di jalan dan angkot! Semacam mengumpulkan data dengan teknik wawancara.
Kayaknya bener deh hukum Law of Attraction itu. Kalau suka dengan suatu hal, Tuhan akan menghubungkan kita dengan banyak orang yang menuntun kita ke arah yang kita suka itu. Bener gak? :D
Tidak terlalu banyak kisah yang saya dengar tentang Van De Root. Nampaknya De Root sama dengan Bosscha, tipikal juragan yang disukai para pegawainya. Saat Jepang menguasai Bandung, orang-orang non-pribumi ditangkap dan ditawan di kamp-kamp interniran. Termasuk Van De Root. Namun ada rumor yang mengatakan bahwa Tuan Belanda yang satu ini bersembunyi di rumah pegawai pribuminya.
Makam Van De Root ada di lahan perkebunan Balitsa. Lokasinya berjauhan dengan makam istrinya. Kalau makam istrinya ada di rimbunan tanaman tomat, makam Van De Root ada di lahan yang tengah digarap. Makamnya berbentuk gundukan tanah tanpa pertanda (nisan) persis di tengah kebun. Bukan makam yang mewah. Makam keluarga saya jauh lebih layak kondisinya.
Highlight dari perjalanan di Balitsa jelas deretan Pohon Pinusnya. Cantik sekali. Sekitar 300 m ruas jalan di Balitsa berpagar pohon pinus. Jadi ingat puisi Chairil Anwar yang musikalisasinya bertengger di playlist dalam smartphone saya, Derai-Derai Cemara. Saya meminjam sebagian judulnya untuk saya jadikan judul tulisan ini.
Tak ada yang tidak berfoto dengan latar pepohonan Pinus tersebut. Bagus banget!
Dari Balitsa kami naik angkot ke Sindang Reret.
Highlight dari perjalanan di Balitsa jelas deretan Pohon Pinusnya. Cantik sekali. Sekitar 300 m ruas jalan di Balitsa berpagar pohon pinus. Jadi ingat puisi Chairil Anwar yang musikalisasinya bertengger di playlist dalam smartphone saya, Derai-Derai Cemara. Saya meminjam sebagian judulnya untuk saya jadikan judul tulisan ini.
Tak ada yang tidak berfoto dengan latar pepohonan Pinus tersebut. Bagus banget!
Dari Balitsa kami naik angkot ke Sindang Reret.
Malia mengajak kami ke restoran Sindang Reret. Bukan untuk makan tapi melihat makam tuan Elman, pemilik Vila Elman yang lokasinya ya di kompleks restoran tersebut. Sayang peninggalan Tuan Elman gak ada. Vilanya sudah berganti rupa. Lokasi makamnya berada lebih dalam ke kompleks Sindang Reret yang masih banyak pohonnya, temaram seperti di hutan. Nisan berbentuk Salib yang terbenam di tanah menandakan makam Elman. Kondisi makamnya sama dengan makan Van De Root. Tak terurus.
Di antara kisah Van De Root dan Tuan Elman, Malia juga menceritakan asal usul nama Cikole, Cibogo, dan Cibedug. Cikole sih yang paling menarik. Kata Malia Cikole berasal dari dua kata: Ci dan Kole. Keduanya bahasa sunda. Ci artinya air. Hampir semua nama tempat di Bandung ini ada unsur air.
Kole artinya ada dua. Arti yang pertama adalah pohon pisang (dalam bahasa sunda buhun. Buhun = tua, kuno). Dahulu di Cikole ada segala macam jenis pohon pisang. Arti kedua berasal dari kata Ci Kopi Lekoh (air kopi yang kental rasanya). Dahulu di pekarangan satu rumah warga pasti ada pohon kopinya.
Kalau Cibogo berhubungan dengan nama ikan, Ikan Bogo. Kalau Cibedug, tahu lah ya pasti ada hubungannya dengan Bedug (masjid).
Jalan-jalan yang dimulai pukul 9 pagi itu selesai deh sekitar jam 12 siang, setelah melihat makam Tuan Elman. Sebagian orang gak langsung pulang, makan siang dulu di restoran Ibu saya hohohoho :D Aduh maap beribu maap ya drama 'makanan-lama-dianter'nya. aheuheuheuheu :D
Acara Jelajah Lembang ini informal banget sih. Menjawab pertanyaan teman-teman yang bertanya di Facebook dan IG, sebenarnya acara model begini emang kemasannya jalan-jalan saja, hampir 99% dilakukan berjalan kaki. Tapi muatan jalan-jalannya sejarah. Kalau kita gak suka hal-hal berbau sejarah, pasti ada saja pertanyaan macam "adoooh ngapain ngelihat makam orang sih" :D
Saya baru saja membaca tulisan Zulkaida Akbar berjudul "Agar Tak Menjadi Buih Bagian 2 (Tentang Apresiasi)". Di dalamnya dibahas tentang Budaya Apreasiasi. Disebut dalam artikel itu bahwa apresiasi dan memberi kesempatan adalah kunci pertumbuhan jangka panjang.
Jalan-jalan bertema sejarah ala Lembang Heritage ini juga menurut saya sih bagian dari usaha saya mengapresiasi sejarah. Terbaca agak berat ya, apresiasi sejarah heuheuheu. Baca buku sejarah saja jarang saya lakukan.
Kalau gitu saya ralat sedikit, saya mengapresiasi kegiatan Lembang Heritage, pada orang-orang yang mewartakan kisah-kisah tempo dulu tersebut.
Lha kamu pikir mereka bisa cerita ulang kepada kita gimana caranya? ya mereka baca buku dulu lah, ya tanya-tanya orang yang umurnya sudah tua lah. Lha dikata gampang nanya-nanya data ke orang berumur senja.
Ditambah lagi proses baca buku beratus-ratus jumlah halamannya, mengingat-ingat datanya. Belum lagi kalau mereka survey tempat sebelum acara jelajahnya dibuka untuk umum. Hal-hal kayak gitu yang saya apresiasi. Jadi, terima kasih, Malia, Kang Indra, Andre, Robi, Kang Ope, dan teman-teman dari Lembang Heritage! Ditunggu acara jelajah berikutnya.
Ditambah lagi proses baca buku beratus-ratus jumlah halamannya, mengingat-ingat datanya. Belum lagi kalau mereka survey tempat sebelum acara jelajahnya dibuka untuk umum. Hal-hal kayak gitu yang saya apresiasi. Jadi, terima kasih, Malia, Kang Indra, Andre, Robi, Kang Ope, dan teman-teman dari Lembang Heritage! Ditunggu acara jelajah berikutnya.
Gedung utama, dahulu rumah Van de Root |
Makam Maritje, istri Van de Root |
Satu dari tiga puncak Gunung Putri |
Pohon Pinus |
Tape Ketan Daun Jati |
Melihat makam Van de Root. Yes, gundukan tanah yang di tengah itu makamnya. |
0 komentar:
Posting Komentar